Terungkap! Sertifikat Tanah Didanai dari Utang Bank Dunia

Terungkap! Sertifikat Tanah Didanai dari Utang Bank Dunia

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO -  Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menanggapi masalah reforma agraria yang sampai saat ini masih menjadi polemik di berbagai daerah. Sebagaimana diketahui, pada sensus pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistk (BPS) menunjukkan penurunan jumlah petani dari 31,17 juta Rumah Tangga Pertanian (RTP) pada tahun 2003 menjadi 26,13 juta RTP pada tahun 2013.

Pada hasil tersebut, rata-rata 1 KK petani beralih dari kegiatan pertanian ke non-pertanian. Situasi ini memburuk karena pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur yang mengkonversi 400 ribuan hektar lahan pertanian tiap tahun.

Pada hasil tersebut, rata-rata 1 KK petani beralih dari kegiatan pertanian ke non-pertanian. Situasi ini memburuk karena pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur yang mengkonversi 400 ribuan hektar lahan pertanian tiap tahun.

YLBHI sendiri menilai, bahwa ribuan konflik agraria pun tidak tersentuh. Sebagian di antaranya ditangani 15 kantor LBH Indonesia dengan jumlah luas lahan konflik 338.280 hektar.

Pada rilisnya, YLBHI menyatakan, bahwa tiap memperingati Hari Tani Nasional, masyarakat berharap cita-cita Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menghapuskan ketimpangan penguasaan lahan akan terwujud.

“Tetapi, 58 tahun berlalu dan amanat UUPA makin jauh ditinggalkan. Program Reforma Agraria yang dicanangkan pemerintah atas tanah seluas 9 juta hektar ternyata juga tidak menyentuh akar konflik agraria, yaitu perampasan tanah,” sebut rilis tersebut.

Diketahui, reforma agraria pemerintah mensyaratkan lahan-lahan yang hendak dibagikan sudah selesai dari konflik (clean and clear). Tidak ada cara baru. Konflik agraria struktural dan menahun dihadapi dengan cara birokrasi biasa. Persyaratan clean and clear ini mengakibatkan penyelesaian konflik agraria mandeg dan mangkrak seperti dahulu.

Apalagi ribuan hektar tanah-tanah yang dikuasai PTPN dan Perhutani tidak menjadi obyek reforma agraria. Reforma Agraria memang bukan melulu soal konflik agraria, tetapi Reforma Agraria tidak mungkin dijalankan tanpa penyelesaian konflik agraria. Penyelesaian konflik adalah anak kandung Reforma Agraria. Artinya, program yang dijalankan sekarang bukanlah Reforma Agraria.

“Pelaksanaan Reforma Agraria ternyata didanai dari hutang Bank Dunia sebesar 200 juta Dollar (2,9 Triliun). Uang hutang ini digunakan untuk program percepatan reforma agraria (pembuatan kebijakan satu peta) termasuk di dalamnya sertifikasi tanah dalam bentuk Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).

“Kebijakan ini mengulang proyek Administrasi Pertanahan pada tahun 1990-an yang menjadikan tanah sebagai komoditas. Tanah diperjualbelikan, jadi alat mengakses kredit bank. Dalam prakteknya, PTSL justru melegitimasi penjarahan kembali tanah-tanah yang sudah direklaim/digarap kembali oleh petani sebagaimana terjadi di Pandanwangi, Lumajang, Jawa Timur,” tambah rilis itu.

Selain itu, sertifikasi lahan di atas tanah-tanah bebas konflik adalah pekerjaan administrasi rutin Kementerian ATR/BPN, sama sekali bukan Reforma Agraria. Reforma Agraria sejati menghendaki tanah negara diberikan kepada rakyat, bukan tanah rakyat yang disertifikatkan. YLBHI juga menyoroti sertifikasi tanah-tanah adat yang tidak lain adalah bentuk individualisasi tanah-tanah komunal yang mengancam keberadaan masyarakat adat.

“Hari Tani seharusnya dirayakan petani dengan suka cita. Ketika pemerintah sibuk berkoar-koar tentang capaian sertifikasi tanah dan Perhutanan Sosial, ratusan petani dan masyarakat adat masih mendekam di penjara,” sebut YLBHI.

YLBHI- LBH mengklaim telah mendampingi tidak kurang dari 70 orang petani termasuk di dalamnya masyarakat adat yang dikriminalisasi di berbagai wilayah di Indonesia sepanjang tahun 2017 hingga sekarang, tersebar di Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sulawesi Selatan.

“Dua kasus di antaranya adalah kriminalisasi Pak Aziz dan Pak Rusmin, petani Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal. Kedua petani ini divonis hakim 8 tahun penjara dan denda 10 milyar. Perhutani melaporkannya ke polisi karena kedua petani ini bersama 400 warga desa yang lain menolak meninggalkan lahan garapan yang telah ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan negara pada tahun 2014. Sebelum menjadi lahan hutan, lahan tersebut adalah perkebunan terlantar berstatus HGU PT,” sebut YLBHI.

Sumurpitu yang ditukar guling dengan lahan Perhutani di Kabupaten Rembang yang digunakan untuk pabrik semen PT. Semen Indonesia. Kasus lain adalah Satumin, petani hutan di Desa Bayu, Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi yang dipenjara dan tengah disidang PN Banyuwangi karena menggarap lahan Perhutani. Azis, Rusmin, dan Satumin dikenakan UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Dua orang masyarakat adat di Nagari Agam Sumatera Barat yang dipenjara di tanah ulayatnya (Pusaka Tinggi) sendiri akibat negara secara sewenang-wenang menetapkan fungsi kawasan hutan di atas tanah ulayat.

Konflik-konflik agraria semakin memanas ketika pemerintah justru membuat MOU penyertifikatan tanah-tanah TNI/Kemenhan. Padahal, konflik tanah antara masyarakat dengan militer menyebar di banyak daerah, utamanya Jawa Timur, dan belum terselesaikan. Sementara itu, Pemerintah tetap akan memaksakan keluarnya Perpres Reforma Agraria yang belum layak terbit karena sudah cacat secara nilai.



Menyikapi fakta-fakta di atas, YLBHI bersama 15 kantor LBH menyatakan sebagai berikut:

1.Program Reforma Agraria yang dikoar-koarkan pemerintah adalah penyelewengan Reforma Agraria.

2.Menuntut pemerintah menyelesaikan konflik-konflik agraria struktural yang diakibatkan pemberian izin/keputusan pemerintah dengan cara membatalkan izin/keputusan tersebut dan meredistribusikan lahan kepada masyarakat korban.

3.Menolak pelaksanaan Reforma Agraria yang dibiayai dari hutang Bank Dunia.

4.Menuntut dimasukkannya lahan-lahan PTPN dan Perhutani menjadi obyek TORA.

5.Menuntut pemerintah menarik militer dan polisi dari lahan konflik agraria.

6.Menghentikan kriminalisasi petani/masyarakat adat/masyarakat lokal yang tengah berjuang menuntut haknya atau yang sedang menggarap lahan hutan untuk kehidupannya.

7.Memberikan pemulihan kepada masyarakat yang terampas hak-haknya dalam bentuk grasi, amnesti, abolisi, kompensasi, dan rehabilitasi.

8.Menuntut pemerintah mencabut UU P3H.

9.Menyerukan kepada kaum tani untuk bersikap kritis dan mengkonsolidasikan diri mendongkrak Reforma Agraria Sejati.

Sumber: Indonesiakita
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita