Ada Jenderal Luhut di Jembatan Tol Suramadu?

Ada Jenderal Luhut di Jembatan Tol Suramadu?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Hersubeno Arief

Seperti kepingan puzzle sederhana, gambar besar di balik penggratisan Jembatan Tol Suramadu, mulai terbentuk. Gambar awal yang terbentuk adalah peta pemenangan Pilpres 2019. Gambar berikutnya yang muncul dugaan adanya kepentingan bisnis Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan di Pulau Madura.

Adanya kepentingan politik itu aromanya sungguh sangat terasa. Ketika meresmikan pembebasan tarif jembatan Suramadu, Sabtu (27/10) sejumlah ulama Madura yang mendampingi Jokowi tampak dengan bersemangat mengacung-acungkan salam 1 jari. Mereka berteriak-teriak “Nomor satu…nomor satu….”

Jokowi membantah bila acara penggratisan itu dikaitkan dengan kampanye Pilpres 2019. “Apa-apa kok dikaitkan dengan politik? Kalau dikaitkan dengan politik, kenapa tidak saya resmikan tahun depan saja,” ujarnya.

Dengan tegas Jokowi mengatakan bahwa, ini urusan ekonomi, urusan kesejahteraan, urusan keadilan. “Urusan keadilan untuk masyarakat Indonesia, utamanya Madura,” tambahnya.

Benarkah? Gubernur Jawa Timur Soekarwo pada bulan Januari 2016 mengaku sudah pernah mengusulkan agar jembatan tol Suramadu statusnya diubah menjadi non tol. Alasannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi di Madura. Hal itu disampaikan saat Presiden Jokowi berkunjung ke Madura dan meresmikan kapal pengangkut sapi. Secara resmi surat permohonan juga sudah dikirim. Namun tak ada tanggapan dari Istana.

Bila sekarang di tengah masa kampanye, Presiden tiba-tiba menggratiskan jembatan sepanjang 5.4 Km itu, agak sulit untuk membantah tidak ada motif politik.  Jatim adalah wilayah pertempuran yang sangat penting bagi Jokowi. Memiliki jumlah pemilih kedua terbesar setelah Jawa Barat, Jokowi harus menang di Jatim bila ingin kembali melenggang ke kursi kepresidenan.

Pada Pilpres 2014 dari total suara sah sebanyak 21.946.460 pemilih, di Jatim  Prabowo-Hatta memperoleh 10.277.115 suara (46,83%) dan Jokowi-JK memperoleh 11.669.345 suara (53,17%). Sebaliknya di Madura, Jokowi kalah. Perolehan suara Prabowo-Hatta di Madura sebanyak 830.968 suara (54.54%). Sementara Jokowi-JK berjumlah 692.631 suara (45.46%).

Pada Pilpres 2019 potensi Jokowi akan kalah di Madura, sangat besar. Bahkan kemungkinan kalah telak. Batalnya Mahfud MD ditunjuk sebagai cawapres Jokowi memberi luka yang sangat dalam bagi warga Madura, tidak hanya mereka yang tinggal di Madura, namun juga yang berada di perantauan.

Di Jatim etnis Madura banyak yang tinggal di Surabaya, dan tersebar di kawasan Tapal Kuda (Pasuruan, Lumajang, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Probolinggo). Secara populasi komunitas Pendalungan ini, jumlahnya cukup signifikan, dan mampu mengubah peta pertarungan di Jatim.

Mahfud MD adalah salah satu tokoh terkemuka asal Madura. Batalnya penunjukan dirinya sebagai capres tidak hanya membuat malu Mahfud secara pribadi, tapi juga warga Madura.  Di Madura dikenal sebuah peribahasa “atembang pote’ mata, ango’an pote tolang,” lebih baik mati berkalang tanah, daripada hidup menanggung malu. Sebagai etnis, warga Madura dikenal memiliki harga diri dan solidaritasnya sangat tinggi. Tak mengherankan bila di Madura sempat muncul fatwa “haram memilih Jokowi.”

Sebuah jajak pendapat yang digelar oleh Surabaya Survei Center (SSC), pada bulan September 2018 pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin kalah telak di Madura.  Elektabilitas Prabowo-Sandi 43,6%, Jokowi-Ma’ruf Amin 29,1%. Yang belum menentukan pilihan sebanyak 27,3%. “Langkah Jokowi ini sangat politis. Dia ingin menang di Madura,” ujar Mochtar W  Oetomo pengamat politik dari Universitas Bangkalan, Madura kepada media.

Kepentingan ekonomi

Selain kepentingan politik, ternyata penggratisan Jembatan Tol Suramadu juga mengandung motif ekonomi. Satu bulan sebelum peresmian (21/9) Gubernur Jatim Soekarwo menyampaikan sebuah cerita menarik kepada media. Usulan penggratisan yang sempat tidak direspon Presiden itu kembali muncul setelah Menko Maritim Luhut Panjaitan bertemu dengannya.

Luhut menyampaikan rencananya membuka perkebunan tebu di Madura, untuk menyuplai pabrik gula di Candi, Sidoarjo. Luhut diketahui telah memiliki lahan seluas 330 hektar, dan siap ditanami tebu. Kepada orang kepercayaan Jokowi itu,  Soekarwo mengingatkan bahwa secara ekonomis rencana itu tidak menguntungkan. Ongkos angkutnya mahal. “Akhirnya muncul kembali usul untuk menggratiskan itu,” ujar Soekarwo.

Tidak jelas benar, apakah rencana pembukaan lahan tebu di Madura itu untuk kepentingan bisnis Luhut pribadi, atau untuk kepentingan pabrik gula milik negara. Sebab selain sebagai pejabat tinggi, Luhut juga dikenal sebagai pebisnis besar.

Situs Bisnis Indonesia edisi 3 November 2013 pernah menurunkan sebuah laporan gurita bisnis milik Luhut. Di bawah bendera Group Toba Sejahtra, Luhut mempunyai holding  terbagi ke dalam enam  anak usaha. Terdiri dari Toba Coal and Mining, Toba Oil and Gas, Toba Power, Toba Perkebunan dan Kehutanan, Toba Industri dan Toba Property and Infrastructure. Anak usaha tersebut terbagi lagi menjadi 16 perusahaan yang bergerak di berbagai sektor. Tak heran dengan gurita bisnisnya itu pundi-pundi Luhut sangat banyak. “Saya ini sudah kaya banget kok, ngapain jadi beking pengusaha Cina,” katanya suatu kali kepada media.

Dengan munculnya berbagai spekulasi tersebut sangat wajar bila mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) minta Jokowi menjelaskan kepada publik alasannya menggratiskan jembatan Suramadu. “Agar tidak ada miskomunikasi dan persepsi yang berkepanjangan,” ujar SBY.

Jembatan tol sepanjang 5.4 KM yang dibangun pada masa pemerintahan Megawati (2003), diselesaikan pembangunannya pada masa pemerintahan SBY (2009). Menelan biaya sebesar Rp 4.5 triliun. “Silakan gratiskan, tetapi apa pertimbangannya. Apakah karena ekonomi, sosial atau yang lain,” kata SBY.

Pertimbangan “yang lain” inilah tampaknya yang menjadi sorotan khusus dari SBY. Sebab jika pertimbangannya untuk keadilan dan memacu pertumbuhan ekonomi, maka banyak jalan tol lain yang jauh lebih pantas digratiskan. Jalan Tol Jagorawi yang menghubungkan Jakarta-Bogor-Ciawi dibangun pada Tahun 1978. Usianya sudah 40 tahun. Dari sisi investasi sudah balik modal berkali-kali. Operator sudah untung berkali lipat.

Begitu pula halnya Jalan Tol Jakarta-Merak yang menghubungkan Pulau Jawa dengan Sumatera. Dibangun pada tahun 1984, ruas ini juga sudah balik modal. Bila digratiskan, dipastikan akan memacu pertumbuhan ekonomi Banten, dan Pulau Sumatera. Banten berada di depan mata Ibu Kota negara, namun ekonominya masih tertinggal jauh. Jumlah penduduknya juga lebih besar dibanding Madura. Dengan begitu nilainya seharusnya jauh lebih strategis dibandingkan dengan Pulau Madura.

Mengapa Jokowi justru memilih Jembatan Tol Suramadu yang digratiskan. Padahal secara ekonomis investasinya belum balik modal? Dengan pendapatan hanya sebesar Rp 120 milyar/tahun, perlu waktu panjang untuk mengembalikan investasi yang sudah dibenamkan.

Tanpa  pemasukan dari tarif tol,  PT Jasa Marga sebagai pengelola jembatan dipastikan harus merogoh kocek sendiri untuk perawatan dan perbaikan jembatan. Hal ini bagaimanapun akan membebani keuangan perusahaan plat merah itu. Ujung-ujungnya juga akan semakin membebani APBN. 

Menilik kondisi keuangan pemerintah yang cukup berat, bila kalkulasinya hanya ekonomi, langkah Jokowi ini sulit untuk dipahami. Belum lagi dampak politik dan ekonomi bila muncul tuntutan serupa untuk sejumlah ruas jalur tol lainnya. Bukankah superti kata Jokowi, ini tidak ada urusannya dengan  politik. Tapi urusan keadilan untuk seluruh rakyat Indonesia. 

Untuk kepentingan politik dan mempertahankan kekuasaan, tampaknya tidak semua bisa dicerna dengan logika dan akal sehat. Kalau perlu semua aturan, dan pertimbangan akal sehat, ditabrak.

Bill Murray seorang aktor dan komedian terkenal Amerika secara bercanda pernah menyatakan “Common sense is a lot like deodorant. The people who need it most, never use it”.

Akal sehat itu seperti deodoran. Orang yang sangat membutuhkannya, justru tidak pernah memakainya. [hers]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita