Aksi 212 Disebut Pemicu Intoleransi, PA 212: Survei LSI Menyesatkan

Aksi 212 Disebut Pemicu Intoleransi, PA 212: Survei LSI Menyesatkan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Lembaga Survei Indonesia (LSI) merilis survei yang menyebut aksi 2 Desember 2016 atau aksi 212 sebagai pembuka keran munculnya Intoleransi. Persaudaraan Alumni 212 (PA 212) menduga LSI dekat dengan penguasa dan mendiskreditkan pihak yang berseberangan.

"Untuk LSI sangat kuat kami duga memang survei pesanan penguasa untuk menjatuhkan elektabilitas caleg, cabup, cagub dan capres dari pihak yang berseberangan penguasa yang LSI ini tugasnya menggiring suara ke penguasa," ujar Juru Bicara PA 212, Novel Bamukmin, kepada detikcom, Selasa (25/9/2018).

Sebab, Novel melihat hasil survei LSI yang menggiring opini untuk menjatuhkan kandidat kepala daerah dari pihak oposisi. Nah oleh karenanya, ia tidak sependapat jika aksi 212 disebut pemicu lahirnya intoleransi.

"Apalagi lebih ngawur lagi kalau aksi bela Islam yang jelas di situ puncak toleransi yang real dan keajaiban yang memecahkan teori apa pun karena 8 juta berjalan super tertib, super toleransi," jelas Novel yang menyebut aksi 212 super damai.

PA 212 mengimbau kepada alumni aksi supaya tidak terpecah akibat survei LSI. Karena menurutnya, survei tersebut menyesatkan.

"Saya berharap agar umat Islam, khususnya alumni 212 dan para pendukungnya harus tetap solid, jangan terpecah belah dengan survei yang menyesatkan dan kalau memang terjadi lagi kebohongan publik maka saya dan kawan-kawan akan melaporkan LSI," kata Novel.

Sebelumnya, LSI merilis survei soal tren persepsi publik tentang demokrasi, korupsi, dan intoleransi. Hasilnya, 84 persen responden tidak keberatan jika warga muslim yang membangun tempat ibadah di daerah yang mayoritas warga nonmuslim.

Sekitar 78 persen warga nonmuslim juga tak keberatan jika punya bupati dan gubernur muslim. Sebanyak 86 persen nonmuslim tak keberatan juga punya presiden muslim.

Dari data yang didapat, LSI mengatakan aksi 212 bukan puncak dari intoleransi, melainkan justru menjadi keran munculnya intoleransi lainnya.

"Aksi 212 bukan merupakan puncak radikalisme, tapi 212 buka keran naiknya intoleransi. Minimal kita punya perbandingan di akhir 2016 awal 2017," terang Peneliti Senior LSI Burhanuddin Muhtadi di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta Pusat, Senin (24/9).

Survei ini dilakukan kepada warga Indonesia yang punya hak pilih pada pemilu, yakni yang sudah berusia 17 tahun atau lebih. Survei dilakukan pada Agustus 2018 dengan sampel 1.520 responden. Metode yang dipilih adalah multistage random sampling.[dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita