Kalau Menkeu Anti Kritik, Utang Bisa Tembus Rp 5 Ribu Triliun

Kalau Menkeu Anti Kritik, Utang Bisa Tembus Rp 5 Ribu Triliun

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Utang yang makin besar menjadi sebab utama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang disusun pemerintah rusak. Buktinya, angka defisit makin lebar hingga menyentuh hampir 3 persen.

Begitu Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan yang meminta Menteri Keuangan Sri Mulyani terbuka mengenai kritik dan saran yang diberikan oleh berbagai kalangan, khususnya terkait membengkaknya utang luar negeri.

"Bahwa defisit belum sampai 3 persen yang dijamin UU, tapi pemerintah tetap tak bisa keasyikan ngutang. Sebab kalau sudah keasyikan ngutang, susah menerima kritik atau masukan," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima, Selasa (27/3).

Kata dia, publik tahu persis bahwa utang yang dipinjam pemerintah hanya untuk membayar bunga utang atau sebatas gali lubang, tutup lubang. Hal itu nampak jelas dalam keseimbangan primer dalam APBN yang menggambarkan dengan jelas kemampuan pemerintah membayar pokok dan bunga utang dengan menggunakan pendapatan negara. 

"Kalau nilainya negatif, pemerintah musti menerbitkan utang baru untuk membayar seluruh pokok dan bunga utang. Lihat saja, nilai keseimbangan primer masih mencapai negatif Rp 121,5 triliun. Dengan begitu, kita tentu pantas kuatir bahwa jangan sampai utang yang sudah tercatat sebesar Rp 4.034,80 triliun itu tidak produktif dan hanya habis untuk membayar bunga utang saja," urainya.

Ditegaskannya bahwa kritik atas utang yang ditumpuk pemerintah itu harus diterima dengan lapang dada, terlebih utang sudah pasti akan menjadi beban APBN. Lebih-lebih dengan berakhirnya tax amnesty, maka pemerintah akan makin sulit merealisasikan penerimaan negara yang lebih baik. 

Sementara itu, beban jatuh tempo pembayaran utang kian besar. Karuan saja, pada tahun 2018 nanti, pemerintah diwajibkan membayar utang sebesar Rp 390 triliun dan Rp 420 triliun pada tahun 2019. Sehingga, total keseluruhan pada pembayaran jatuh tempo mencapai Rp 810 triliun. 

"Bukankah itu beban? Belum lagi, adanya gap antara realisasi pendapatan dan belanja, di mana belanja rata-rata tumbuh di kisaran 5 persen, sementara realisasi pendapatan negara hanya tumbuh di kisaran 3 persen," imbuhnya.

Untuk diketahui, lebih dari 70 persen penerimaan negara bersumber dari pajak. Sementara itu, realisasinya terus melenceng dari rencana. 

Tahun 2015, realisasinya hanya Rp 1.285 triliun atau melenceng dari target APBN-P sebesar Rp 1.489 triliun. Kemudian tahun 2016 juga melenceng dari target APBN-P tahun anggaran 2016 sebesar Rp 1.539,2 triliun. Untuk tahun 2017, tercatat per 30 Desember 2017, penerimaan pajak hanya Rp 1.145,59 triliun, dari target Rp 1.283,6 triliun. Parahnya lagi, lanjut Heri, tax ratio Indonesia adalah yang terendah di dunia, yakni hanya 11 persen. 

"Dengan begitu, beban jatuh tempo utang yang terus naik dibayar pakai apa di tengah-tengah adanya gap antara realisasi pendapatan dan belanja, di tengah-tengah realisasi pajak yang terus melenceng, di tengah-tengah angka tax ratio yang rendah? Inilah yang saya katakan bahwa utang adalah ‘bom waktu’ yang akan terus menjadi beban dari tahun ke tahun," ketusnya.

Berikutnya, tambah Heri, pemerintah tidak boleh membandingkan utang Indonesia dengan negara lain apalagi mengklaim bahwa ekonomi bangsa dalam keadaan aman. Karena pada kenyataannya current payment kita terus turun ke angka negatif. Kalau dibandingkan Jepang misalnya, rasio utang Indonesia memang lebih rendah dan masih dalam batas aman yang dipersayaratkan UU, yaitu di bawah 60 persen. 

"Tapi, utang Jepang itu dipegang mayoritas oleh dalam negeri Jepang sendiri. Hampir 50 persen dipegang oleh Bank Sentral," imbuhnya.

Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang lebih banyak berutang ke luar negeri.

"Sebab itu, saya tetap meminta pemerintah untuk tetap prudent dalam mengelola utang dan selalu terbuka menerima kritik. Kalau tidak, utang kita ini bukan tidak mungkin akan tembus Rp 5.000 triliun," demikian Heri. [rmol]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA