Demokrat: Saat Ada Kesempatan Ungkap Kuda Tuli, Megawati Pilih Diam

Demokrat: Saat Ada Kesempatan Ungkap Kuda Tuli, Megawati Pilih Diam

Gelora News
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Partai Demokrat terus melempar manuver dengan menyerang PDIP. Kali ini, elite Demokrat menyindir cara PDIP soal penuntasan kasus penyerangan kantor partai berlambang Banteng moncong putih itu pada 27 Juli 1996 atau dikenal kasus Kuda Tuli.

Wakil Sekretaris Jenderal DPP Demokrat Rachland Nashidik menyinggung laporan Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Kamis, kemarin agar menuntaskan kasus Kuda Tuli dinilai kesiangan.

"Laporan itu adalah upaya politik yang sudah kesiangan. Tapi memanfaatkan kasus 27 Juli adalah ritual politik PDIP sejak Pak SBY mengalahkan Ibu Megawati dalam Pemilu 2004," kata Rachland Nashidik lewat keterangan tertulisnya, Jumat 27 Juli 2018.

Dia menyebut saat ini pasti akan banyak kesulitan mengungkap kasus itu karena banyak sumber informasi yang sudah tidak ada. Menurutnya, jika serius mau mengusut demi keadilan para korban, kesempatan pertama dimiliki Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri pada saat dia jadi presiden.

"Saat beliau Presiden, ia bisa menggunakan pengaruhnya untuk membuka jalan bagi investigasi, seperti kuat didesak masyarakat. Sayang, Mega memilih diam. Bahkan mengangkat Pak Sutiyoso, Pangdam Jaya saat kejadian, menjadi Gubernur DKI," ujar Rachland.


Rachland menuturkan, pada 2004 Presiden Megawati malah menghalangi penyidikan Tim Koneksitas Polri atas kasus 27 Juli dengan alasan Pemilu sudah dekat. Sementara, katanya tak ada nama Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dalam daftar orang yang disangka oleh Tim koneksitas Polri itu.

Kemudian, menurutnya kesempatan kedua datang saat negara didesak membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang sudah dimulai sejak BJ Habibie masih Presiden. Namun, inisiatif itu katanya mendapat penolakan keras dari Fraksi PDIP.

"Sebagai Ketua Umum PDIP, Mega tidak memerintahkan fraksinya menyetujui inisiatif itu. Padahal bila Komisi terbentuk, Megawati mendapat alat yang kuat untuk mengungkap 27 Juli," kata dia.

Lanjutnya, ketika Megawati menjabat Presiden RI ke-5, belum ada keseriusan dalam menyikapi korban kasus Kuda Tuli.

"Saat para korban 27 Juli masih keras berteriak, Mega memilih berkompromi demi melindungi kekuasaan politiknya," ucap dia.

Sebelumnya, Hasto meminta berbagai pihak yang saat itu terkait, mau membuka kembali peristiwa pelanggaran HAM berat tersebut. Bahkan, Hasto menyebut nama Susilo Bambang Yudhoyono mengetahui peristiwa tersebut.

SBY yang saat itu menjabat Kepala Staf Kodam Jaya bersama Sutiyoso sebagai Pangdam Jaya dianggap berada tak jauh dari kantor PDI.

"Kami mengharapkan para pihak, termasuk bapak Susilo Bambang Yudhoyono daripada terus bicara tentang koalisi partai, lebih baik juga berbicara tentang arah masa depan bangsa ini dengan membuka apa yang sebenarnya terjadi karena beliau memegang informasi," paparnya.

Dia meminta SBY bersaksi agar proses rekonsiliasi dengan korban bisa berjalan. Meskipun menurut Hasto PDIP memahami kondisi ABRI dan politik saat era Soehato.

"Tetapi demi masa depan bangsa dan negara, berbagai hal tersebut yang menimbulkan korban jiwa dapat diungkap dengan baik dan proses rekonsiliasi dengan para korban berjalan baik," jelasnya. [viva]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA