Yenny Wahid: Yang Netral Ibu Saya

Yenny Wahid: Yang Netral Ibu Saya

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Dalam rentang waktu sepekan, rumah keluarga Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan, didatangi oleh Presiden Joko Widodo, calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Sandiaga Uno.

Diawali kunjungan Jokowi pada Jumat, 7 September, kemudian disusul Sandiaga tiga hari kemudian (Senin, 10 September) dan Prabowo pada Kamis, 13 September.

Mereka bertemu istri almarhum Gus Dur, Sinta Nuriyah Wahid dan putri keduanya, Yenny Wahid, serta putri pertama, Alissa Wahid, dalam acara yang disebut sebagai silaturahmi.

Tentu saja, kunjungan ini tidak bisa dilepaskan dari pertarungan politik memperebutkan kursi presiden, apalagi kedua kubu kemudian menawari Yenny Wahid - putri kedua Gus Dur - untuk menjadi tim sukses masing-masing.

Peristiwa politik di Ciganjur ini lantas menimbulkan macam-macam tafsir di masyarakat. Apakah keluarga Gus Dur akan mendukung Jokowi, Prabowo Subianto atau netral?

"Yang akan netral adalah ibu saya. Kalau saya belum nya (untuk bersikap netral), karena masih muda. (Orang) Muda itu memang harus bekerja, harus berikhtiar," kata Yenny, kelahiran 1974, dalam wawancara khusus dengan wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, di kediamannya di Cipete, Jaksel, Senin (03/09) malam.

Yenny - nama lengkapnya Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid - mengaku belum menentukan sikap politik keluarga Gus Dur. Dia menyatakan masih akan mendengar misi dan visi kedua capres pada Minggu, 23 September nanti.

Ditunjuk sebagai perwakilan keluarga Gus Dur untuk `urusan politik`, Yenny - yang memimpin organisasi bernama Wahid Institute - juga mengaku akan mendengarkan apa yang disebutnya sebagai `suara langit`.

"Secara spiritual, kami juga memerlukan untuk mencoba meneropong `suara langit` ini seperti apa, mana yang baik yang seharusnya kami dukung," ungkapnya seraya menyebut nama ulama termasyhur asal Suriah.

Dalam wawancara, Yenny menyebut dirinya sebagai bagian "NU kultur" dan bukan "NU struktur". Dia menjelaskan bahwa NU struktur diwakili organisasi Nahdlatul Ulama yang saat ini dipimpin Said Aqil Siradj.

"Kalau struktur NU, memang sebagian besar memang akan mendukung Kiai Ma`ruf, walaupun ada beberapa pengurus (NU) yang kemarin menemani Pak Prabowo ketika beliau berkunjung ke Jawa Timur," ungkapnya.

"Namun (NU) kultur yang jumlahnya jauh lebih besar dari struktur ini masih belum menentukan sikap, setahu saya," tegas Yenny.

Apa komentar Yenny atas tidak terpilihnya Mahfud MD sebagai cawapres untuk mendampingi Jokowi? Mengapa dia mengaku "sulit berdamai" dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) pimpinan Muhaimin Iskandar?

Dan bagaimana dengan latar belakang suaminya, Dhohir Farisi, yang merupakan anggota Partai Gerindra pimpinan Prabowo Subianto?

Selengkapnya ikutilah wawancara dengan Yenny Wahid, dan berikut adalah petikannya:

Mengapa Anda harus mengumumkan sikap politik keluarga Gus Dur setelah tanggal 23 September 2018 ?

Tanggal 23 September itu, penetapan calon secara resmi. Dan di sanalah para calon akan memaparkan visi dan misi mereka secara formal. Tentunya kalau kita mau mengendorse salah-satu calon, kita harus mendengarkan visi misi mereka seperti apa.

Jadi, wajar kalau kita menunggu momen itu untuk mendengarkan paparan mereka.

Yang pertama, komitmen terhadap NKRI, Pancasila, dan juga tentang kebhinekaan, bahwa semua calon harus melindungi kebhinekaan, mengayomi semua perbedaan, apapun suku, agama atau etnisnya.

Yang kedua, semua calon harus ikut memunculkan wacana Islam yang moderat. Ikut memfasilitasi agar justru Islam moderat yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.

Inilah yang terus mengilhami cara kita hidup sebagai negara.

Nah, yang ketiga, tentunya komitmen para calon tersebut tentang persoalan keadilan sosial. Bahwa mereka akan berusaha secara bersungguh-sungguh untuk memperkecil jarak yang menganga antara yang kaya dan miskin, memastikan bahwa , kesejahteraan sosial itu bisa diakses semua warga. Semua yang diperjuangkan oleh Gus Dur, kira-kira.

Yang keempat, bahwa semua calon itu punya komitmen terhadap penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Ini mungkin banyak orang mengatakan kayaknya formal saja, tapi kan kita bisa melihat dari sepak terjang, serta proyeksi dari kebijakan-kebijakan yang diambil oleh para pemimpin-pemimpin ini yang akan menciptakan iklim seperti yang kita sebutkan di atas tadi, apakah mereka punya komitmen antikorupsi, apakah mereka punya komitmen kebhinekaan, itu yang akan kita telaah nanti.

Nah orang-orang banyak yang bisa memenuhi kriteria tersebut, itu yang kita pilih nanti.

Ketika ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid dan Anda dikunjungi Joko Widodo di Ciganjur, kemudian Sandiaga Uno serta Prabowo Subianto, orang lantas menilai bahwa keluarga Anda memiliki banyak pengikut di kalangan warga NU dan itu artinya menjadi penting selama pilpres...

Jadi, suara NU, kalau menurut beberapa lembaga survei, saya pernah membaca hasilnya, bahwa hampir 50% masyarakat Muslim di Indonesia, merasa berafiliasi dengan NU. Itu jumlah yang besar sekali, puluhan juta.

Dan suara mereka selama ini tidak tertampung hanya di satu partai politik saja.

Kalau hanya dipahami berafiliasi dengan PKB, itu salah, karena PKB dapat suaranya cuma belasan juta, sementara warga NU puluhan juta.

Nah, ini ada suara-suara kultural yang tidak tertampung oleh NU struktur. NU struktur mungkin ada kedekatan dengan kiai Ma`ruf Amin, dengan Pak Jokowi, tetapi NU kultur yang banyak belum menentukan sikap dan jumlahnya puluhan juta.

Nah mungkin mereka masih mereka-reka, masih juga menganalisa, mengamati.

Nah yang menjadi rujukan, salah-satunya, memang dulu biasanya Gus Dur. Kalau sekarang mungkin, ya karena dianggap kita masih mencoba untuk istiqomah, untuk konsisten dalam memperjuangkan Gus Dur, banyak mereka yang bertanya sikap keluarga Ciganjur akan seperti apa.

NU sebagai sebuah lembaga, sebagai sebuah institusi, tidak boleh berpihak atau menjadi tim sukses dari pasangan calon manapun. Karena itu khittah NU. Tidak boleh berpolitik praktis.

NU harus mampu bekerja sama dengan pemerintah nantinya siapapun yang terpilih, bisa melakukan sinergi positif, atau memberikan kritik yang konstruktif terhadap presiden yang terpilih, siapapun dia.

Kalau belum apa-apa sudah menjadi tim sukses salah-satu calon, kemudian calonnya kalah, tentu ini akan berdampak kepada pola hubungan antara NU dengan calon terpilih nantinya.

Untuk mengantisipasi itu, maka NU sebagai lembaga tidak boleh berpolitik praktis. Tetapi bahwa tokoh-tokoh NU, kalau mau menyalurkan aspirasi politiknya, silakan saja.

Tetapi memang kemudian ada konsekuensinya, harus nonaktif atau mundur dari jabatannya di struktur NU.

Setelah Kiai Ma`ruf Amin diumumkan sebagai bakal calon wakil presiden, Ma`ruf Amin langsung ke Kantor PBNU dan menggelar jumpa pers . Apa yang bisa Anda katakan terhadap peristiwa ini ?

Kalau struktur NU, memang sebagian besar memang akan mendukung Kiai Ma`ruf, walaupun ada beberapa pengurus (NU) yang kemarin menemani Pak Prabowo ketika beliau berkunjung ke Jawa Timur.

Namun (NU) kultur yang jumlahnya jauh lebih besar dari struktur ini masih belum menentukan sikap, setahu saya.

Dan Anda ingin mengatakan bahwa Yenny Wahid adalah representasi NU kultur?

Saya adalah bagian dari kultur NU.

Anda sebagai sosok yang akrab dengan isu toleransi hingga pluralisme, apakah menurut Anda, sosok Ma`ruf Amin tidak terlalu akrab dengan nilai-nilai itu?

Kiai Ma`ruf Amin memang rekam jejak beliau ketika memimpin MUI, fatwa-fatwanya banyak kita kritisi. Namun tentunya fatwa-fatwa tersebut tidak dikeluarkan dalam ruang yang hampa.

Saat beliau memimpin MUI, MUI itu adalah wadah bagi banyak sekali ormas Islam yang ada di Indonesia. Tentunya beliau harus menavigasi berbagai macam kepentingan. Kita juga menyadari hal itu.

Tetapi bahwa fatwa-fatwa yang keluar dari tubuh MUI, memang banyak yang kita anggap tidak mendukung terciptanya iklim toleransi di Indonesia.

Ketika nama Ma`ruf Amin diumumkan sebagai bakal calon wa kil presiden untuk mendampingi bakal capres Joko Widodo , sebagian orang, terutama orang-orang dari kelompok minoritas, mengaku kaget dan sebagian menyatakan akan golput . Apakah Anda juga menyadari hal itu?

Saya bisa mengerti perasaan banyak orang, ketika merespons fenomena naiknya kiai Ma`ruf Amin. Mungkin ini residu dari beberapa kekecewaan mereka, atas rekam jejak kiai Ma`ruf Amin pada waktu dulu.

Tapi pilpres masih tujuh-delapan bulan lagi, kita lihat komitmen beliau, Pak Jokowi, tapi tentu saja komitmen Pak Prabowo dan Pak Sandi tentang persoalan kebhinekaan.

Nah, komitmen seperti itu tidak boleh diberikan gratisan. Kita harus menuntut semua pemimpin kita untuk menghargai persoalan kebhinekaan.

Jadi wajar kalau orang menuntut agar Indonesia ini tidak menjadi negara yang intoleran. Menurut saya, itu aspirasi yang sangat wajar.

Dan Anda sudah mendapatkan jaminan itu dari masing-masing pasangan capres dan cawapres ?

Dari semua pasangan capres dan cawapres, hanya dengan kiai Ma`ruf Amin, yang setelah ditetapkan, kita belum berkomunikasi secara langsung. Dengan Pak Jokowi sudah, dengan Pak Prabowo sudah, dengan Mas Sandi sudah, hanya dengan kiai Ma`ruf Amin belum.

Artinya belum mendapatkan komitmen secara langsung.

Kemunculan nama Ma`ruf Amin sebagai cawapres mengejutkan banyak orang , dan yang mengejutkan juga - di sisi lain - menyisihkan nama yang sudah santer disebut yaitu Mahfud MD . A pa yang bisa Anda katakan?

Menurut saya ironis bahwa tokoh-tokoh yang punya potensi di negara ini, kemudian harus tersingkirkan dari kancah perpolitikan, karena mereka tidak bisa menembus hegemoni partai.

Karena yang terjadi seperti itu. Partai hanya memberikan ruang kepada orang-orang yang bisa mereka kontrol. Yang bisa meneruskan aspirasi mereka. Kadang-kadang aspirasinya tidak sejalan dengan aspirasi rakyat. Itu masalahnya.

Nah, jadi kita melihat betapa ironisnya negara kita. Hegemoni (partai) begitu besar mengontrol dinamika politik di negara kita.

Jadi suara rakyat itu kadang-kadang dinihilkan, karena penjaga pintu gerbangnya (yang bernama parpol). Rakyatnya banyak, berdiri di luar gelanggang semua.

Kalau mau masuk ke dalam gelanggang, atau suaranya masuk, ada penjaga pintu gerbangnya, yang bernama parpol.

Parpol itu menyeleksi, siapa yang bisa masuk. Nah, kadang-kadang orang yang diseleksi, bukan orang-orang yang paling punya potensi untuk membawa perbaikan positif di negara kita, itu sayangnya.

Ketika ada asumsi atau anggapan bahwa kemunculan nama Ma`ruf Amin sebagai cawapres karena dia nantinya dianggap mampu `meredam` kelompok garis keras yang mengatasnamakan Islam. Apakah Anda bisa menerima asumsi seperti itu?

Semoga bisa begitu ya. Tetapi saya rasa, dalam pertarungan politik, sekarang ini kita melihat bahwa semua jalan dengan tracknya sendiri-sendiri. Bahkan kiai Ma`ruf sedikit .

Menurut saya, soal kelompok garis keras atau kelompok intoleran, yang bisa meredam kelompok garis keras adalah penegakan hukum yang tidak pandang bulu.

Ketika ada orang yang melakukan vandalisme, kerusakan, intimidasi dan persekusi, atas nama apapun, mau atas nama agama, atas nama etnis, atau atas nama kelompoknya, ketika hukumnya tidak berpihak pada siapapun, ketika hukumnya bisa tegas, itu jawabannya. Jadi bukan jawaban orang per orang, menurut saya.

Ketika Anda menyebut kata ` tegas ` , berarti ini menyangkut orang nomor satu yang bisa membuat hukum berjalan tegas?

Artinya institusi penegakan hukum yang harus jalan.

Yang justru yang harus kita waspadai adalah tidak ada agenda-agenda intoleran yang menyusup ke dalam dua kubu. Itu yang harus kita waspadai. Dua kubu , bukan cuma ke satu kubu.

Nah ini yang masih membuat kami deg-degan juga.

Setelah Anda dan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid bertemu Joko Widodo, lalu Prabowo dan Sandiaga Uno, masing-masing pendukungnya berharap agar Anda mendukung mereka. Mereka menunggu keputusan Anda .. .

Saya mengerti kedua kubu punya harapan bahwa kami bisa menjawab secepat mungkin. Namun memang ada keterbatasan dalam diri kami, sebelum kita mendengarkan, mengolah semua proses dan semua informasi yang ada, baik secara rasional maupun spiritual.

Mekanisme NU biasanya seperti itu, menggabungkan antara dalil dan dan dalil . Jadi yang rasional dan spiritual digabungkan jadi satu, itu kemudian diambil sebagai sebuah keputusan.

Pikiran-pikiran rasional dengan menelaah rekam jejak maupun potensi kerusakan yang bisa dibawa oleh masing-masing calon terhadap negara kita maupun potensi kebaikan atau kemaslahatan yang bisa dibawa mereka saat memimpin negara ini. Itu (sisi) rasionalnya.

Tetapi, secara spiritual, kami juga memerlukan untuk mencoba meneropong `suara langit` ini seperti apa, mana yang baik yang seharusnya kami dukung.

Saat ini kami sedang menunggu proses dari sembilan kiai, salah-satunya adalah murid langsung dari Syekh Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili (ahli fiqh terkemuka asal Suriah kelahiran 1932 dan tutup usia pada 2015).

Beliau sudah almarhum, ulama besar dunia, namun salah satu muridnya yang kita mintai tolong, untuk kita jadikan rujukan secara spritual.

Saya membayangkan , ada tiga keputusan yang akan And a putuskan, yaitu selain mendukung Jokowi, atau mendukung Prabowo, atau ada opsi lain? Netral, misalnya?

Bisa saja, tiga opsi itu. Jadi kalau misalnya kemudian kita melihat bahwa kita lebih baik memainkan peran untuk menjadi juru rekonsiliasi terhadap kedua kubu, karena potensi perpecahannya begitu besar, maka itu menjadi opsi yang lebih baik untuk kebaikan bangsa ini.

Dan sepengetahuan Anda, apakah opsi netral itu banyak didukung oleh warga NU kultural di bawah?

Pada saat ini, itu menjadi salah satu opsi. Bisa menjadi mendukung salah satu calon atau bisa netral.

Apakah Anda sudah memperhitungkan risikonya apabila nanti mendukung Prabowo atau Jokowi?

Pasti, risiko-risikonya sudah kami telaah, termasuk potensi kebaikan dan potensi mudaratnya atau kerusakan yang bisa dibawa oleh mereka.

Mudarat kepada warga NU kultural , maksudnya ?

Mudarat kepada warga NU secara lebih spesifik, tetapi kepada bangsa Indonesia secara umum.

Dan saya membayangkan ketika pilihan Anda adalah capres A, tapi di sisi lain ada Partai Kebangkitan B angsa (PKB) yang mendukung capres B . Nah, jika keputusan Anda berbeda dengan partai PKB, apakah ini berarti sikap warga NU di bawah akan terpecah ?

Saya kalau membuat keputusan tidak ada hubungan dengan PKB. PKB tidak saya masukkan dalam keputusan saya. Karena warga NU yang tidak masuk dalam PKB jauh lebih banyak daripada warga NU yang ada di PKB.

Jadi warga NU yang lebih banyak inilah, bisa tiga kali empat kali lipat jumlahnya, puluhan juta, mereka itulah yang lebih banyak saya jadikan rujukan.

Dan apakah Anda memiliki data (jumlah warga NU yang puluhan juta) itu?

Banyak data dari lembaga survei. Bisa digali sendiri. Bisa dibandingkan antara data masyarakat yang mengaku berafiliasi dengan NU, pemilih NU yang berafiliasi dengan NU, bisa dibandingkan dengan data jumlah suara yang diperoleh PKB dalam pemilu legislatif lalu.

Itu gamblang sekali datanya. Saya tidak pernah membuat survei sendiri soal ini, saya hanya mendapatkan datanya dari lembaga survei yang ada.

Ya, itu juga menjadi salah-satu hal yang tentu kita akan pertimbangkan juga.

Jadi kemampuan seorang tokoh politik untuk menggunakan isu agama bagi kepentingan politiknya, itu menjadi penting bagi kami.

Apakah seseorang itu mau dan mampu mengorbankan kepentingan bangsa dan negara untuk kepentingan politik sesaatnya, itu bagi kami juga salah-satu variabel besar dalam membuat keputusan.

Tetapi, yang kedua, kemampuan para pemimpin tadi untuk memenej kekuatan-kekuatan di dalam kubunya masing-masing.

Nah, mampu enggak Pak Prabowo memenej kelompok garis keras yang sekarang banyak berafilisasi dengan kubu Pak Prabowo? Pak Jokowi bisa enggak memenej kelompok Kiai Ma`ruf Amin yang mungkin track recordnya pernah mengeluarkan fatwa-fatwa yang intoleran?

Ini pertanyaan yang sama kita ajukan kepada kedua kubu. Itu yang akan kita nilai.

Ketika belakangan muncul istilah populisme, lalu situasi politik sekarang dikatakan cenderung ke kanan, dan bahkan yang paling kentara adalah masing-masing kubu seolah-olah mengharapkan dapat dukungan dari ulama. Bagaimana Anda melihat persoalan ini sekarang ?

Ya, sekarang ulama menjadi barang yang menggiurkan sekali. Nah, kemudian banyak ulama yang tergiur dan malah melenceng dari tugas utamanya yaitu membimbing akhlak masyarakat, karena begitu sibuknya berpolitik praktis. Itu salah-satu efek negatif dari proses politik yang ada.

Tapi saya pikir masyarakat awam lebih punya untuk menilai banyak hal, tidak serta merta ketika diembel-embeli ulama kemudian mereka akan langsung menjatuhkan pilihan ke arah sana, enggak. Pasti prosesnya panjang.

Jangan lupa, walaupun Ahok itu diserang pada waktu pilgub DKI, tetapi dia tetap dapat 40% lebih suara warga DKI di Jakarta yang notabene 80?alah umat Muslim. Itu yang sudah dihajar habis-habisan soal penistaan agama.

Artinya, kalau enggak habis-habisan dihajar kayak Ahok, punya kans untuk lebih tinggi lagi, dalam pandangan saya.

Cuma satu hal yang perlu saya klarifikasi dan kita juga perlu lebih jernih dalam melihat kedua pasang calon dan jangan sampai para pendukungnya juga terjebak dalam penyebaran hoaks.

Contoh paling gampang, Prabowo dituduh akan mendirikan khilafah Islamiyah di Indonesia, mengubah dasar negara menjadi negara khilafah. Ini jelas tidak berdasar karena kita tahu Pak Prabowo ini tentara, doktrin utamanya adalah Merah Putih dan NKRI.

Di sisi lain, Jokowi juga difitnah dibilang keluarga PKI (Partai Komunis Indonesia). Nah, ini sama-sama tidak berdasar.

Jadi, tolonglah masyarakat itu lebih bijaksana dalam berpolitik. Pendukung kedua kubu enggak usahlah melontarkan hoaks-hoaks yang cenderung fitnah semacam itu.

Ketika Anda mengambil sikap, tentu banyak pertimbangan yang akan mengiringi keputusan itu. Tetapi sebetulnya apa keuntungan politik yang akan Anda rengkuh ketika ada keputusan mendukung pasangan capres A atau B?

Keuntungan politik adalah suara kita, aspirasi kita didengarkan, sehingga ketika calon memimpin negara ini, semoga hal-hal yang menurut kita penting, itu menjadi bagian dari kebijakan mereka dalam memerintah nanti.

Ya, tadi soal membangun iklim yang toleran, keberpihakan pada masyarakat kecil, penegakan hukum yang tegas, dan sebagainya, itu kita harap menjadi keuntungan politik bagi saya. Kita berjuang itu untuk nilai, bukan untuk posisi.

Saya kalau ditawari model-model posisi segala macam, saya sudah membuktikan. Dari dulu yang menawari saya macam-macam, banyak yang nawari. Dan bukan itu yang akan menggerakkan hati saya.

Yang menggerakkan hati saya adalah komitmen kepada kebhinekaan, komitmen kepada rakyat yang terzolimi, kelompok-kelompok yang terpinggirkan, dan hukum yang tidak berpihak, itu yang akan menggerakkan hati saya.

Sebagian orang di Indonesia masih berharap Anda dan pendukung Gus Dur di bawah , tidak tertarik pada politik praktis, dalam artian mendukung capres A atau capres B, dan mereka berharap agar Yenny, keputusannya tetap netral ...

Sudah ada kesepakatan dalam keluarga kami, bahwa yang akan netral adalah ibu saya. Kalau saya belum nya, karena masih muda. Muda itu memang harus bekerja, harus berikhtiar.

Nah kalau ibu adalah figur yang harus menenangkan semua pihak ketika pendukung ini sudah saling terkotak-kotak, saling menghujat, harus ada figur yang mengatakan: `Eh, nak, enggak usah begitu berantemnya.

Nah, orang-orang seperti ibu saya, Pak Habibie, Pak Try Sutrisno, itu yang kita harapkan, menjadi suara-suara moral, yang terus mengingatkan masyarakat untuk terus menahan diri.

Ha, ha, ha... ( ). Enggak jugalah. Kalau kopiah itu diberikan kepada Pak Jokowi waktu pilpres dulu, bukan pilpres sekarang. Bukan hoaks, tetapi keliru tafsirannya.

Yang kemarin, waktu Pak Jokowi datang ke rumah itu, bubur merah putih yang kita berikan. Pak Sandiaga salah-satunya kita suguhi tempe, selain combro dan ada makanan lainnya.

Nah kalau Pak Prabowo, karena suka baca buku, ya kita berikan biografi Gusdur dan buku tentang hubungan agama-agama pra-Islam dan Islam.

Maknanya apa ya? Silakan dimaknai sendiri-sendiri. Kalau langsung diberitahu, jadi enggak seru, dong. Ha, ha, ha... ( ).

( ). Selama Muhaimin tidak mengakui secara hukum bahwa pelengseran Gus Dur dari PKB itu ilegal, ya, tentu saja susah bagi saya untuk berdamai dengan PKB yang dipimpin oleh Cak Imin (panggilan akrab Muhaimin).

Nanti kalau PKB bukan Cak Imin lagi, saya bantu semua caleg PKB. ( )

Karena, kalau ketuanya Cak Imin, masih berat buat kami. Apapun, Cak Imin ini orang yang melengserkan ayah saya (Abdurrahman Wahid alias Gus Dur) dari PKB, partai yang didirikannya sendiri.

Jadi berat secara moral, secara etika maupun secara personal.

Tapi bagi saya, dia (Muhaimin) bukan variabel pengambilan keputusan saya. Sama sekali tidak.

Termasuk keputusan Anda untuk mengumumkan sikap politik Anda setelah tanggal 23 September nanti?

(Pengumuman setelah) tanggal 23 September enggak ada hubungan sama sekali (dengan PKB). Seperti saya bilang tadi: PKB itu hanya mewakili mungkin 1/4 dari suara warga NU.

Warga NU itu ada di mana-mana, di semua partai. Di Partai Nasdem, paling banyak menampung PKB Gus Dur. Terus di Partai Hanura, juga ada. Di Partai Demokrat, ada. Di Partai Golkar, banyak. PDI P juga ada. Dan sekjen Gerindra itu orang NU.

Jadi, lebih banyak orang NU di luar struktur NU. Di PPP juga banyak banget. Nah bagi saya variabel utama bukan di PKB dibawah pimpinan Cak Imin.

Suami saya sekarang tidak aktif di partai. Hanya aktif di Ansor. Nah, dalam pengambilan keputusan, kita sudah ada kesepakatan dari awal, dia memberikan otonomi sebesar-besarnya bagi saya untuk mengambil keputusan politik saya sendiri. Dia sudah mengertilah ketika menikahi saya dan masuk dalam keluarga Gus Dur. Dia sudah mengerti konsekuensinya.

Nah, justru saya berterima kasih pada suami saya karena memberikan ruangan seperti itu. Dari dulu saya tidak pernah dilibatkan dalam acara-acara Gerindra, jadi ya sendiri-sendirilah.

Hubungan kita normal saja sebagai suami-istri, politik tentang politik kebangsaan, enggak terganggu sama sekali oleh hingar-bingar dan dinamika partai politik yang ada.

Mahfud jelas NU lah, tapi dia NU pinggiran ( ), karena enggak dianggap oleh NU struktural. Jelaslah, dia NU. Ya amaliyahnya, kehidupannya, itu kan kelihatan, kalau dia NU.

Apa risiko atau konsekuensi yang diterima Jokowi setelah nama Mahfud akhirnya dicoret sebagai bakal calon wakil presiden?

Salah-satu konsekuensi paling , yang terjadi adalah bahwa warga Madura agak marah. Itu ekspresi yang kita terima. Saya banyak berkomunikasi dengan Ikama (Ikatan keluarga Madura), misalnya.

Madura itu jangan dianggap enteng, karena suara seluruh Indonesia itu sekitar 27 juta jiwa. Enggak usah ngomong di Jawa, atau Pantura, atau di tapal kuda, atau di pulau Madura sendiri.

Di Kalimantan saja, contohnya, itu DPT untuk se-Kalimantan Barat, itu 460 jiwa yang etnisnya Madura. Jadi banyak. Ya mereka kecewa.

Dari dulu, suara Jokowi di Madura memang tidak kuat. Apalagi ditambah peristiwa kemarin, Pak Mahfud secara tiba-tiba, kemudian setelah diundang dalam proses bajunya dipinjam untuk diukur, kemudian tiba-tiba seolah-olah dicampakkan begitu saja, tentunya menimbulkan konsekuensinya secara emosional. Ini yang harus dimitigasi oleh kelompok Jokowi.

Saya tidak komunikasi langsung dengan Presiden Joko Widodo, tapi selama ini saya selalu buka ruang untuk berkomunikasi dengan siapapun, baik Pak Prabowo maupun pihak Istana.

Dan memang ada beberapa pertanyaan tentang Pak Mahfud, apakah beliau itu dapat dukungan dari kultur NU dan saya memberikan konfirmasi memang didukung, dan ada beberapa kiai yang berkumpul pada waktu itu - setahu saya - menjelang detik-detik penetapan yang memang tidak setuju dengan manuver PBNU soal Pak Mahfud dianggap bukan kader NU.

Jadi saya katakan memang struktur dan kultur NU ini bisa beda pandangannya.

Soal beda pandangan antara NU struktur dan warga NU kultural, bukankah i tu normal-normal saja?

Idealnya berjalan selaras. Untuk bisa berjalan selaras, maka struktur mau mendengarkan aspirasi dari warga kultural NU. Kalau tidak berjalan tidak selaras, ini kemudian yang menjadi pertanyaan "ada apa".

Nah kalau kemudian, pilihan struktur tidak sama dengan pilihan kultur, ini kurang bagus. Saya berharap bisa sama. Menurut saya, masih bisa dimediasi, masih bisa dinegosiasikan

Yang kita sayangkan memang struktur NU saat ini banyak politisi PKB yang ada di dalam.

Nah mungkin mereka tidak terlalu apresiatif terhadap sosok Pak Mahfud yang punya independensi dalam berpolitik, punya komitmen moral, dan orang yang tidak terlalu bisa disetir-setirlah.

Jadi di sanalah awal mulanya, sehingga struktur NU sampai bisa mengeluarkan pernyataan bahwa Pak Mahfud bukan orang NU.

Sayang sekali, dan inilah ke depan, yang menurut saya, harus diperbaiki bahwa NU jangan dikuasai oleh politisi-politisi.

NU itu justru harus menyetir politisi-politisi supaya bisa menyalurkan aspirasi warga NU.

Justru politisi-politisi itu diberi tugas. Baik politisi dari PKB, PPP, Golkar, Nasdem, PDI-P, Gerindra, itu semua harus diberi tugas untuk menyalurkan aspirasi warga NU.

Untuk itu, dia harus berdiri di atas semua kepentingan partai.[viva]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita