MUI Urus Umat atau Berpolitik

MUI Urus Umat atau Berpolitik

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mendukung langkah MUI Jawa Barat melarang deklarasi gerakan tagar #2019GantiPresiden. Larangan ini tentu saja menuai reaksi negatif dari berbagai kalangan. Jelang Pilpres 2019, lembaga yang diisi para ulama ini dinilai telah dibawa-bawa  ke urusan politik. Padahal, ulama seharusnya menjadi pencerah dan payung umat, netral,  dan harus menjaga kerukunan.

Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Muslim Arbi mengatakan, saat ini MUI memang sudah bergeser misi dari mengurusi umat menjadi mengurusi politik. Padahal semua pihak juga mengetahui bahwa MUI bukan parpol tapi lembaga untuk mengurusi aqidah.

Menurutnya, jika MUI berubah mengurus politik dari pada urus umat maka akan membuat posisi MUI di mata umat juga di mata pemerintah menjadi buruk. Sehingga ketika MUI mengeluarkan fatwa maka bisa dianggap membawa misi dan kepentingan politik tertentu.  "Ini yang harus dihindari oleh MUI," tegasnya kepada Harian Terbit, Minggu (5/8/2018).

Muslim berpesan agar MUI memposisikan diri sebagai pemberi pencerah bagi umat. Oleh karena itu MUI juga harus menolak dengan tegas untuk ditarik kesana-kemari oleh kentingan politik tertentu. MUI jangan tergoda dan mesti mejaga marwah dan martabatnya sebagai lembaga umat yang netral. Biarlah sosial politik mapun politik praktis diurus parpol dan kekuatan-kekuatan yang bermain di politik.

"Pemimpin juga jangan goda dan seret-seret ulama di MUI berpolitik apalagi politik praktis," tegasnya.

Lebih lanjut Muslim mempertanyakan pengurus MUI Jawa Barat yang melarang ada deklarasi #2019GantiPresiden. Namun disatu sisi justru Ketua MUI KH Ma'ruf Amin  bersedia menjadi cawapres Jokowi. Oleh karenanya MUI dikesankan masuk wilayah politik praktis. Karena bisa saja dalam hal pelarangan MUI terhadap deklrasi #2019GantiPresiden karena Ketua MUI telah menjadi Timses Jokowi sebagai petahana.

"Makanya pantas saja ada suara dari Lampung yang desak KH Ma'ruf Amin mundur karena bersedia sebagai cawapres Jokowi," paparnya.

Sementara itu, Humas Persaudaraan Alumni (PA) 212 Habib Novel Bamukmin mengatakan, adanya larangan MUI Jawa Barat yang melarang deklarasi #2019GantiPresiden dan disatu sisi Ketua MUI KH Ma'ruf Amin siap menjadi cawapres Jokowi, maka keadaan MUI saat ini benar benar sangat memprihatinkan. Ibarat bahasa "guru kencing berdiri murid kencing berlari" dan situasi ini bisa dikatakan kembali ke masa lalu dimana  yang ulama diadu domba sesama ulama dan umat Islam.

Novel pun menyarankan agar MUI pusat dan daerah berhenti untuk berpolitik karena sangat mengancam keutuhan bangsa dan bernegara serta merusak tatanan beragama bagi umat Islam. Apalagi saat ini rakyat Indonesia  yang awam sedang gamang menghadapi situasi politik yang tak sehat. Sehingga fatwa MUI bisa menjadi sesat dengan nafsu politik mungkar penguasa yang MUI menjadi corongnya.

Mempertanyakan

Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat, Dr. H. Ikhsan Abdullah, SH.MH justru mempertanyakan apakah ada larangan deklrasi #2019GantiPresiden oleh MUI. Karena yang dialkukan MUi Jawa Barat hanya sekedar himbauan. "Apa benar ada perintah MUI? Bentuknya apa ya..??," tanyanya.

Ikhsan menilai pernyataan yang disampaikan MUI Jabar atas deklarasi #2019GantiPresiden hanya sebatas himbauan agar suasana politik di Indonesia menjadi damai dan tanpa ada konflik. "Itu sebatas himbauan. Baik-baik saja agar suasana cool," paprmya.

Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menilai, imbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat untuk menolak gerakan deklarasi #2019GantiPresiden tidak tepat.

Menurutnya, MUI tidak dalam ranah untuk menolak sebuah gerakan sosial. Ia menyarankan agar MUI fokus dalam hal-hal agama saja dan tidaj ikut campur dalam berpolitik.
.
"Tugasnya majelis ulama, tugas ulama itu kan menjaga agama pada dasarnya, ngapain dia masuk politik. Nanti kalau sebelah sini dia bilang berpolitik, sebelah sana ga berpolitik, ya itulah kacau, tahan diri aja, ini biasa kok, dialektika," kata Fahri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (3/8/2018).
.
Fahri melanjutkan, dalam demokrasi gerakan untuk mengganti presiden merupakan hal yang wajar. Bahkan, ia menyarankan agar kubu Joko Widodo juga membuat gerakan serupa dengan tagline tetap presiden.

"Kalau anda ga setuju sama satu pendapat, keluarkan pendapat lain, kalau anda ga setuju dengan satu gerakan, bikin gerakan lain, begitu namanya demokrasi.  Jangan berpretensi untuk larang sana larang sini. Menggantti pimpinan dalam demorkasi itu legal, ga da yang terlarang, orde baru dulu kita gaboleh ngomong gitu, mati kita. Sekarang kan bebas kita, mau ganti siapa saja boleh," kata politikus PKS itu. [htc]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA