Angka Kemiskinan Turun, Tapi Masyarakat Miskin Masih 25,95 Juta Orang

Angka Kemiskinan Turun, Tapi Masyarakat Miskin Masih 25,95 Juta Orang

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan angka kemiskinan Indonesia adalah 9,82 dengan jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2018 adalah 25,95 juta orang atau 10 persen dari populasi total jumlah penduduk Indonesia.  Angka itu menurun, jika dibanding September 2017, yaitu 26,58 juta orang (10,12 persen).

BPS mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar, yang diukur dari pengeluaran. Artinya, orang yang pengeluarannya di bawah angka rata-rata garis kemiskinan termasuk warga miskin. Untuk bulan Maret 2018, angka rata-rata garis kemiskinan adalah Rp401.220 per kapita per bulan. Angka tersebut lebih tinggi dibanding pada 2017, yang pada semester pertama (Maret) berjumlah Rp361.496 dan Rp 370.910 pada semester kedua 2017.

“Meskipun persentase penduduk miskin di Indonesia mencapai rekor terendah, penyebarannya tidak merata. Penduduk miskin yang tinggal di desa lebih banyak dari penduduk yang miskin kota,” ujar Kepala BPS Suhariyanto.

Persentase penduduk miskin di perkotaan per Maret 2018 sebesar 7,02 persen, turun dibandingkan September 2017 sebesar 7,26 persen. Sama halnya dengan di perdesaan, di mana persentasenya pada Maret 2018 sebesar 13,20 persen, turun dari posisi September 2017 sebesar 13,47 persen.

Secara wilayah, tingkat kemiskinan terbanyak di Pulau Jawa mencapai 13,94 juta, Sumatera 5,98 juta, Sulawesi 2,06 juta, Bali dan Nusa Tenggara 2,05 juta, Maluku-Papua 1,53 juta, dan Kalimantan 980 ribu. Di Maluku dan Papua, 29,15% penduduk yang tinggal di desa masih miskin. Di kota, hanya 5,03% penduduk masuk kategori miskin. Di Bali dan Nusa Tenggara, 17,77% penduduk desa masuk kategori miskin. Daerah dengan persentase penduduk miskin terendah adalah di Kalimantan, 7,6% (di kota 4,33%).

BPS juga menjelaskan bahwa ketimpangan antara penduduk kaya dan miskin pun berkurang. Rasio gini pada Maret 2018 adalah 0,389. Angka ini turun dari rasio gini setahun lalu, Maret 2017 sebesar 0,391.

Sebagaimana diketahui, tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk diukur dengan angka rasio gini. Saat rasio gini semakin mendekati angka satu, artinya ketimpangan semakin besar. Ketika rasio gini semakin dekat ke angka nol, artinya sudah ada kesetaraan dalam pengeluaran penduduk.

Menurut BPS, makanan yang berpengaruh besar terhadap garis kemiskinan di kota dan desa adalah beras, rokok kretek filter, daging sapi, telur ayam ras, mi instan dan gula pasir. Selain makanan, kebutuhan yang pengaruhnya besar adalah perumahan, bensin, listrik, pendidikan dan perlengkapan mandi.

Kedepan, faktor inflasi bahan pangan patut jadi perhatian. Sebab angkanya cukup fluktuatif; inflasi bahan pangan untuk beras mencapai 8,57 persen, telur ayam ras 2,81 persen, daging ayam 4,87 persen, cabai rawit 49,91 persen, dan cabai merah 53,87 persen. Sedangkan gulai pasir harganya turun 4,19 persen, minyak goreng minus 0,6 persen, dan daging sapi minus 0,37 persen.

Metode Pengukuran BPS

Metode pengukuran garis kemiskinan BPS masih lebih tinggi dari rata-rata Upah Minimum Regional (UMR) Provinsi dan standar Bank Dunia. Oleh karena itu, pemerintah perlu menjaga stabilitas harga pangan sebagai faktor terbesar pengeluaran masyarakat miskin.

“Tingkat garis kemiskinan yang ditetapkan BPS tergolong tinggi karena angka Rp401 ribu adalah angka rata-rata. Seperti di Jakarta nilai garis kemiskinan Rp593 ribu per kapita maka pengeluaran keluarga miskin dengan 4-5 orang mencapai sekira Rp3,1 juta (sedikit di bawah UMR DKI Rp3,6 juta). Adapun nilai garis kemiskinan NTT mencapai Rp354 ribuan atau sekitar Rp2 jutaan ini masih di atas UMR Rp1,7 juta,” jelas Suhariyanto

Menurutnya, BPS sejak tahun 1984 sudah melakukan survei jumlah kemiskinan pada bulan Maret dan September. Jadi tidak benar kalau kami melakukan survei saat panen raya.

BPS menghitung garis kemiskinan berdasarkan acuan dari Bank Dunia. Selama ini lembaga tersebut menghitung angka kemiskinan dari kelompok makanan dan non-makanan bukan berdasarkan nilai tukar US dolar atas rupiah yang sekarang rata-rata Rp14.400 per 1 dolar US. Namun memakai US dolar PPP (Purchasing Power Poverty). Angka konversi US dolar PPP adalah banyaknya rupiah yang dikeluarkan untuk membeli sejumlah barang yang sama setara dengan 1 dolar di Amerika Serikat (sekitar Rp4 ribuan).

Dengan demikian, dengan rata-rata garis kemiskinan versi BPS jika dihitung berdasarkan standar kemiskinan ekstrem Bank Dunia sebesar 1,9 US dolar PPP maka jumlahnya sudah mencapai 2,5 US dolar PPP.

Bappenas dan Kemiskinan

Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro mengungkapkan Indonesia harus bebas dari krisis ekonomi untuk menjaga angka kemiskinan tetap rendah. Pasalnya, Indonesia pernah mengalami krisis ekonomi pada tahun 1998 dan menyebabkan angka kemiskinan anjlok.

“Faktor-faktor pendorong penurunan tingkat kemiskinan, penurunan ketimpangan yang ditandai dengan Gini Rasio yang membaik, serta strategi khusus dalam penganggulangan kemiskinan untuk 2018,” jelas Bambang.

Selanjutnya Bambang memaparkan bahwa dilihat dari dinamika tingkat kemiskinan 2009-2017, kemiskinan di perdesaan lebih tinggi dari di perkotaan. Pada September 2017, kemiskinan di perdesaan sebesar 13,47 persen atau secara absolut 16,31 juta jiwa, sedangkan di perkotaan 7,26 persen atau secara absolut 10,27 juta jiwa. Pada periode 2010-2014, tingkat penurunan kemiskinan di perdesaan lebih cepat dari di perkotaan.

Namun pada tahun 2014-2016, penurunan kemiskinan di perdesaan mengalami perlambatan, bahkan terjadi peningkatan angka kemiskinan pada periode 2014-2015. Kembali mengulang tren pada periode 2010-2014, pada periode 2016-2017 terjadi penurunan kemiskinan di perdesaan lebih cepat dari perkotaan.

Terdapat tiga faktor pendorong penurunan kemiskinan pada 2017. Pertama, inflasi terjaga stabil dalam rentang target 4,0 plus 1 persen. Dalam kurun waktu Maret-September, inflasi umum dapat dijaga pada tingkat 1,45 persen. Pemerintah berhasil menjaga stabilitas harga pada saat hari raya lebaran, terutama pada komponen makanan.

Kedua, meningkatnya upah riil buruh tani sebesar 1,05 persen dalam enam bulan terakhir. Ketiga, integrasi program-program penanggulangan kemiskinan.

“Kemiskinan di perdesaan paling banyak dari buruh tani. Dengan adanya perbaikan upah riil buruh tani akan membantu meningkatkan kesejahteraan petani dan mengurangi kemiskinan di perdesaan,” ujarnya.

Selanjutnya Menteri Bambang menjelaskan bagaimana BPS menentukan siapa yang hidup di bawah garis kemiskinan dan siapa yang berada di atas garis kemiskinan. Garis kemiskinan menunjukkan konsumsi komoditas pangan tertentu yang dinyatakan dengan kalori.

“Garis kemiskinan nasional lebih tinggi daripada garis kemiskinan di perdesaan, dan garis kemiskinan di perkotaan lebih tinggi daripada garis kemiskinan nasional, karena pengeluaran di perkotaan lebih mahal dibandingkan rata-rata nasional dan apalagi dibandingkan dengan perdesaan. Kalau kita lihat perkembangan 2014-2017, garis kemiskinan naik karena ada inflasi. Untuk itu, sangat penting untuk menjaga inflasi. Kalau inflasi tidak dijaga dan garis kemiskinan naiknya lebih tajam, maka akan semakin sulit untuk mengurangi kemiskinan,” jelas Menteri Bambang.

Salah satu strategi khusus dalam penanggulangan kemiskinan pada 2018 adalah dengan integrasi program kemiskinan, yaitu dengan pelaksanaan perlindungan sosial didasarkan pada pendekatan siklus hidup (life-cycle), penerima bantuan menerima manfaat lengkap karena bersifat single targeting framework untuk intervensi kemiskinan secara holistik, dan mendorong pengembangan pelayanan satu pintu dan implementasi bantuan sosial non-tunai.

“Studi empiris menunjukkan kalau kita mengintegrasi program-program kemiskinan, maka tingkat kemiskinan dapat turun sebanyak dua persen. Sekarang tingkat kemiskinan kita sepuluh persen, harusnya bisa jadi delapan persen. Harus ada upaya pengintegrasian supaya penurunan kemiskinan lebih cepat,” paparnya lagi.

Strategi lainnya adalah dengan perluasan bantuan sosial non-tunai yang harus dipastikan berjalan tepat waktu, mengarahkan bantuan pangan non-tunai (BPNT) untuk memperbaiki pola konsumsi pangan masyarakat, serta padat karya tunai (cash for work) untuk masyarakat kurang mampu.

Menurutnya, Pemerintah dapat terus menurunkan angka kemiskinan dengan peran serta pemerintah daerah (pemda) dalam membantu memverivikasi data penduduk miskin, sehingga penyaluran Bansos semakin tepat sasaran.

“Peran pemda dalam verifikasi data sangat penting, karena Kemensos tidak punya tangan di daerah. Kalau pemda lambat update data, kurang akurat, maka akhirnya Kemensos akan mendistribusikan Bansos tidak tepat. Daerah sangat penting, bukan hanya tugas pemerintah pusat. Paling tidak daerah harus bantu data verifikasi data seakurat mungkin,” katanya.

Angka Ketimpangan Terus Menurun, Kesejahteraan Masyarakat Meningkat?

Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Bambang Widianto Pertanyaan menarik, apakah garis kemiskinan rendah atau tidak, ada perbedaan cara pandang cukup signifikan jika menggunakan parameter berbeda. Antara parameter Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Bank Dunia berbeda untuk ukuran garis kemiskinan.

Bambang menjelaskan, misalnya pendapatan rumah tangga perbulannya Rp 3 juta, apakah masuk kategori garis kemiskinan? Untuk ukuran ini yang disesuaikan dengan wilayah atau negara, parameter antara BPS dan Bank Dunia berbeda.

“Rasanya, agak kurang relevan jika berdebat di situ. Kalau pertanyaannya ketinggian, ya tidak juga. Kalau pendapatannya di bawah Rp 3 juta, ya wajar jika dibilang miskin,” ujar Bambang.

Secara umum, komponen terbesar untuk mengukur garis kemiskinan ada dua hal, yakni kelompok makanan dan bukan makanan. Untuk kelompok makanan yang paling besar adalah beras, dengan besaran 73 persen.

“Karena itu, kenapa kemiskinan di masing-masing provinsi berbeda-beda, karena cara memenuhi kebutuhan kalorinya juga berbeda-beda. Misalnya, di Jakarta memakan pisang, tapi di Amerika nilai dan harganya cukup tinggi. Sehingga bisa dikatakan kalau yang bisa mengkonsumsi pisang berarti bukan orang miskin,” ulas Bambang.

Sementara, lanjut Bambang, garis kemiskinan menurut BPS, garis kemiskinan kita lebih tinggi daripada garis kemiskinan bank dunia. Kalau patokan bank dunia angka kemiskinan kita di tahun 2016, kita masuk di atas garis kemiskinan.

“Yang perlu kita perhatikan, kalau garis kemisikinan tiap kali diukur selalu berubah. Jadi tidak menggunakan. Kalau patokannya bukan makan singkong lagi, jelas kita sudah tidak bisa dibilang miskin karena sudah mengkonsumsi beras,” papar Bambang.

Karena itu, menurut Sekretaris Eksekutif TNP2K, kalau menggunakan parameter bank dunia, kemiskinan di Indonesia tidak terlalu rendah. Dan ini berbeda dengan parameter BPS.

“Penanggulangan kemiskinan tidak bisa bergantung hanya kepada bantuan sosial, tapi dari patokan dan ukuran garis kemiskinan itu sendiri. Salah satunya dengan menjaga harga, khususnya harga beras. Itu yang paling penting dilakukan saat ini,” ungkap Bambang.

Berikutnya, menurut Bambang, terkait ketimpangan, di kelompok 40 persen ke bawah, artinya program-program pemerintah terbukti bisa mempercepat pertumbuhan konsumsi masyarakat di level yang paling bawah.

“Mudah-mudahan jika tren ini dapat terjaga, angka ketimpangan kita ke depannya akan terus menurun dan dampaknya kesejahteraan masyarakat terus meningkat,” pungkas Bambang.

Standar Kemiskinan Masih ‘Debatable’

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menilai persoalan bangsa yang terkait keadilan sosial adalah kemiskinan masih relatif tinggi dan masalah ketimpangan sosial. Selain itu SBY juga menyebut penduduk miskin di Indonesia berjumlah 100 juta orang berdasarkan data Bank Dunia dalam menentukan batas kemiskinan. Menurut Bank Dunia, seorang bisa dikategorikan miskin apabila penghasilannya di bawah 2 dollar per hari. Artinya, dikategorikan miskin jika penghasilan dibawah Rp26.000 per hari atau Rp 780.000 per kapita per bulan. Dari hasil tersebut, penduduk miskin Indonesia diperkirakan mencapai 47% atau 120 juta jiwa dari total populasi 226 juta jiwa.

Namun, Kementerian Keuangan menilai penghitungan yang dilakukan SBY adalah tidak benar. Untuk penghitungan poverty line, Bank Dunia tidak menggunakan nilai tukar kurs dolar sebagaimana yang dipakai dalam kurs sehari-hari. Dalam penghitungan tersebut disampaikan bahwa kursnya 13.300 rupiah, sedangkan Bank Dunia dalam penghitungannya menggunakan  nilai tukar sebesar 5.639 rupiah untuk tahun 2018 ini. Nilai tukar ini berbeda karena memperhatikan Purchasing Power Parity. Nilai tukar PPP didapat dengan memperbandingkan berapa banyak yang diperlukan untuk membeli sekaranjang barang dan jasa yang sama di masing masing negara.

“Untuk Indonesia garis kemiskinan 1,9 dolar PPP untuk tahun 2018 setara dengan 321.432 rupiah per kapita per bulan dan ini berarti 1.9 PPP angka kemiskinan untuk Indonesia adalah 4,6 persen dan jumlah orang yang dibawah garis kemiskinan adalah sekitar 12.15 juta jiwa. Sedangkan angka kemiskinan nasional Indonesia yang baru dikeluarkan BPS menunjukkan angka 9.82 persen dengan jumlah orang miskin sebesar 25,95 juta jiwa,” ujar Nufransa Wira Sakti, Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu.

Menurutnya, jumlah orang miskin berdasarkan 1,9 dolar PPP jauh lebih kecil dari 100 juta dan bahkan jauh lebih kecil dari jumlah orang miskin berdasarkan garis kemiskinan nasional yang dikeluarkan BPS. Bank Dunia menggunakan garis kemiskinan PPP dan garis kemiskinan nasional masing masing negara untuk dua tujuan yang berbeda.  Garis kemiskinan PPP digunakan untuk memonitor sampai sejauh mana dunia secara keseluruhan pada jalur yang tepat (on track) dalam menangggulangi kemiskinan ekstrem. Sedangkan dalam melihat permasalahan kemiskinan, profil dan apa yang perlu dilakukan dalam mempercepat pengentasan kemiskinan disuatu negara, bank dunia menggunakan garis kemiskinan yang digunakan otoritas statistik negara tersebut.

Kemiskinan Turun Satu Persen, Orang Kaya Naik 10 Persen

Mantan Staf Khusus Menakertrans, Natalius Pigai mengatakan kemiskinan merupakan problem serius suatu negara manapun. Salah satu tolak ukur kemajuan suatu negara adalah memajukan masyarakat yang adil dan makmur. Bangsa manapun tidak akan mencapai cita-cita sejahtera apabila jumlah penduduk miskin makin tinggi. Garis kemiskinan (GK) rakyat dilihat atas penjumlahan 2 variabel utama yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) yang dilihat menurut konsumsi kalori maksimum, untuk negara kita dihitung dari konsumsi 2100 per kapita /hari dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskian Non Makanan (GKNM) merupakan kemampuan rakyat untuk memenuhi aspek sandang, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itulah maka pengentasan kemiskinan menjadi amat penting bagi sebuah bangsa karena akan mengukur kemampuan rakyat memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach).

“Penurunan angka kemiskinan adalah wajar dan normal, tidak ada yang lebih  hebat karena sejak jaman Soeharto, Habibie, Megawati, SBY sampai Jokowi angka kemiskinan mengalami penurunan,” ujar Natalius.

Sejak tahun 1998 dilihat menurut periode kepemimpinan Presiden: 1). Presiden Suharto, pada tahun 1998 angka kemiskinan mencapai 24, 43%. 2). Presiden Habibie, pada tahun 1999 angka kemiskina menurun menjadi 23,43%. 3). Presiden Gus Dur tahun 2001 angka kemiskinan turun menjadi 18,41%. 4. Presiden Megawati tahun 2003 angka kemiskinan juga turun menjadi 16,66%. 5). Presiden SBY periode pertama tahun 2009 jumlah kemiskinan turun menjadi 14,15% dan Presiden SBY Periode kedua 2014 angka kemiskinan menurun juga yaitu 10,96%. 6). Dan Presiden Joko Widodo Pada Maret 2018 angka kemiskinan juga turun menjadi 9,86%.

Dari point 1-7 dalam kurun waktu 20 tahun kemiskinan mengalami penurunan dari 24,43 menjadi 9,86 yaitu turun sebesar 14,57%, atau bila dilihat dari angka postulat maka jumlah penduduk miskin dari 49,50 juta tahun 1998 menjadi 25,96 juta pada tahun 2018.

“Kalau mau jujur soal reputasi terbaik “sepanjang sejarah” maka masing-masing-masing Presiden memiliki reputasi terbaik sepanjang sejarah jika dilihat dari massa dimana Presiden masing-masing memimpin. Jadi bukan hanya masa Jokowi!.,” jelasnya.

Pada masanya, Presiden Habibie terbaik sepanjang sejarah karena menurunkan angka kemiskinan dari 24,43% menjadi 23,42%. Demikian pula Gus Dur memecahkan rekor terbaik dijamannya menjadi 18,41%, dan seterusnya akhirnya jaman Jokowi menjadi 9,86% juga terbaik sepanjang sejarah. Dan seterusnya jika siapapum terpilih menjadi Presiden akan memecahkan rekor karena kemiskinan di negeri ini  juga seluruh dunia cenderung mengalami penurunan secara alamiah.

Menurutnya, Presiden Jokowi merupakan Presiden paling terburuk kinerjanya dalam menurunkan angka kemiskinan. Hal tersebut dalam dilihat dari angka berikut:

  1. Habibie dalam hanya dalam setahun menurunkan angka kemiskinan 1,1% yaitu dari 24,43 menjadi 23,42%
  2. Gus Dur hanya dalam 2 tahun memimpin angka kemiskinan turun sebanyak 5,01% yaitu dari 23,42% menjadi 18,41%
  3. Megawati mampu menurunkan angka kemiskinan dalam durasi waktu singkat 2,51% yaitu dari 18,41% menjadi 1,75%
  4. SBY periode pertama mampu menurunkan angka kemiskinan sebanyak 2,51% yaitu dari 16,66% menjadi 14,15%
  5. SBY periode kedua kemiskinan turun sebanyak 3,46% yaitu dari 14,15% menjadi 10,96%
  6. Joko Widodo hanya mampu menurunkan angka kemiskinan sebanyak 1,1% persen yaitu dari 10,96% menjadi 9,86%.

“Presiden Jokowi dalam jangka waktu 4 tahun, hanya mampu menurunkan angka kemiskinan 1,01% Sangat kecil sekali dibandingkan dengan presiden-presiden yang lain.  Lebih ironi lagi bahwa  Jokowi 4 Tahun Orang Miskin Turun 1%, sementara Orang Kaya Naik 10%,” tegasnya.

Hasil survei terbaru yang berjudul Global Wealth Report 2017 yang diterbitkan oleh Credit Suisse, Indonesia kini memiliki 868 orang super kaya atau yang masuk dalam kategori Ultra High Net Worth Individual (UNHWI). 111 ribu penduduk Indonesia juga digolongkan sebagai miliuner atau orang yang memiliki pendapatan di atas US$ 1 juta atau setara Rp 13,5 miliar (kurs US$ 1: Rp 13.505).  Orang kaya meningkat lebih dari 10 persen hampir tiap tahun.

“Jokowi hampir 4 tahun pimpin Indonesia habiskan anggaran negara 7 ribu triliun atau rata-rata Rp2 ribu trilyun pertahun, hanya mampu turunkan 1% jumlah orang miskin. Sementara pundi-pundi orang kaya makin bertambah,” tegasnya.

Dirinya menilai salah satu kegagalan Jokowi menurunkan angka kemiskinan karena selain Jokowi tidak punya niat baik juga tidak punya master plan. Komsepsi dan arah pembangunan yang berorientasi pada: 1) Pengentasan Kemiskian (pro poor). 2) Penciptaan lapangan kerja (pro job). 3. Berorientasi pada pertumbuhan ekonomi (pro growth).  Pemerintah Jokowi justru menghadirkan program yang mencekik leher rakyat miskin seperti kenaikan harga BBM, Kenaikan harga listrik dan pengendalian harga pangan untuk menekan inflasi  yang kurang sehingga penyebab sulitnya mengentaskan kemiskinan di negeri ini. (Ismed Eka Kusuma)[akt]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita