Industri Alat Kesehatan Lokal Berdarah-darah

Industri Alat Kesehatan Lokal Berdarah-darah

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Industri alat kesehatan (al­kes) lokal mengaku harus berd­arah-darah menghadapi serbuan produk impor dan sulitnya men­cari investor. Apalagi, dukungan pemerintah dirasa masih minim sehingga industri ini masih sulit berkembang.

Manajer Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indo­nesia (Aspaki) Ahyahudin Sodri mengatakan, saat ini produk impor mendominasi hingga 92 persen. Padahal, pasar industri alat kesehatan nasional pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp 13,5 triliun.

"Dari potensi pasar yang mencapai angka Rp 13,5 triliun, 92 persennya masih didominasi produk impor. Ini angka yang fantastis, sayang produk kita baru sekitar 8 persen secara value," ujarnya, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Ia mengatakan, ada beberapa hal yang membuat produsen alkes lokal sulit membendung serbuan produsen impor. "Domi­nasi impor ini sudah lama karena harus diakui juga kita masih minim inovasi. Ini yang harus segera dibenahi," ungkapnya.

Ia mengatakan, produsen alkes lokal juga masih kesulitan men­cari investor karena industri ini dinilai masih banyak resikonya. "Jadi kami ini harus berdarah-darah menghadapi produk impor ditambah kesulitan mencari investor," tuturnya.

Ia menuturkan, pemerintah harus memberikan insentif sep­erti kemudahan impor bahan baku dan pajak agar industri alkes lokal bisa meyakinkan investor untuk menanamkan modalnya. "Kami perlu banyak dukungan dari pemerintah," tegasnya.

Menurutnya, industri alat kes­ehatan dalam negeri juga perlu dibenahi dari sisi sumber daya manusia (SDM). "Jadi kalau SDM kita sudah mumpuni, saya percaya maka akan bisa mencip­takan inovasi-inovasi baru yang bisa diandalkan," katanya.

Ia menjelaskan, saat ini produk alat kesehatan produksi Indonesia didominasi oleh produk hospital furniture yang harganya rendah dibandingkan dengan produk high technology. "Contohnya ranjang pasien yang harganya berkisar antara Rp 6 juta hingga Rp 30 juta per satu unit," tuturnya.

Ahyahudin menambahkan, produk impor menguasai secara nilai karena harga produk yang tinggi. Dia mencontohkan harga alat CT scan satu unit senilai Rp 6 miliar hingga Rp 8 mil­iar. "Perlu menjual 1.000 unit ranjang untuk setara 1 unit CT scan," katanya.

Ia menuturkan, industri alat kesehatan juga perlu disinergi­kan dengan industri pendukung seperti industri mekanik dan industri plastik. "Komponen mekanik atau kerangka plastik untuk keperluan alkes dapat diperoleh dari industri dalam negeri yang sudah eksisting memproduksi material yang mirip," ungkapnya.

Produk alat kesehatan impor banyak didatangkan dari negara-negara Eropa, Jepang, Amerika Serikat, dan China. "Berdasar­kan jenis, alat kesehatan ter­bagi menjadi enam jenis, yaitu imaging, consumable, patient aids, dental, ortopedi, dan jenis lainnya," tuturnya.

Ketua Umum Aspaki Ade Tarya Hidayat mengatakan, pemerintah harus terus mendorong penyera­pan produk domestik pada pen­gadaan alat kesehatan dan fasilitas milik negara. "Salah satu kendala yang menahan laju pertumbuhan kita kan karena kecenderungan konsumen lebih mengutamakan produk impor," ujarnya.

Ia mengungkapkan, industri lokal kini lebih banyak mem­produksi alat kesehatan berte­knologi rendah untuk mencegah risiko hasil produksi tak terser­ap. "Jangan nanti sudah investasi besar tapi memasarkannya tetap saja susah," tegasnya.[rmol]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA