Kata Fahri Hamzah, Divestasi 51 Saham Freeport itu Bukan Prestasi tapi Memalukan!

Kata Fahri Hamzah, Divestasi 51 Saham Freeport itu Bukan Prestasi tapi Memalukan!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia oleh pemerintah melalui Inalum disebut Fahri Hamzah bukan sebuah prestasi.

Demikian disampaikan politisi Partai Keadilan Sejahtera itu melalui pesan elektroniknya, Minggu (14/7/2018).

Salah satu alasannya adalah, karena saham tersebut harus dibeli yang memang sudah menjadi mekanisme pasar.

“Tak ada prestasi,” katanya.

Menurut Wakil Ketua DPR RI itu, keuntungan PTFI di bawah rezim Kontrak Karya (KK) Undang Undang Pokok Pertambangan yang kini dikoreksi oleh UU Minerba jauh lebih besar.

Sudah lebih dari cukup bahwa pelepasan saham ke pemerintah itu tidak harus jual beli dan serahkan begitu saja. Melainkan cukup dikelola sendiri.

Karena itu, lanjutnya, sebagai negara berdaulat, tidak selayaknya meletakkan diri serendah itu.

“Atau membungkuk serendah perseroan. Ini sangatlah memalukan,” tegasnya.

Ia lantas mengingatkan kasus divestasi Newmont dimana utang membuat daerah tak dapat apa-apa dan akhirnya harus dijual lagi.

Bahkan sekarang, tambahnya, akan kembali dibeli lagi oleh perusahaan asing pasca IPO.

“Jadi, dimana letak kedaulatan divestasi? Kita baru sadar bahwa sedang ditipu,” tanyanya.

Begitu pula hal dengan Freeport, bahwa kesepakatan dengan PTFI membuat FI untung dua hal secara langsung.

Pertama, bisa eksport konsentrat. Kedua mendapat jaminan perpanjangan operasi dan tak perlu bayar kerugian negara.

“Semua ini keuntungan seketika kaum kapitalis itu. Padahal menurut UU Minerba, ekspor konsentrat bisa dilakukan jika PTFI, kontrak karyanya diubah jadi IUP dan harus membangun smelter di Indonesia (khususnya Papua). Sekarang bagaimana?” tambahnya.

Fahri menambahkan, perubahan rezim KK menjadi IUP (Ijin Usaha Pertambangan), bangun smelter, divestasi saham, perubahan besaran royalti dan luas wilayah penambangan adalah untuk mematuhi UU Minerba, bukan perpanjangan KK.

“Ini nego apa?” heran politisi asal Nusa Tenggara Barat itu.

Mestinya, kata dia, pembahasan perpanjangan KK dilakukan oleh pemerintahan terpilih tahun 2019, atau 2 tahun sebelum KK berakhir (2021).

“Apa yang diburu? Rakyat itu berhak tahu apakah ini ada hubungan dengan pemilu atau dukungan negara tertentu?” katanya.

Seharusnya, lanjut Fahri lagi, semua itu harus dilakukan dengan disesuaikan dengan UU Minerba. Sebab jika tidak, bisa timbulkan kerugian negara.

“Silahkan KPK menyuruh BPK mengaudit secara menyeluruh, kalau berani terbuka sekalian deh,” tantangnya. [psid]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita