Seruan Potong Tangan untuk Gubernur Aceh yang Diciduk KPK

Seruan Potong Tangan untuk Gubernur Aceh yang Diciduk KPK

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Senyum Irwandi Yusuf sedikit tersungging saat mengatakan tidak ada hukum cambuk bagi seseorang yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi di Aceh. Sejurus kemudian, Gubernur Aceh itu melangkahkan kaki menuju ke mobil yang mengantarnya ke rumah tahanan (rutan).

"Tidak ada hukum cambuk," kata Irwandi ketika ditahan KPK pada Rabu (4/7) lewat tengah malam.

Hukuman cambuk memang identik dengan Aceh yang menerapkan hukum syariat Islam atau qanun. Namun sayangnya, tidak ada satupun qanun yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Ditilik dari situs Pemprov Aceh, acehprov.go.id, ada 13 qanun yang tercantum. Qanun itu mengatur berbagai hal, dari hukum acara jinayat atau pidana dalam Islam hingga urusan minuman keras serta perzinaan. Seringkali, hukumannya adalah dicambuk di hadapan publik.

Menurut aktivis antikorupsi Aceh, Mahmudin, wacana penyusunan qanun tentang korupsi sudah muncul sejak 2014. Namun hingga saat ini qanun tersebut tak kunjung terwujud.

Mahmudin menyebut ada berbagai perdebatan yang muncul dalam pembahasan qanun itu. Tetapi ada satu dugaan Mahmudin yang juga sebagai Kepala Sekolah Antikorupsi Aceh (Saka) itu tentang alasan qanun tersebut tak jua disahkan. Apa itu?

"Karena mayoritas yang terjebak kasus korupsi kan mereka (para pejabat). Jadi mereka istilahnya membuat hukuman untuk menghukum diri mereka sendiri," kata Mahmudin.

Dugaan akal-akalan para pejabat Aceh mulai dari legislatif hingga eksekutif soal qanun korupsi yang dikemukakan Mahmudin cukup masuk akal. Sampai-sampai, Ketua FPI Aceh Tengku Muslim At-Tahiry meminta agar Irwandi atau siapapun warga Aceh yang terlibat korupsi untuk dipotong tangannya.

"Walaupun yang ditangkap orang Serambi Mekah, KPK tak perlu segan-segan karena tak semuanya orang Serambi Mekah saleh, ada juga yang jahat. Maka kalau ada bukti tangkap, jangan lepaskan dan potong saja tangannya, biar jadi pelajaran bagi orang lain," kata Muslim.

Suara pro agar qanun itu disahkan juga diserukan kalangan akademisi. Salah satunya yaitu dari Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari. Dia menilai penerapan qanun di Aceh harus menyeluruh, termasuk terkait korupsi.

"Menurutku menarik (wacana qanun korupsi) sebagai upaya membangun efek jera. Jangan sampai qanun hanya untuk zina dan lain-lain ada, tapi untuk korupsi tidak," kata Feri.

Sementara itu, kalangan akademisi lainnya memberikan pandangan berbeda yaitu dari guru besar hukum dari Universitas Krisnadwipayana, Indriyanto Seno Adji. Terlepas dari belum adanya qanun yang mengatur tindak pidana korupsi, Prof Anto--panggilan akrab Indriyanto--menilai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau biasa disebut UU Tipikor sudah cukup untuk memidanakan seorang pelaku korupsi.

"Walau ada kekhususan regulasi di Aceh, sebaiknya UU Tipikor tetap sebagai regulasi tersendiri, bukan berbasis qanun (apabila kelak benar-benar diatur dan disahkan) ataupun dalam konteks unifikasi dan kodifikasi hukum pidana yang tetap mengakui adanya perkembangan delik khusus tindak pidana," kata Prof Anto.

Bagaimanapun juga, penegak hukum yang saat ini menangani Irwandi serta orang-orang yang saat ini sudah berstatus sebagai tersangka adalah KPK. Lembaga antikorupsi itu tentunya tunduk pada hukum positif yang berlaku di Indonesia, terutama bagi KPK adalah UU Tipikor.

"KPK hanya berwenang menangani kasus dugaan korupsi menggunakan UU Tindak Pidana Korupsi. Kalaupun ada aturan pidana lain di Aceh, kami tidak berwenang (untuk menerapkannya)," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada detikcom.[dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita