'Perang Ulama' dalam Pusaran Pilpres 2019

'Perang Ulama' dalam Pusaran Pilpres 2019

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.*

Pilpres 2019 bukan saja pertarungan antara dua capres, pertaruhan antara partai pengusung, polaritas antara Ormas pendukung. Bahkan, Pilpres 2019 juga akan menjadi ajang pertarungan Marwah dan wibawa ulama.

Persoalan dimulai ketika KH. Ma’ruf Amin mempertanyakan kredibilitas ulama yang berhimpun pada forum ijtima’ ulama, yang menghasilkan rekomendasi berseberangan dengan kepentingan Jokowi – MA. Persoalan menjadi akut dan meruncing, ketika kubu Jokowi juga mengemukakan hal yang sama dalam forum ILC, bahkan dengan bahasa yang lebih terbuka.

Dalam diskursus ilmu, sesungguhnya para ulama berbeda pandangan pada aspek ijtihadiyah itu biasa dan wajar. Perbedaan pandangan antara Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, dalam memahami hukum syara’ ya g bersifat dzanni, tidak menyebabkan satu dengan yang lainnya saling menegasikan otoritasnya sebagai ulama.

Masing-masing mahzab fiqh dalam Islam tetap eksis, tetap saling menghormati, dan tidak ada satupun yang berani lancang menodai Marwah dan wibawa apalagi sampai meragukan otoritas keulamaan masing-masing mahzab. Di Indonesia, meskipun mayoritas bermahzab syafi’i, kitab-kitab klasik karangan ulama mahzab lain juga biasa dijadikan rujukan dalam istidlal.

Bahkan, kitab ulama dari golongan Syiah seperti ulama seperti kitab karangan Ash-Shan’ani dan Asy-Syaukani, kitab-kitabnya biasa menjadi rujukan ushul fiqh Ahlus Sunnah, termasuk di Indonesia. Perbedaan mahzab dan pandangan fiqh, tidak menjadikan diantara ulama saling menegasikan otoritas keulamaannya.

Meski tidak sekaliber -bahkan bisa dikatakan antara ujung langit dan bumi dengan ulama terdahulu – para ulama era kini, seharusnya mencontoh bagaimana sikap dan pandangan para ulama terdahulu dalam menghadapi pandangan yang berbeda. Persoalan menjadi pelik dan kompleks, jika perbedaan itu bukan saja pada soal fiqh politik saja, melainkan masuk pada aspek kepentingan politik.

Publik, bisa menilai secara umum ulama yang terhimpun dalam forum ijtima’ ulama memiliki ‘ijtihad’ politik berbeda, dengan kelompok ulama yang ada dalam barisan politik jokowi. Ijtihad yang mereka telurkan dalam forum ijtima’ Ulama, tidak ada satupun konten rekomendasi ijtihad yang menyebut atau menyinggung ulama di barisan jokowi sebagai ulama yang tidak kompeten. Bahkan, dalam komentar dan statement politik ulama yang berhimpun dalam forum ijtima ulama tetap fokus pada persoalan keumatan yang dihadapi, dan tidak melebar membahas pada pribadi ulama yang lain.

Friksi ulama terbuka, ketika KH. Ma’ruf Amin mulai membuka front dengan mempertanyakan kredibilitas ulama yang hadir dalam forum ijtima’, mempertanyakan ponpes dan santrinya. Persoalan semakin keruh, ketika Tokoh Pro Jokowi semakin menggosok dan memperuncing friksi ulama ini dalam forum ILC.

Pergesekan ini tidak akan berakhir dengan adu statement dan saling klaim. Ini persoalan wibawa dan Marwah yang mulai diragukan. Siapapun, baik orang biasa apalagi sekaliber ulama tidak ridlo jika ikhtiar maksimal untuk memperbaiki kondisi bangsa, diremehkan.

Dua kubu ulama akan saling beradu menunjukkan otoritas dan pengaruhnya ditengah-tengah umat. Pembuktian yang mungkin muncul boleh jadi akan menyimpang jauh dari hakekat ulama, sebagaimana definisi ulama yang digariskan oleh Islam.

Pembuktian otoritas keulamaan bisa muncul dengan parameter baru yang menyimpang. Siapa yang mampu mempengaruhi umat dan memenangkan jagoannya dalam Pilpres, dialah yang merasa memiliki hak dan otoritas untuk disebut sebagai ulama. Siapapun yang kalah dalam memberikan dukungan kepada capres tertentu, akan dianggap tidak otoritatif menyandang status sebagai ulama.

Kondisi ini sangat tragis, membuka friksi baru dan membelah elemen anak bangsa, yang sebelumnya sudah terlalu terbelah dengan berbagai isu yang tidak produktif. Isu ‘aku Pancasila’ telah membelah elemen anak bangsa, berdasarkan klaim Pancasila, kepada kubu pembela dan perusak Pancasila.

Friksi ulama ini harus disikapi secara arif dan bijak agar umat yang ada dibawah tidak terjebak karena perbedaan kepentingan politik. Kita tidak mungkin berharap pada jokowi, untuk dapat berdiri tegak diatas kepentingan semua anak bangsa, menyelesaikan persoalan ini.

Legacy kepemimpinan jokowi selama empat tahun ini telah memberi gambaran tegas, bagaimana politik kepentingan dan partisan dijadikan standar mengelola pemerintahan. Jokowi hanya dirasakan sebagai Presiden pendukung, Presiden PDIP, Presiden PROJO, Presiden koalisi partai jokowi, bukan Presiden seluruh rakyat Indonesia.

Persoalan friksi ulama ini harus diselesaikan oleh ulama, yang hanya takut kepada Allah SWT, untuk menjauhkan kepentingan politik sebagai asas dalam bertindak. Memang, bagi ulama yang berhimpun dalam forum ijtima’ ulama harus menunjukan kebijakan, kapasitas keulamaan dan empati kepada umat lebih baik, setelah sebelumnya otoritasnya dikerdilkan oleh ulama pro rezim. Sesungguhnya status ulama itu ikhtirom dan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Bagi ulama yang tidak takut kepada Allah SWT, mudah merendahkan Marwah dan wibawa ulama lainnya, cukuplah bagi kita umat Islam kebanyakan, untuk berhati-hati terhadapnya, memperhatikan setiap untaian kata yang keluar dari lisannya. Jika fatwanya bertentangan dengan syariah, ulama yang demikian cukuplah untuk dikesampingkan.

Terakhir, nasihat tidak selalu dari ulama kepada umat. Agama adalah nasihat, bahkan nasihat itu juga berlaku bagi para ulama. Bagi siapapun pihak yang menyandang gelar ulama, takutlah kepada Allah SWT.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

“Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS Surat Fathir: 28). [swa]

*) Ketua LBH Pelita Umat
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita