RI Nunggak Proyek Jet Tempur 3 Triliun dengan Korsel, Apa Dampaknya?

RI Nunggak Proyek Jet Tempur 3 Triliun dengan Korsel, Apa Dampaknya?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Pemerintah Indonesia belum melunasi kewajiban pembayaran US$200 juta atau sekitar Rp3 triliun dalam proyek pengembangan prototipe pesawat tempur dengan Korea Selatan.

Perekonomian nasional yang tak stabil menjadi dasar tunggakan utang itu. Akibatnya, target pengembangan kekuatan tempur TNI Angkatan Udara diperkirakan akan meleset.

Sekjen Kementerian Pertahanan, Marsekal Madya Hadiyan Sumintaatmadja, menyebut tunggakan itu bakal mengurangi jumlah pesawat tempur yang akan didapatkan Indonesia.

"Kemarin rencananya paling tidak bisa dapat tiga skuadron tempur untuk TNI AU, tapi dengan renegoisasi ini, mungkin jumlahnya akan dikurangi," kata Hadiyan kepada BBC News Indonesia, Selasa (23/10).

Target pengembangan kekuatan tempur TNI AU masuk dalam rencana memenuhi kekuatan minimum pertahanan (MEF) tahun 2024.

Hingga 2019, MEF Indonesia baru akan mencapai sekitar 40%.

Pembentukan skuadron udara baru dan peremajaan pesawat tempur adalah program menuju MEF yang dikejar melalui kerja sama dengan Korsel.

Utang Indonesia ini muncul dalam kerja sama dengan perusahaan manufaktur dirgantara Korsel, Korea Aerospace Industries (KAI).

Kesepakatan itu berbasis kontrak perjanjian bagi ongkos ( ).

Dalam kerja sama ini, Korsel akan mendapatkan empat protipe jet tempur Korean Fighter Experimental (KF-X), sedangkan Indonesia satu unit protipe.

Saat dua tahap perjanjian ini diteken tahun 2015 dan 2016, Indonesia menargetkan pembentukan beberapa skadron tempur KF-X.

Kerja sama itu juga diklam memungkinkan alih teknologi kepada sekitar 200 insinyur Indonesia yang akan dikirim ke Korsel.

Dua kontraktor utama dalam proyek ini adalah KAI dan perusahaan asal Amerika Serikat, Lockheed Martin. Korporasi itu adalah produsen pesawat tempur seri Fighting Falcon.

Korsel adalah salah satu pelanggan pelanggan Lockhead. Seluruh pesawat tempur mereka berseri Fighting Falcon.

Proyek Korsel mengembangkan KF-X yang bermitra dengan Indonesia ditujukan untuk menggantikan deretan pesawat F-4 dan F-5 milik mereka yang telah uzur.

Hadiyan mengatakan, Menko Polhukam Wiranto tengah membentuk tim gabungan untuk bernegoisasi dengan Korsel. Pembahasan ulang klausul kerja sama itu ditargetkan selesai setidaknya dalam satu tahun ke depan.

"Mudah-mudahan tidak ada target waktu yang mundur karena Korea mau proyek ini jalan terus," ujar Hadiyan.

Merujuk perjanjian awal, lima prototipe yang hendak dibuat ditargetkan selesai tahun 2020.

Menurut peneliti kajian strategis dari Universitas Padjajaran, Muradi, Korsel tak sepatutnya mempublikasikan tunggakan Indonesia dalam suatu proyek pertahanan.

Muradi menilai sejak awal Korsel terlihat ragu meminang Indonesia menjadi salah satu pihak dalam kerja sama ini.

"Korsel butuh pasar industri pertahanan di Asia Tenggara, tapi selalu tanya apakah Indonesia punya uang atau tidak."

"Itu tidak etis. Atase pertahanannya berulang kali mengatakan itu ke anggota DPR dan sejumlah pakar," kata Muradi.

Rencana renegoisasi perjanjian, kata Muradi, dapat dilihat sebagai upaya Indonesia mengulur waktu sebelum akhirnya membatalkan kerja sama ini.

Alasannya, selain soal anggaran, Indonesia dapat lebih untung jika membeli pesawat tempur dibandingkan terlibat dalam proyekpengembangan teknologi jet.

Apalagi, pesawat tempur Indonesia semakin tertinggal dari segi teknologi.

Meski mahal, Indonesia disebunya mempunyai opsi membeli jet tempur berteknologi terkini dari Lockhead Martin, Sukhoi (Rusia), dan Saab (Swedia).

"Ada peribahasa, Angkatan Darat ujung tombaknya manusia, tapi Angkatan Udara bergantung pada teknologi. Memang tidak murah, tapi perlu penekanan bahwa sistem pertahanan udara nasional perlu infrastruktur," kata Muradi.

Korsel merupakan mitra strategis Amerika Serikat dalam pertahanan udara. Seluruh jet tempur Korsel dibeli dari perusahaan asal AS, Lockhead Martin. - Getty Images

Sebelumnya Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Lembong, menyebut kerja sama pesawat KF-X dengan Korsel ini berpotensi membebani APBN dan menguras cadangan devisa Indonesia.

"Beban kepada APBN cukup besar, apalagi jangka panjang. Terus terang puluhan triliun dan kalau beli puluhan unit (pesawat tempur) bisa sampai ratusan triliun," kata Lembong, pekan lalu.

Dalam skema kerja sama yang diteken tahun 2016, total biaya yang ditanggung Indonesia dalam kerja sama ini berkisar Rp18 hingga Rp21,6 triliun. [viva]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita