Beberkan tentang Demokrasi, Fahri Hamzah: Konsep Dasar Gagal Dipahami Termasuk Pejabat Tinggi Negara

Beberkan tentang Demokrasi, Fahri Hamzah: Konsep Dasar Gagal Dipahami Termasuk Pejabat Tinggi Negara

Gelora News
facebook twitter whatsapp

GELORA.CO - Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah membeberkan penjelasannya terkait ide-ide demokrasi melalui akun Twitternya.

Dilansir TribunWow.com, penjelasan itu dijabarkan melalui akun Twitter pribadinya, @Fahrihamzah, yang diunggah pada Selasa (3/7/2018).

Fahri Hamzah mengatakan jika konsep dasar demokrasi sering gagal dipahami termasuk pejabat tinggi negara padahal hal itu merupakan pondasi yang penting.

Untuk itu, dirinya menjelaskan demokrasi dari konsep, perangkat hingga soal negara hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Fahri juga memberikan sejumlah contoh seperti isu mantan napi korupsi yang dilarang untuk mengikuti Pemilihan Umum Legislatif (Pileg).

Dirinya mengatakan belum menemukan pejabat yang mengerti demokrasi, baik itu presiden maupun Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Fahri menyebut semua yang belum mengerti demokrasi akibat malas membaca buku.


Berikut penjelasan sederhana Fahri Hamzah terkait konsep dasar demokrasi:

"Ide2 demokrasi itu berat...

Harusnya ini sarapan kita tiap pagi...dari seorang prsiiden atau pejabat tinggi...tapi sayang, Gak Ada yang bicara..akhirnya konsep2 dasar itu gagal dipahami termasuk oleh pejabat tinggi negara...dari presiden sampai pejabat di bawah ya.. #GagalPaham

Ijinkan saya sambil di jalan, menerangkan konsep2 dasar demokrasi dengan bahasa saya sendiri yang sederhana..mulai soal konsep demokrasi dan perangkatnya hingga soal negara hukum dan HAM..sebagai pondasi yang penting.. #GagalPaham

Demokrasi adalah konsep filosofis tentang nilai2 yang dianggap penting dan ideal terutama dalam politik. Maka selain nilai ideal itu, ia juga memiliki sisi lain yang terkait hukum dan aturan main bersama yang dianggap adil dan memenuhi standar nilai ideal itu.

Nilai ideal dalam politik dan pemerintahan seperti keterbukaan, transparansi, menghargai HAM, pro kepada kebebasan, dll di satu sisi berhadapan dengan kekuasaan mayoritas dan respek kepada minoritas dalam proses pengambilan kekuasaan.

Nilai2 itu terus diperdebatkan, karena demokrasi itu pada dasarnya sebagaimana karya pemikiran manusia lainnya, mereka tidak mengenal kata berhenti, mereka terus memikirkan sampai memiliki bentuk lebih ideal dari waktu ke waktu.

Di sini terkadang demokrasi berbenturan dengan agama, terutama Islam. Dalam Islam ada bentuk final. Ada yang selesai dan tak perlu lagi dipersoalkan. Maka muncullah konflik antar keduanya. Ini tema besar yang harus direkonsiliasi kan.

Di Indonesia kita belum masuk ke sana...kita berkutat pada isu teknis soal PENGATURAN. Mungkin karena kita “belum myampe” atau karena tidak berani mendiskusikannya mengingat banyak soal dalam demokrasi bosa berbenturan dengan nilai2 lokal. Maka kita sibuk di ujung. Itupun salah.

Misalnya kita mendengar soal isu mantan napi korupsi dan pen-caleg-an. Dalam debat yang ada saya hampir tidak melihat pejabat yang mengerti demokrasi. Baik preaiden maupun KPU. Semua malas baca buku. Lumayan ada yang bikang “taati UU”. Itu saja argumennya.

Padahal, isu merampas hak warga negara bukan soal sederhana. Teori merampas hak warga itu inti dalam demokrasi. Tapi di otak pejabat kita yang Gak paham hukum dan HAM enak saja, “dia kan mantan koruptor, ya sudah” gitu aja mikirnya. Banyak yang dukung karena Sama2 “Gak nyampe”.

Bahkan ada seorang pejabat senior dari partai bernafas agama yang menjadikan ini sebagai kampanye. “Kami konsisten mendukung KPU menolak mantan napi korupsi menjadi caleg”. Demikian yg dia sampaikan. Dia lupa bahwa dalam agama pun tak ada mantan penjahat. Tuhan menerima Tobat.

Dalam agama, nabi Kira2 mengatakan, “semakin baik kalian sebagai orang jahil semakin baik kalian dalam Islam, kalau paham”. Jadi bahkan mantan bisa lebih. Aku daripada yang belum. Sehingga kalau mau nyinyir bikang aja “mana lebih baik mantan atau calon koruptor?”.

Begirulah pula demokrasi, ia meletakkan manusia sama depan hukum sampai UU merampasnya. Maka hak2 rakyat dalam demokrasi hanya boleh dirampas dengan UU. Tidak boleh dengan aturan di bawahnya. Tidak boleh PP, Perpres, PKPU apalagi SOP...hanya UU yg dibuat bersama di DPR.

Dalam kerangka itu, dengan perspektif itu saya juga menolak kewenangan “penyesuaian harga” BBM oleh pemerintah tanpa kewenangan UU. Paling tidak preaiden harus berani keluarkan Perpu swbab kelak Perpu akan melalui persetujuan DPR juga. Kalau sekarang ini ngawur.


Padahal menaikkan harga BBM adalah peristiwa merampas hak2 rakyat berupa subsidi. Maka subsidi jangan dirampas begitu saja dong. Enak aja. Itulah demokrasi. Hak2 warga megara tidak mudah dirampas. Termasuk mantan narapidana.


Narapidana itu manusia. Bukan setelah dihukum lalu kemanusiaannya berkurang. Tidak. Bahkan dalam konsep “pemasyarakatan yang benar, orang itu tambah baik”. Sebab ia tidak saja bertaubat sepwrti konsep agama tapi menjalani hukuman. Terkadang lama.

Maka dalam perspektif demokrasi tidak ada dendam. Dalam agama, hukum itu dipercaya sebagai milik Tuhan. Bukan milik manusia. Sebab manusia sama saja. Tidak ada yg punya hak membuat hukum kecuali dalam delegasi perwakilan rakyat. Demikianlah Vox populi Vox dei.

Demikianlah sekedar catatan tentang demokrasi. Ide yang sedang kita geluti tapi terasa rumit. Masih banyak yg ingin saya sampaikan. Lain kali. Tks," jelas Fahri Hamzah.


BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita