Menunggu Pembuktian Demokrat

Menunggu Pembuktian Demokrat

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh Bayu Hermawan*

Dinamika politik tersaji di waktu terakhir batas pengajuan calon presiden (capres) dan cawapres dalam pemilihan umum presiden (pilpres) 2019. Baik kubu koalisi pengusung Joko Widodo (Jokowi) maupun kubu koalisi pengusung Prabowo, sama-sama menyajikan cerita-cerita yang menyita perhatian publik. Dan, hal yang tersisa dari dinamika politik itu, bukan tidak mungkin menjadi amunisi untuk pertarungan saat kampanye pilpres nanti. Minimal di media sosial.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima pendaftaran dua pasangan bakal capres dan cawapres. Dipastikan Jokowi akan bertarung ulang dengan Prabowo di pilpres. Hanya saja, kali ini pasangan cawapresnya yang berbeda dibandingkan pilpres 2014 lalu. Namun, sebelum pendaftaran, publik disuguhkan dinamika politik yang menarik, khususnya dalam pemilihan calon wakil presiden. Seperti yang sudah diprediksi sejak lama, proses penetapan cawapres di dua kubu koalisi memang yang akan paling menarik. Sengit juga panas.

Jika dilihat, drama politik yang disajikan kubu Prabowo Subianto yang paling menarik disimak. Bukan karena koalisi Jokowi tanpa drama dalam proses penetapan cawapres. Di sana ada gagalnya Mahfud MD sebagai cawapres dimenit akhir.

Mahfud MD sempat blak-blakan mengisahkan bagaimana dirinya gagal dalam sebuah acara di TV nasional, tetap parpol koalisi Jokowi langsung meng-counter pernyataan Mahfud tersebut. Bisa dikatakan, pengakuan Mahfud hampir tidak terasa efek getarnya di internal koalisi Jokowi. Buktinya, parpol-parpol koalisi Jokowi tetap kompak melanjutkan penyusunan tim pemenangan.

Sikap Mahfud pun seperti apa yang berkali-kali disampaikannya, bahwa dirinya sudah 'ikhlas' dan menyadari bahwa ini adalah dinamika politik biasa, sehingga tidak melanjutkan serangan ke koalisi Jokowi. Meski hal ini tetap bisa digunakan oleh kubu lawan sebagai celah untuk melancarkan serangan di pilpres. Bagaimana dengan koalisi kubu Prabowo?

Saya menilai, dinamika dan drama politik di kubu koalisi pengusung Prabowo Subianto yang paling menarik. Bahkan hingga saat ini, masih saja ada dinamika tersebut. Saya melihat, Partai Demokrat menjadi aktor utama drama dan dinamika di kubu penantang capres pejawat. Jika kita simak, sejak awal atau sejak Pilkada Jakarta, hubungan antara Gerindra dan PKS dalam menyikapi pilpres 2019 terbilang sangat harmonis. Seolah keduanya saling memberi dan menerima. coba tenggok pilkada saat pilkada serentak lalu, seperti yang terjadi di Jabar. Meski calon yang diusungnya gagal meraih kemenangan, hal itu tidak membuat hubungan Gerindra dan PKS renggang. Malahan, justru semakin kuat.

Masuknya Partai Amanat Nasional (PAN) pun seperti tidak berefek apa-apa dalam kemesraan Gerindra-PKS. Meski PAN juga menyodorkan nama-nama kader untuk diusung sebagai capres dan cawapres, tetap saja suhu politik di koalisi tersebut tetap adem. Justru hadirnya Demokrat yang membuat hubungan di internal koalisi pengusung Prabowo menjadi memanas.

Hadirnya Demokrat dalam koalisi pengusung prabowo, langsung membuat dinamika hadirnya poros ketiga di pilpres menguat. PKS bahkan seolah langsung menetapkan jika posisi cawapres adalah harga mati dalam koalisi pengusung Prabowo. Beberapa politikus PKS juga bahkan sempat menyatakan jika dukungan ke Prabowo di pilpres belum final dan dapat berubah.

Hal ini membuat Prabowo, sang bakal capres, harus sibuk melakukan safari politik bertemu dengan pimpinan-pimpinan parpol. Berbeda dengan kubu Jokowi, dimana seolah sang capreslah yang duduk santai, dan parpol pengusung yang mendatanginya.

Drama politik paling seru dari kubu Prabowo subianto tentu saja muncul dari cicitan politikus Demokrat, Andi Arief yang menyebut ada mahar politik dibalik penentuan cawapres prabowo. Bahkan, politikus demokrat itu menyebut Prabowo dengan julukan ‘ Jenderal Kardus'. Kubu lawan Prabowo pun seolah mendapat dua durian runtuh dari cicitan Andi Arief. Ibarat kata, sekali dayung satu dua pulau terlampaui, sekali berkicau di twitter, peluru untuk menyerang Prabowo secara personal dan koalisi pengusungnya didapatkan.

Pertama, sebutan ‘Jenderal Kardus' akan tetap akan digunakan bagi non pendukung Prabowo untuk ‘ em-bully' mantan danjen Kopassus itu di pilpres nanti. Kedua tentu saja isu 'mahar politik' akan menjadi peluru paling seksi untuk digunakan menyerang parpol koalisi prabowo di kampanye pilpres 2019. Meski drama yang dihadirkan Partai Demokrat berakhir dengan tetap bergabungnya partai besutan SBY itu dalam barisan pengusung Prabowo-Sandiaga Uno, namun kubu lawan telah terlanjur mendapatkan senjata untuk menyerang prabowo-Sandiaga.

Terlebih, sudah ada pihak-pihak yang melaporkan dan mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk memproses cicitan soal mahal politik itu. Meski Bawaslu mengatakan calon yang melakukan mahar politik tidak bisa didiskualifikasi, namun jika terbukti efek buruk dari mahar politik ini akan menimpa parpol pengusung. Dimana, parpol-parpol tersebut tidak bisa mengajukan capres-cawapres dalam Pilpres 2024. Tentunya ini bakal menjadi kerugian besar.

Setelah drama-drama yang dihadirkan, kini yang paling ditunggu adalah bagaimana keseriusan Demokrat dalam memenangkan Prabowo-Sandiaga. Dari sanalah Demokrat bisa menjawab keraguan publik jika partai itu tidak hanya sekadar mengugurkan kewajiban mengusung capres-cawapres di Pilpres 2019, dan bahwa apa yang terjadi tidak lebih dari dinamika politik biasa.

Jika Demokrat memang serius dalam pilpres kali ini, tentu hal tersebut akan sangat membantu Prabowo-Sandiaga Uno. Bagaimanapun, punya modal untuk mengantarkan capres-cawapres yang diusungnya untuk menang.

Kekuatan demokrat tidak bisa dipandang enteng. Berkaca dari hasil pemilu 2014 lalu, Partai Demokrat bisa duduk diposisi empat besar atau memperoleh suara 10,19 persen secara nasional. Artinya, jika mesin politik benar-benar digerakan secara maksimal dan tulus maka Demokrat bisa menjadi pembeda di Pilpres 2019.

Demokrat juga memiliki SBY yang merupakan veteran dalam pilpres. Pada Pilpres 2014, SBY boleh dikatakan tidak benar-benar turun gunung dalam membela capres dan cawapres yang ikut diusungnya. Kini, sebagai bukti keseriusan mendukung Prabowo-Sandi, SBY harus turun gunung dan menjadi pelatih bagi Prabowo.

Sebagai mantan presiden dua periode berturut-turut, SBY kemungkinan mempunyai banyak data-data, yang bisa digunakan sebagai amunisi bagi prabowo. Mulai dari kebijakan-kebijakan pemerintah saat ini, hingga catatan capaian pemerintah, serta program-program Prabowo-Sandi. Ini agar pasangan tersebut bisa unggul dari Jokowi.

Selain itu, mesti diingat SBY juga punya julukan “Thinking General" atau jenderal yang berpikir. Mungkin saat ini banyak yang meragukan SBY, bahkan kata “Jenderal Baper" juga disematkan oleh pihak-pihak yang menyerang SBY. Tapi bukankah di eranya, hanya SBY yang bisa mengalahkan Megawati beserta PDIP. Jika diibaratkan pertandingan sepak bola, kita harus mengakui jika skor SBY melawan Megawati adalah 2-0 untuk kemenangan SBY. Catatan ini tidak boleh dipandang sebelah mata. Portofolio ini menunjukkan jika Demokrat dan SBY serius mendukung, maka bisa menjadi faktor penting kemenangan Prabowo-Sandiaga.

Sangat menarik untuk ditunggu bagaimana strategi Demokrat dalam pilpres kali ini. Apakah menerapkan strategi menyerang untuk mem-backup Prabowo-Sandi, atau hanya menerapkan strategi ‘Parkir Bus’, dengan hanya mempedulikan pencapaian mereka di pemilu legislatif yang digelar bersamaan.

Secara pribadi saya menilai, kini saatnya Demokrat serius di pilpres. Sebab seperti yang disinggung di atas, bahwa Pilpres 2024 nanti, persaingansangat terbuka. Sehingga  Pilpres 2019 inilah seharusnya Demokrat mulai merentas jalan untuk kembali menjadi besar.

Jika Demokrat bisa all out dalam pilpres kali ini, apapun hasilnya nanti pasti akan menjadi nilai positif bagi partai tersebut. Demokrat akan diperhitungkan untuk digandeng di 2024, dan bukan tidak mungkin cita-cita demokrat mendorong AHY jadi capres atau cawapres akan semakin terbuka. Namun, jika Demokrat hanya menjadi pengembira di pilpres kali ini, bukan tidak mungkin juga partai itu akan semakin dipandang sebelah mata, karena dinilai mesin politik Demokrat tak mampu diandalkan untuk kontestasi-kontestasi besar di dalam negeri. Jadi, kini publik menunggu keseriusan Demokrat di pertarungan pilpres 2019. [rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita