
www.gelora.co - Komisaris Jenderal Polisi Muhamad Iriawan resmi dilantik menjadi Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat. Pria yang biasa disapa Iwan Bule ini akan mengemban jabatannya hingga pelatikan Gubernur Jawa Barat terpilih. Namun, pelantikan Iwan Bule menimbulkan pro dan kontra menyusul kekhawatiran bakal adanya 'main mata' antara Penjabat Gubernur Jabar dengan salah satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur.
Kekhawatiran itu disampaikan sejumlah elite partai politik yang jagoannya ikut berlaga dalam Pilgub Jabar. Pakar dan praktisi hukum, Kapitra Ampera mengatakan terdapat sejumlah pelanggaran hukum dalam pengangkatan Komjen M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar, dan Irjen Martuani Sormin sebagai Plt Gubernur Sumatra Utara. Kapitra mengatakan, pelanggaran ini merupakan suatu bentuk state crime in state policy.
Untuk itu, Kapitra berharap pemerintah segara melakukan pengkajian ulang serta membatalkan pelantikan kedua Perwira Tinggi Polri tersebut. "Demi tegaknya hukum dan perundang-undangan, serta mepertahankan amanat dan semangat Reformasi di Indonesia," katanya dalam keterangan pers yang diterima Republika.co.id, Selasa (19/6).
Berbagai pihak telah menyayangkan pengajuan calon Plt tersebut oleh Menteri Dalam Negeri sejak awal pemberitaan. Karena secara yuridis, ini telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Secara historis, kata Kapitra, pemberian jabatan kepada TNI/POLRI dalam bentuk Dwi Fungsi ABRI untuk memegang kekuasaan dan mengatur negara, telah ditinggalkan sejak masa Reformasi. Sehingga pengangkatan dua perwira sebagai Plt Gubernur tersebut dinilai sebagai suatu pelanggaran dan kemunduran dalam demokrasi.
Polri sebagai institusi yang netral dan profesional dinilai tidak harus terlibat dalam gerak politik. Amanah reformasi di antaranya untuk menghapuskan doktrin Dwi Fungsi ABRI untuk menjaga netralitas Polri yang bertanggung jawab menjaga keamanan negara.
"Apalagi dengan Pilkada yang akan dihadapi maka netralitas dan profesionalitas Polri amat dibutuhkan untuk menjaga keamanan masyarakat dalam melaksanakan hak politiknya, bukan malah masuk ke dalam pusaran politik," katanya.
Kapitra menjelaskan, secara yuridis pengangkatan kedua perwira tersebut dinilai telah melanggar ketentuan perundang-undangan. Pertama, Peraturan yang dilanggar adalah Ketentuan Pasal 201 ayat (10) Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2004 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Pasal 201 ayat (10) berbunyi "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat pejabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan Ketentuan peraturan perundang-undangan". Dalam ketentuan diatas telah tegas disebutkan pengisian jabatan Gubernur adalah berasal dari Pimpinan Tinggi Madya, yang Nomenklaturnya adalah jabatan Pengawai Negeri Sipil. Di dalam unsur pasal tersebut tidak disebutkan unsur TNI/Polri atau tidak disebutkan unsur atau yang sederajat.
Ketentuan tersebut telah disebutkan secara tegas sehingga tidak dapat diinterpretasikan atau dianalogikan termasuk Perwira Tinggi Polri. Di samping itu, Dalam Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara, telah disebutkan jabatan pimpinan tinggi Madya.
Yaitu, Sekretaris jenderal kementerian, sekritaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga non-struktural, direktur jendereal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, kepala sekretariat presiden, kepala sekretariat wakil presiden, sekretaris militer presiden, kepala sekretariat dewan pertimbangan presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara.
"Oleh karenanya, pengangkatan Plt Gubernur atas kedua Perwira Tinggi Polri tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang," tegasnya.
Pelanggaran kedua, lanjut Kapitra, yang dilakukan adalah pengangkatan tersebut telah bertentangan dengan Ketentuan Pasal 28 ayat (3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang telah dengan tegas mengatur Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki Jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Sejalan dengan Undang-Undang tersebut, ketentuan pasal 157 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil juga menyebutkan bahwa Prajurit Tentara Nasional Indonesia dan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat mengisi JPT pada instansi Pemerintah selain Instansi Pusat tertentu sebagaimana dimaksud pasal 148 setelah mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila dibutuhkan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif .
"Kedua pasal tersebut cukup jelas menegaskan adanya keharusan untuk mengundurkan diri dari dinas aktif bagi anggota kepolisian yang akan mengambil jabatan di instansi pemerintahan termasuk Gubernur," katanya.
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo berdalih pengangkatan kedua Perwira Tinggi Polri tersebut merujuk pada Permendagri No. 1 Tahun 2018 Tentang Cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah. Produk Peraturan Kementerian Dalam Negeri merupakan produk hukum internal kementerian yang berlaku untuk internal.
Di dalam Permendagri No. 1 Tahun 2018 ini disebutkan Pejabat Gubernut berasal dari Pejabat Pimpinan Tinggi Madya/Setingkat di lingkup Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi. Penambahan unsur setingkat ini lah kemudian dijadikan dasar bagi Mendagri dalam membuat asumsi bahwa Perwira Tinggi Polri merupakan jabatan yang setingkat dengan Pimpinan Tinggi Madya.
"Hal ini tentunya bertentangan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 yang secara limitatif telah mengatur hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjabat sebagai Pejabat Gubernur," katanya.
Indonesia menganut asas hukum lex superior derogat legi inferior yaitu peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Peraturan Menteri pada dasarnya tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana ketentuan pasal 7 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan.
Namun sebagaimana pasal 8 ayat (2) peraturan tersebut tetap diakui keberadaannya sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Karenanya, materi yang temuat di dalam Peraturan Mendagri tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Mendagri membantah menyalahi aturan dengan mengusulkan nama Iwan Bule. Menurutnya, tim hukum Sekretariat Negara (Setneg) sudah menelaah dasar hukum pengajuan nama itu.
"Saya bertanggungjawab sesuai undang-undang. Tidak mungkin saya ajukan nama untuk Keputusan Presiden (Keppres), jika itu melanggar undang-undang," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin (18/6) malam.
Dia pun menegaskan Keppres tidak akan keluar begitu saja tanpa ada telaah terlebih dulu dari tim hukum Setneg. Jika melanggar, maka pengajuan nama untuk Pj Gubernur tidak akan disepakati.
"Saya menerima kritik dan saran. Yang penting, tidak melanggar undang-undang," tambah Tjahjo.
Tjahjo juga menampik isu yang menyebutkan ada permintaan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait penunjukan Komjen Polisi M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar. Menurutnya, pengajuan nama pria yang kerap disapa Iwan Bule itu murni dari Kemendagri.
"Hal tersebut tidak benar," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan pada Senin siang.
Dia melanjutkan, selain Iriawan, sebelumnya juga ada satu nama lain, yakni Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri, Hadi Prabowo. Hadi pun sempat disiapkan sebagai Pj Gubernur Jabar.
"Kedua nama itu (Iriawan dan Hadi) kami yang menyiapkan sebagai Pj Gubernur. Semua tanggungjawab saya sebagai Mendagri," lanjut Tjahjo.
Dia melanjutkan, Kemendagri saat ini juga sudah menyiapkan nama-nama untuk menjadi Pj Gubernur beberapa provinsi lainnya. Di antaranya, Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Maluku, Maluku Utara dan Kalimantan Timur.
"Nama-namanya sudah disiapkan dan oleh Dirjen Otonomi Daerah (Otda) dan dikirim ke Sekretariat Negara untuk proses penerbitan Keputusan Presiden (Keppres)," ungkap Tjahjo.
Tjahjo resmi melantik Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar di Gedung Merdeka, Kota Bandung, Senin pagi. Pengangkatan Iriawan berdasarkan Keppres Nomor 106/P tahun 2018 Tanggal 8 Juni 2018. Jenderal bintang tiga Polri itu akan menjabat sebagai Pj Gubernur Jabarsampai gubernur dan wakil gubernur terpilih hasil Pilkada dilantik.
Sementara itu, Kapuspen Kemendagri, Bahtiar, mengakui sebelumnya sempat ada polemik tentang rencana penunjukan Iriawan. Saat itu, Iriawan masih menjadi pejabat struktural di kepolisian.
Bahtiar menjelaskan saat itu ada pro dan kontra. Status Iriawan dipermasalahkankarena dianggap masih sebagai pejabat aktif Mabes Polri.
"Sekarang Komjen Pol Iriawan sudah tidak menjabat lagi di struktural Mabes Polri. Beliau sekarang di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Beliau adalah pejabat eselon satu sestama Lemhannas atau setara Dirjen atau Sekjen di kementerian," katanya.
Status Komjen Iriawan saat ini, tambah Bahtiar, sama dengan status Irjen Pol Carlo Brix Tewu yang diangkat menjadi Pj Gubernur Sulawesi Barat. Saat itu, Carlo Tewu tak menjabat di posisi struktural Mabes Polri. Carlo saat itu sedang menjabat di Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam).
Usai pelantikan, Iriawan menegaskan, dia tidak akan mengorbankan kariernya di Polri dan mencoreng namanya sendiri sebagai putra daerah Jabar dengan menyalahgunakan kekuasaan yang baru saja ia emban. Terlebih, dia mengaku telah berdinas di Polri sejak 1984 dan sekarang sudah hampir di penghujung kariernya.
"Karena itu apa mungkin saya mau mengorbankan atau menghancurkan karier saya di Polri yang sudah dengan susah payah saya titi selama hampir 34 tahun sebagai putra daerah (Kuningan, Jabar)? Apa mungkin saya mencoreng muka saya sendiri di depan para sesepuh Jabar, dan rakyat Jabar? Saya juga ingin mengukir nama baik dan sukses sebagai penjabat gubernur Jabar," ungkap Iriawan saat dihubungi via telpon, Senin (18/6) malam.
Dia menyampaikan hal itu, untuk menanggapi dugaan dan tuduhan bahwa ia tidak akan netral dalam Pilkada Jabar mendatang. Apalagi jika hal itu terjadi, akan sangat berisiko besar bagi jabatan dan kariernya.
"Bagaimana caranya saya tidak netral? Apakah dengan cara saya menggerakan komponen yang ada di Jabar untuk memenangkan salah satu pasangan calon tertentu? Kalau itu saya lakukan, pasti akan bocor dan ramai. Sangat besar risikonya untuk jabatan dan karier saya," ujar Iriawan.
Iwan Bule menuturkan, kerja pertamanya sebagai Pj Gubernur Jabar akan melakukan konsolidasi. "Langkah pertama tentu kami akan ke dalam, merapatkan barisan ke semua SKPD yang ada, kepala dinas, asisten, kepala biro semua," jelasnya usai pelantikan, Senin (18/6).
Tidak hanya itu, dia akan bekerja sama dengan para bupati dan wali kota, TNI serta Polri dalam mengamankan Jawa Barat di masa tenang Pilkada serentak. "Artinya berapa hari pada masa pencoblosan tanggal 27 akan berjalan dengan lancar," tegasnya.
Mantan kapolda Metro Jaya ini menjamin kenetralannya sebagai Pj Gubernur Jabar. Menurutnya, karier yang selama ini dia bangun dari bawah akan rusak jika dia tidak netral.
Dia menginginkan kariernya sukses di semua sektor, seperti saat berada di kepolisian. "Maka saya juga ingin berhasil di bidang pemerintahan, sehingga ada catatatn sejarah untuk saya, apabila saya sudah tidak ada, sudah dipanggil Yang Maha Kuasa, sudah dipanggil jadi Pejabat Gubernur sebagai pejabat yang betul-betul on the track dengan peraturan yang ada," tegasnya.
Di sisi lain, Gubernur Jawa Barat Periode 2013-2018, Ahmad Heryawan memberikan ucapan selamat bekerja bagi Iwan. Aher mengakui sosok Iwan mampu memimpin Jawa Barat dengan latar belakangnya sebagai mantan kapolda Jawa Barat.
"Selamat berjuang melanjutkan pembangunan Jabar, semoga lancar dan tentu saja saya sebagai warga Jabar masih tetap untuk mencurahkan waktu untuk bersama-sama membangun Jabar," ujar Aher.
Aher memberikan pesan sederhana pada Iriawan. "Lanjutkan, beliau bertugas untuk melanjutkan pembangunan yang ada, sampai terpilihnya Gubernur terpilih definitif hasil pilkada," jelas Aher.
Meski demikian, sejumlah elite parpol di DPR mengusulkan dibentuknya Pansus Hak Angket atas penunjukan Iriawan. Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon salah seorangnya. Fadli menyebutkan, partainya sangat mendukung dibentuknya Pansus Hak Angket terkait pengangkatan perwira Polri aktif sebagai Penjabat (Pj) Gubernur Jawa Barat (Jabar). Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jabar juga sudah mengambil sikap tegas terhadap pelantikan tersebut.
"Fraksi Partai Gerindra di DPRD Jabar sudah mengambil sikap tegas memboikot pelantikan Pj Gubernur Jawa Barat yang cacat hukum," tutur Fadli melalui keterangan tertulisnya, Selasa (19/6).
Fadli mengatakan, Partai Gerindra di DPR RI juga akan ikut mendukung dan menjadi inisiator dibentuknya Pansus Hak Angket atas pengangkatan perwira Polri aktif sebagai PJ Gubernur. Masyarakat, kata Fadli, bisa menilai sendiri berdasarkan kritik atas keputusan tersebut yang bukan hanya dari kelompok oposisi, tetapi juga partai pendukung pemerintah sendiri.
"Artinya, di luar soal oposisi dan non-oposisi, semua pihak pada dasarnya memiliki penilaian serupa, kebijakan tersebut memang keliru, menabrak undang-undang, dan tak sesuai tuntutan reformasi untuk menghapus dwifungsi angkatan bersenjata," jelasnya.
Menurut dia, pengangkatan Komisaris Jenderal Polisi M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar bukan hanya cacat secara formil, tapi juga secara materil. Sesudah namanya ditarik Menko Polhukam, Iriawan kemudian dimutasi ke Lemhanas, dijadikan Sekretaris Utama.
Iriawan diberi jabatan tinggi madya di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) hanya untuk mengulang model pengangkatan Inspektur Jenderal Polisi Carlo Brix Tewu sebagai Pj Gubernur Sulawesi Barat pada 2016, yang sebelumnya menduduki jabatan tinggi madya di Kemenko Polhukam.
"Artinya, sejak awal pemerintah memang sangat menginginkan M Iriawan menjadi Gubernur Jawa Barat, meskipun sempat berpura-pura menarik namanya pada akhir Februari silam. Jadi, ini dagelan politik saja," kata Fadli.
Sekretaris Fraksi Partai Demokrat DPR RI Didik Mukrianto juga menilai pelantikan M Iriawan sebagai Pj Gubernur Jawa Barat telah melanggar konstitusi. Untuk itu, Didik mengatakan Fraksi Demokrat mendorong DPR membentuk Panitia Khusus Hak Angket untuk mengoreksi kebijakan tersebut.
"DPR harus menjadi penyeimbang dan pengawas jalannya pemerintahan, kami berpandangan saat yang tepat bagi Fraksi Demokrat DPR RI dan DPR RI menggunakan Hak Angket mengingatkan dan mengkoreksi pemerintah agar tidak terkoreksi oleh rakyat dan sejarah," kata Didik di Jakarta, Selasa (19/6).
Didik menilai setiap kebijakan dan keputusan pemerintah mutlak harus konstitusional dan mendasarkannya kepada UU dan aturan yang berlaku. Menurutnya, ada hal yang cukup serius yang harus disikapi dan dilakukan koreksi terhadap pemerintah karena diindikasikan melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang.
"Setidak-tidaknya ada indikasi pelanggaran terhadap 3 Undang-Undang yaitu UU nomor 5 tahun 2104 tentang Aparatur Sipil Negara, UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia dan UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah," ujarnya.
Berbeda pendapat, Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily mengatakan partainya secara tegas menolak usulan pembentuk Hak Angket terkait pelantikan Komjen Mochamad Iriawan sebagai penjabat gubernur Jawa Barat. Menurut dia, pelantikan tersebut tidak perlu disikapi secara berlebihan.
"Jangan terlalu berlebihan menanggapinya soal penunjukan Komjen Irawan
sebagai penjabat gubernur Jawa Barat, apalagi dengan mengusulkan Hak
Angket," kata Ace.
Mendagri mengatakan siap hadir jika DPR memanggilnya untuk memberikan penjelasan soal penunjukan Iriawan. Menurutnya, keputusan penunjukan itu sudah sesuai aturan.
"Kalau saya dipanggil DPR ya akan hadir. Sebab keputusan saya sudah sesuai dengan undang-undang," ujar Tjahjo dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Selasa (19/6).
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mocthar Ngabalin turut menanggapi rencana DPR yang akan mengajukan hak interplasi dan hak angket. Terutama, dalam kaitan pengangkatan Komjen Iriawan menjadi Pj gubernur Jawa Barat.
"Sah-sah saja tapi sebaiknya di urungkan saja niatnya karena pemerintah dan DPR masih membutuhkan waktu yang banyak dalam hal-hal yang produktif dalam melayani masyarakat," ujar Ngabalin, Selasa (19/6).
Menurutnya, jika DPR tetap melakukan hak angket untuk pengangkatan ini bisa jadi rakyat justru menertawakan wakilnya yang tidak mengerti undang-undang (UU) yang juga dibuat oleh DPR. Dia memastikan bahwa pemerintah dalam membuat satu kebijakan strategis tidak mungkin tak berdasar pada ketentuan hukum dan UU yang berlaku baik UU Pilkada maupun UU ASN (aparatur sipil negara) termasuk PP (peraturan pemerintah).
Wakil Sekjen DPP Partai Demokrat Rachland Nashidik menilai, pihak istana mencari-cari pembenaran bagi pengangkatan polisi aktif menjadi Pj Gubernur Jawa Barat (Jabar). Hal ini terlihat dari kesulitan pihak istana menemukan pembenaran, hingga secara oportunistik melihat ke belakang, yakni mencari persamaan dan preseden dari kebijakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Rachland melihat tindakan istana sebagai perbuatan oportunisme. "Karena biasanya Presiden Jokowi dan para pendukungnya justru selalu berusaha membedakan diri dari pemerintahan SBY," tuturnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (19/6).
Menanggapi protes publik atas pengangkatan Perwira Tinggi Polisi aktif menjadi Pj Gubernur Jabar, Rachland melihat istana justru mencari persamaan dengan kebijakan Presiden SBY. "Disebutlah pengangkatan Setia Purwaka dan Tanri Ali, keduanya Perwira Tinggi TNI, yang diangkat oleh Presiden SBY sebagai Pj. Gubernur, sebagai preseden untuk membenarkan pengangkatan M. Iriawan oleh Jokowi kemarin sebagai Pj Gubernur Jabar," ucapnya.
Menurut Rachland, ada sekurangnya tiga hal berbahaya di balik oportunisme tersebut. Pertama, Istana dengan sengaja menutupi fakta bahwa dua perwira TNI tersebut sudah alih status dari militer menjadi sipil saat mereka diangkat. Ini berbeda dengan Pj Gubernur Jabar yang hingga hari ini masih berstatus perwira polisi aktif.
Poin kedua, memaksakan polisi aktif menjadi Pj Gubernur tepat pada saat pilkada akan berlangsung. Istana dinilai, dengan sengaja mengabaikan dan mengentengkan protes publik yang sedari awal mencemaskan kemungkinan penggunaan kekuatan polisi untuk memenangkan paslon tertentu.
"Di sini, Presiden dapat dinilai merusak profesionalitas dan imparsialitas Polri," ujar Rachland.
Ketiga, disadari atau tidak, Presiden dapat dinilai sedang membangun suatu negara polisi. Yakni, dengan mengaktifkan dwi-fungsi ABRI ke dalam wujud dwi-fungsi Polisi hanya demi tujuan politik pribadinya sendiri.
Atas berbagai pandangan ini, Rachland mengatakan, kita semua patut cemas. Oportunisme kebijakan Istana tersebut adalah gejala dari sesuatu yang lebih berbahaya. "Yakni sedang merayapnya otoriterisme istana kembali ke dalam politik Indonesia," ucapnya.
Iriawan dilantik sebagai Penjabat Gubernur Jabar, Senin (18/6) pagi di Bandung oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Sebelum menjabat sementara sebagai Gubernur Jabar, Iriawan masih menjadi anggota Polri aktif dan menjabat Sekretaris Utama Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas). Iriawan akan menjabat sementara sebagai Gubernur Jabar sampai gubernur dan wakil gubernur terpilih hasil Pilkada dilantik.
Pelantikan Senin itu disertai prosesi sumpah jabatan dilanjutkan penandatanganan berita acara, dan fakta integritas. Acara dilanjutkan serah terima jabatan dari mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan yang mengakhiri masa jabatannya sejak 13 Juni, kepada Iriawan.
Iriawan mengingatkan, penunjukan dan pengangkatan dirinya sebagai penjabat gubernur tentu sudah sesuai perundangan dan ketentuan yang berlaku. Meskipun sudah sesuai dengan perundangan dan ketentuan yang berlaku pun, Iriawan masih bersilaturahim mengharap dukungan dan masukan dari para sesepuh Jabar. "Saya kan putera daerah, sudah sepantasnya saya menghormati para sesepuh Jabar," ucap dia.
Bagi Iriawan, penunjukkan formal dan legalitas negara harus dibarengi dukungan moral dan masukan lain dari para sesepuh. "Saya tahu undak usuk (tatakrama). Saya sudah sepantasnya tahu diri, mendengarkan dan belajar dari pengalaman mereka," tutur Iriawan. Terakhir, dia pun berjanji akan menjaga nama naik diri, keluarga, Polri, dan tentu saja rakyat Jabar.
Oleh: Hartifiany Praisra/ Gumanti Awaliyah/ Dian Erika Nugraheny/ Lida Puspaningtyas/ Ronggo Astungkoro/ Adinda Pryanka/ Debbie Sutrisno
[rol]