Bagi-Bagi Sertifikat; Bukan Bagi-Bagi Lahan, Bukan <i>Land Reform</i>

Bagi-Bagi Sertifikat; Bukan Bagi-Bagi Lahan, Bukan Land Reform

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Prof. Muchtar Pakpahan, Dr., S.H., M.A.

Sekitar 3 tahun lalu saya mendapat informasi dan konfirmasi dari Google bahwa ada sekitar 9 juta petani kita tidak lagi mempunyai tanah. Tapi ada beberapa orang pengusaha di Indonesia saat ini mempunya tanah jutaan hektare. Satu di antaranya adalah group Sinar Mas yang kemarin diprotes oleh Komnas HAM karena mereka sampai memiliki tanah sampai 5 juta hektare! Bahkan terakhir tahun lalu ulang tahun militer dilaksanakan di Sinar Mas. Itu menandakan secara politik genggaman kekuasaan negara ini sudah dikuasai oleh Sinar Mas Group.

Kalau Jokowi bagi-bagi sertifikat, anggaplah dia memberi jaminan tentang kepemilikan tanah rakyat yang selama ini kalau mengurus sertifikat tanah itu susah. Itu oke, baiklah. Tapi kegiatan Jokowi itu kan bukan dalam rangka membagi tanah. Dia hanya mensertifikatkan tanah milik orang.

Program sertifikasi tanah itu sudah lama, sejak Orde Baru juga sudah ada yang dinamakan sertifikat Prona. Tapi program itu kemudian tidak berlanjut. Nah, mungkin yang dimaksud pak Amien Rais kemarin pengibulan itu, sepertinya tidak. Tapi kalau kegiatan Jokowi itu dikatakan membagi tanah kepada petani, itu tidak juga. Itu bukan redistribusi lahan dan tidak ada hubungannya dengan landreform. Hanya memberi kepastian hukum tentang kepemilikan (tanah). Bagi-bagi sertifikat itu sih sudah bagus, dimana presiden sebelumnya tidak ada seperti itu. yang pernah melakukan itu hanya Soeharto dengan berulang kali menyebut Prona tapi tidak juga sukses. Malah di zaman Soeharto lah banyak sertifikat double.

Kalau sekarang memang yang terluas adalah tanah yang dimiliki oleh konglomerat. Sudah lebih luas tanah yang dikuasai oleh konglomerat daripada luas hutan, dan jauh lebih luas daripada yang dimiliki rakyat biasa. Artinya kita anggap perkebunan-perkebunan yang dikuasai itu luasnya 20 ribu hektare ke atas. Karena kalau 20 ribu hektare dikalikan Rp50 juta itu kan sudah Rp1 triliun. Itu sudah masuk kategori konglomerat. Jadi walaupun petani sekarang berjumlah 30 jutaan dan konglomerat hanya ratusan, tapi jika dibandingkan kepemilikan lahannya, lebih luas lahan yang dimiliki oleh konglomerat yang hanya ratusan jumlahnya.

Menyangkut wacana membeli 40 persen tanah milik konglomerat oleh pemerintah, itu harus lebih dulu belajar ke negara lain seperti Filipina masa Cory Aquino dan juga belajar dari Korea Selatan.

Di Korea Selatan, mereka ambil tanah itu dari pemiliknya/ konglomerat, dan dibayar harga tanah seharga NJOP.  Misalnya NJOP per hektar Rp50 juta kalau kelapa sawit sudah berbuah. Lalu diberi ke penduduk 4 hektar per KK. Jadi tanah itu diberikanlah ke petani. Petani kemudian membeli tanah itu dengan kredit. Misalnya kreditnya Rp200 juta. Kalau 4 hektare, petani kelapa sawit bisa berpenghasilan saat panen sekitar Rp12 juta tiap bulan, dengan angsuran Rp4 juta per bulan. Lahan kelapa sawit itu masih bisa juga dipakai petani untuk beternak dan menanam sayur-mayur, pendek kata bisa makmur. Pas dengan konsepsi rakyat Marhaen nya Sukarno.

Program redistribusi lahan itu berhasil di Korea Selatan, Filipina dan terakhir di Malaysia, meski yang mendapat hanya warga Melayu muslim. [swa]

*Penulis adalah Tokoh Buruh Indonesia
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita