Wanita Rohingya: Tentara Myanmar Lempar Bayi ke Udara lalu Ditebas Parang

Wanita Rohingya: Tentara Myanmar Lempar Bayi ke Udara lalu Ditebas Parang

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Seorang wanita etnis Rohingya yang berada di kamp pengungsi di Bangladesh menceritakan kekerasan mengerikan yang dilakukan tentara Myanmar. Wanita yang telah menjadi ibu itu mengatakan ada tentara yang tega melempar bayi ke udara dan kemudian menebasnya dengan parang.

Fatima Begum, 25, masih trauma dengan kekerasan yang terjadi di negara bagian Rakhine ketika kekerasan pecah beberapa bulan lalu. Desa tempat Fatima tinggal dibakar. Suaminya ditembak dan dipenggal oleh tentara.

"Mereka melempar bayi ke udara dan kemudian menebasnya dengan pisau dan parang panjang," katanya dengan berbisik.

“Saya melihat bayi yang meninggal dipotong menjadi empat dan kemudian mereka melemparkan bagian-bagian tubuh ke api. Saya melihat ini terjadi tepat di depan saya. Saya terpaku bodoh, benar-benar tidak bisa berkata-kata. Saya tidak percaya apa yang saya lihat," ujarnya.

“Saya tahu banyak wanita dari desa saya yang anaknya dibunuh dengan cara ini. Mereka membakar beberapa anak secara keseluruhan juga," lanjut Fatima.

“Wanita termuda, wanita cantik dan belum menikah, sekitar 20 dari mereka, mereka (tentara) membunuh mereka ketika mereka mencoba melarikan diri. Mereka dimasukkan ke garis di tempat terbuka dan ditembak," papar Fatima.

Fatima menceritakan kejadian itu di sebuah kamp pengungsi di Kutupalong, dekat Cox's Bazar, di ujung selatan Bangladesh.

Di kamp itulah, dia dengan sabar antre untuk mendapat bantuan beras. Setelah suaminya dibunuh, dia bertanggung jawab sendiri untuk memberi makan anak-anaknya.

Fatima adalah salah satu dari 700.000 warga Rohingya korban kekerasan di Myanmar yang eksodus ke Bangladesh sejak musim panas lalu.

Dia siap untuk berbicara dalam upaya untuk mendorong PBB dan negara-negara lain untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal yang menyetujui apa yang dia sebut sebagai genosida tersebut.

Menggendong putrinya, Hasina yang berusia 14 bulan, Fatima mengatakan bahwa dia dipaksa berlari demi hidupnya. Dia meninggalkan segalanya di belakang ketika api melalap rumah beratap jerami miliknya.

"Ketika saya bersembunyi di hutan, suami saya berlari kembali ke rumah kami untuk mendapatkan makanan guna perjalanan ke depan. Tetapi para prajurit sedang menunggu," katanya.

“Mula-mula mereka menembaknya dan kemudian mereka memotong lehernya dengan parang. Mereka membunuh paling tidak 30 orang lainnya dengan menutupinya dengan bensin dan membakar mereka. Sangat mengerikan, kami terus berlari selama empat hari melintasi pegunungan, tanpa makanan," papar dia.

Para pengungsi di kamp-kamp yang luas di sebidang tanah di dekat sungai yang memisahkan Bangladesh dan Myanmar, banyak cerita mengerikan dari mereka. Para pengungsi menggambarkan kampanye pembersihan etnis yang terkoordinasi oleh pasukan Myanmar yang dikenal sebagai Tatmadaw.

Selama kekerasan beberapa bulan lalu, pasukan Myanmar dilaporkan melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan dan penyiksaan. Para aktivis dan pejabat PBB telah menggambarkan tindakan itu sebagai genosida terburuk abad ini.

Pengungsi lain, Nazima, 27, dan ketiga anaknya terbaring di lantai tanah. Mereka menderita dehidrasi. Nazima mengatakan bahwa suaminya masih di Myanmar setelah rumahnya diserang pasukan.

Amina, 20, pengungsi Rohingya yang lain duduk di kursi plastik dengan putranya Muhammad yang berusia delapan bulan, dan putrinya Mahia, 18 bulan. Kisah Amina luar biasa, mengingat dia hamil lebih dari delapan bulan ketika dia melarikan diri dari Rakhine.

“Mereka menikam anak-anak kami dengan pisau, memotongnya dengan liar,” kata Amina dengan gugup. “Mereka menyiksa suami saya tetapi dia berhasil lolos. Saya tidak bisa berlari cepat karena saya hamil tua," katanya lagi.

“Semua orang panik...kami menjadi terpisah. Saya melanjutkan sendiri. Ketika saya masih di hutan, di suatu tempat dekat sungai, saya mengalami kontraksi dan saya melahirkan, di tanah, sendirian. Saya menangis. Gadis-gadis dari desa terdekat mendengarkan saya dan datang membantu. Mereka memotong tali pusar," paparnya.

“Saya telah berjalan selama 12 hari. Saya kelelahan, jadi mereka membantu saya dan Muhammad naik kano," katanya.

Tidak mengherankan, Muhammad kecil telah menderita masalah kesehatan yang terus menerus, setelah menghabiskan hidupnya di kamp. Masalah kulit yang parah memengaruhi seluruh tubuhnya dan dia demam. Sudah berminggu-minggu setelah masuk ke Bangladesh, Amina secara ajaib, bersatu kembali dengan putrinya Mahia yang sebelumnya terpisah.

Penasihat Negara Myanmar, Aung San Suu Kyi, yang berpendidikan Oxford dan pemenang Hadiah Nobel Perdamaian setelah 15 tahun menjalani tahanan rumah oleh rezim militer Myanmar, belum mengakui pembantaian telah terjadi di negaranya.

"Inggris dan lainnya harus berhenti meremas-remas tangan mereka dan mengedepankan resolusi yang merujuk Myanmar ke Mahkamah Pidana Internasional," kata Param-Preet Singh, direktur asosiasi keadilan internasional di Human Rights Watch, yang dikutip Daily Mirror, semalam (1/7/2018).

Stephen Twigg, politisi Partai Buruh Inggris yang juga Ketua Komite Pembangunan Internasional, mendesak perubahan dramatis dalam kebijakan Inggris terhadap Myanmar.

Untuk saat ini, Rohingya tidak diakui sebagai salah satu "ras pribumi" Myanmar dan berpotensi menjadi target kekerasan oleh pasukan negara setempat.

Sejumlah kelompok HAM menyalahkan sepuluh jenderal termasuk panglima militer Min Aung Hlaing atas pembersihan etnis Rohingya.

Laporan Amnesty International juga menuduh tiga pejabat di Polisi Penjaga Perbatasan (BGP) berperan dalam pertumpahan darah di Rakhine.

Berdasarkan wawancara, pencitraan satelit, foto-foto yang diverifikasi dan analisis ahli forensik dan senjata, laporan itu merinci pola pelanggaran terhadap etnis Rohingya, terutama orang-orang Muslim yang dianiaya di kelompok Buddha garis keras di Myanmar.

Kanada dan Uni Eropa mengumumkan sanksi terhadap tujuh perwira senior di Tatmadaw (pasukan negara Myanmar).

"Mereka yang memiliki darah di tangan mereka harus dimintai pertanggungjawaban," kata Matthew Wells dari Amnesty International.

"Kegagalan untuk bertindak sekarang karena banyaknya bukti memunculkan pertanyaan; apa yang dibutuhkan komunitas internasional untuk mengambil keadilan dengan serius?," ujarnya. [sn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita