Kwik Kian Gie: Untuk Membangun Ekonomi Yang Kuat Kita Membutuhkan Presiden Yang Kuat

Kwik Kian Gie: Untuk Membangun Ekonomi Yang Kuat Kita Membutuhkan Presiden Yang Kuat

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Banyak kalangan memprediksi kondisi perekonomian na­sional beberapa bulan ke depan hingga Pilpres 2019 nanti bakal makin suram. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS diprediksi akan terus mengalami pelema­han. Terlebih lagi ke depan anca­man perang dagang antara AS-China semakin nyata. Indonesia yang kini boleh dibilang menjadi mitra strategis China, berpotensi bakal kebagian dampak negatif. Lalu sebenarnya apa penyebab utama makin melorotnya nilai tukar rupiah? Apakah Indonesia akan terdampak oleh perang da­gang tersebut? Berikut penilaian pakar ekonomi, Kwik Kian Gie kepada Rakyat Merdeka:

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga kini masih melemah. Menurut Anda apa penyebabnya?
Pertama, sejak negara ini berdiri, sebetulnya sudah men­galami hal ini. Kalau kita ingat pemotongan uang separuh dan sebagainya. Tetapi ambil saja pada tahun 1970, 1 dolar AS itu hanya Rp 622. Nah itu terus terjadi pelemahan hingga saat ini mencapai Rp 14 ribuan. Jadi, tidak perlu heran, sebab bangsa kita ini tidak mampu mencipta­kan ekspor yang melebihi impor. Selama ini impornya selalu lebih besar sehingga permintaan dolar jauh lebih besar. Nah kalau per­mintaan meningkat sudah pasti harga dolarnya juga meningkat dan berarti nilai tukar rupiah menurun.

Dan untuk sekarang ini diper­parah dengan utang luar negeri dalam bentuk valuta asing, baik oleh pemerintah maupun swasta. Selama mereka berutang, mere­ka harus selalu membayar bunga atau cicilan pokok kalau sudah jatuh tempo, sehingga permint­aan atas dolar terus jauh lebih besar dari penawarannya.

Indonesia dari tahun 1970 depresiasianya sudah mencapai 3.700 persen, Singapura men­galami apresiasi (penguatan), dahulu di tahun 1970 juga, Singapura 1 dolar AS sama den­gan 3 dolar Singapura, nah untuk saat ini 1 dolar AS sama dengan 1 dolar Singapura, berarti terjadi penguatan. Sekarang di jangka yang sangat pendek, saat Pak Jokowi menjabat sebagai presi­den, dolar AS masih sekitar Rp 9000-an, namun baru sekitar tiga tahun memimpin dolar AS sudah mencapai Rp 13.000-an

Apakah ada kebijakan pe­merintah yang salah sehingga rupiah terus melemah?
Iya, ada kesalahan yang lebih besar lagi. Kesalahan itu ada­lah sangat bebasnya impor. Pemerintah sangat tidak mem­perhatikan apa saja yang dibu­tuhkan oleh rakyat. Saya ambil contoh impor yang paling utama, yang dilakukan tidak hanya oleh pemerintah sekarang, namun sejak dulu.

Sumber daya yang ada di dalam perut bumi kita ini kan sangat kaya mineral, sangat ma­hal, luar biasa mahalnya. Namun itu semua tidak dikelola sendiri, tetapi diserahkan kepada asing. Indonesia memang mendapat­kan pajak, tetapi itu angkanya sangat kecil sekali. Seandainya itu semua dikuasia oleh BUMN, maka perolehan dolarnya sangat luar biasa.

Apa lagi?
Kedua, kemampuan industri. Kita masih ingat ketika zaman Pak Harto. Barang-barang mo­bil, televisi tidak boleh diimpor dalam bentuk selesai, tetapi harus diimpor terurai total, jadi dalam bentuk onderdil semua. Artinya apa, memang lebih mahal. Artinya agen tunggal di Indonesia itu ditata untuk merakit di sini, ditata untuk mendirikan pabrik-pabrik di sini. Jika sudah bisa merakit, tentu bisa juga membuat. Cuma caranya membuat barang-barang yang akan dirakit itu sudah ada programnya. Jadi setelah barang impor itu terurai, beliau menentukan, setelah tiga ta­hun berjalan, misalnya velgnya harus mampu bikin sendiri dan tidak perlu impor lagi. Dengan demikian, kemampuan industri kita naik.

Namun berbeda dengan seka­rang, pabrik-pabrik yang sudah membuat barang seperti itu, dihantam dengan mobil impor yang sudah jadi semuanya. Itu disia-siakan. Terus juga, entah kenapa barang-barang seperti garam diimpor juga, sehingga membutuhkan dolar. Jadi itu seperti dibiarkan saja oleh pe­merintah.

Dengan keadaan seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh pemerintah?
Karena penyebabnya demikian luas dan meliputi semua aspek. Sebenarnya kalau bicara secara teknis apa yang harus dilakukan, gampang sekali. Yang paling sulit adalah siapa yang akan me­maksakan itu. Yang bisa melaku­kan itu kan hanya presiden, jadi yang dibutuhkan adalah presiden yang kuat. Kalau mau contoh presiden yang kuat seperti apa sih? Ya seperti Bung Karno, Pak Harto. Namun kan Bung Karno hanya sekitar 25 tahun saja dan beliau itu kan berhasilnya eng­gak kira-kira, dan tentu beliau tidak banyak waktu memikir­kan ekonomi. Dia menyatukan Indonesia menjadi satu bangsa, itu kan luar biasa.

Nah Pak Harto sudah memasu­ki tahap pembangunan. Namun kan caranya dia yang begitu kuat dan keras, menghasilkan. Tidak seperti saat inilah.

Berarti menurut Anda saat ini dibutuhkan figur yang kuat untuk mengubah ekonomi Indonesia?
Betul, sangat betul sekali.

Efek dari perang dagang antara AS dan China tampak­nya akan berdampak ke beber­apa negara. Apakah Indonesia akan terdampak?
Sebenarnya itu tidak berpen­garuh ya. Kebutuhan ekspor Indonesia kepada AS itu kan tidak seberapa. Dalam hal ini Indonesia sangat lemah. Kalau bicara perang dagang Amerika Serikat, tujuannya adalah China, Meksiko dan lainnya. Tetapi Indonesia enggak masuk di dalam pikirannya Trump. Kalau pun Indonesia kena, pastinya Indonesia bisa bicara baik-baik dengan Trump. Cuma kan yang parah ini kalau kita ingin ke luar negeri kan membutuhkan visa dan dipersulitnya setengah mati. Tetapi kan kalau orang luar mau ke Indonesia bisa masuk seenaknya. Pemerintah meng­harapkan ada jumlah turis yang melonjak, namun ternyata tidak. Apalagi saat ini justru pekerja China yang terlampau banyak. Jadi banyak yang tidak paham. Banyak yang tidak dipahami oleh para menteri dan keseluru­han pemerintah.

Pemerintah berencana memberikan insentif kepada industri dengan tujuan men­gerem impor barang yang bukan prioritas. Pemberian insentif itu berupa bebas pajak atau kebijakan kepabeanan. Tanggapan Anda?
Ini lebih ngawur lagi. Seperti pajak itu kan kacau balau ya. Lalu Pak Jokowi yang pokoknya infrastruktur dibangun, uangnya tidak ada, menambah utang luar negeri, di situ tambah ngawur lagi. Nah sekarang pengaruhnya karena enggak ada uang dan menambah utang, jadi di dalam negerinya dikenakan pajak yang semakin lama semakin rumit, ngawur. Itu membuat orang ketakutan.

Pemerintah juga akan menggenjot ekspor dan menyeleksi impor?
Ya begini kalau itu memang Trump akan mengenakan bi­aya masuk. Sekarang produk Indonesia yang akan dikenakan biaya masuk itu apa saja. Nah bagian besar ekspor Indonesia tidak ke Amerika, namun ke negara Asean, ke China juga banyak.

Lantas apa yang bisa dilaku­kan pemerintah?
Pertama, diteliti betul produk-produk apa saja yang dieskpor Indonesia ke Amerika. Kemudian dari setiap produk itu kebi­jakan Amerika mengenai biaya masuknya berapa persen. Lalu itu dihitung dampaknya seperti apa, sehingga atas dasar itu lalu Indonesia juga menilai ekspor kita ke negara selain AS.

Jadi petanya dipelajari dan kita mengganti biaya masuk ke Amerika itu dengan mengganti ekspor ke negara-negara yang tidak dikenai biaya masuk ter­lalu tinggilah. Misalnya negara ASEAN, kan sudah masuk pasar bebas. Itu semua tidak sulit kalau memang mau kerja keras. Kita kan bisa memproduksi barang-barang pertanian. Itu kan dibu­tuhkan di mana-mana. Baik itu sayur, buah-buahan. Namun kan kita ini lucu, justru kita malah mengimpor apel, pear, pisang dan semuanya diimpor. Jadi itu memang harus dibenahi se­cara menyeluruh, ya Menteri Pertanian-nya, Menteri Industri-nya, Menteri Perdagangan-nya dan semuanya itu bermuara ke­pada konduktornya, yaitu presi­dennya. Presidennya harus paham dan kuat.[rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita