Indonesia dan Dilema Utang Rp 4.000 Triliun

Indonesia dan Dilema Utang Rp 4.000 Triliun

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Hingga Januari 2018, utang Indonesia tercatat mencapai Rp 3.958,7 triliun. Angka rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau government-debt ratio (GDR) berada di angka 29,2%. Prosentase rasio utang itu masih jauh di bawah batas minimal yang diizinkan UU Keuangan Negara, maksimal 60%.

Secara makro ekonomi, menurut ekonom senior dari Perbanas Institue Dradjad H Wibowo, posisi utang pemerintah masih masuk kategori aman. Namun jika dilihat dari sisi penerimaan negara termasuk kurang aman.

"Utang juga menjadi beban yang sangat berat jika dilihat dari alokasi APBN," kata Dradjad saat berbincang dengan detikFinance, Rabu (14/3/2018).

Rasio utang pemerintah terhadap PDB pada 2017, ia melanjutkan, di posisi 29,2% masuk kategori sangat rendah. Di antara anggota G-20, Indonesia adalah negara kedua yang paling rendah GDR-nya setelah Rusia yang hanya 12,6%.

Sementara Jepang memiliki GDR tertinggi (250,4%), Italia (131,5%), dan Amerika Serikat (105,4%). GDR Indonesia juga masih jauh di bawah India (69,5%) dan China (46,2%).

Namun, kata Dradjad, bukan berarti tak ada masalah dengan utang pemerintah Indonesia saat ini. Menurut dia, utang pemerintah masuk kategori aman jika mampu membayar pinjaman yang jatuh tempo, baik pokok maupun bunganya.

Ada tiga sumber yang bisa digunakan untuk membayar utang yakni aset dan tabungan pemerintah, penerimaan pemerintah, dan utang baru. "Di Indonesia, penerimaan pemerintah ini dalam APBN disebut penerimaan negara, baik pajak maupun bukan pajak," kata dia.

Masalahnya, kata Dradjad, rasio pajak Indonesia selama ini terus berkutat di level 11-12%. Angka ini yang terendah di antara negara anggota G-20, bahkan tergolong rendah di dunia. Padahal, pajak penghasilan di Indonesia tergolong tinggi di dunia dan lumayan memberatkan bagi perusahaan maupun orang pribadi.

"Artinya, penghasilan pemerintah sendiri dalam membayar utang itu sangat rendah untuk ukuran dunia. Mau tidak mau, Indonesia harus mengandalkan investor membeli surat utang baru," papar Dradjad yang juga politisi PAN tersebut.

Ia mencontohkan pada 2017 realisasi penerimaan negara pajak dan bukan pajak Rp 1.660 triliun. Dari jumlah tersebut, sekitar 31% habis untuk membayar pokok dan jumlah utang.

Dradjad menyayangkan saat ini pemerintah menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai program andalan. Tahun ini, anggaran infrastruktur naik menjadi Rp 409 triliun. Angka ini terlihat besar, namun ternyata anggaran infrastruktur itu jauh lebih kecil dari pembayaran utang. Pada 2017 pemerintah harus membayar pokok dan bunga utang Rp 510 triliun lebih.

"Artinya, program andalan itu bukan infrastruktur, tapi pembayaran utang dengan anggaran Rp 100 triliun di atas infrastruktur. Jadi ada ketimpangan besar dalam alokasi anggaran," kata Dradjad menegaskan.

Yang lebih serius lagi, ia melanjutkan, beban pembayaran utang di atas itu adalah untuk membayar utang yang dibuat pemerintah sebelumnya. Padahal sebelum ini GDR Indonesia hanya sekitar 23%. "Dengan GDR yang makin tinggi, pemerintah sekarang memberikan beban yang lebih berat kepada pemerintah mendatang," tutup Dradjad.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan jumlah utang pemerintah saat ini masuk kategori kontra produktif dengan kondisi perekonomian Indonesia sekarang. Dengan jumlah utang hampir menyentuh Rp 4.000 triliun, pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya berada di kisaran 5%.

"Kalau dilihat dari segi keamanan utang kita, ini sudah kontra produktif. Di samping juga ukuran dari kesehatan fiskal pemerintah sendiri. Kalau modal ditambah utang kok malah keseimbangan primernya defisit (APBN) itu pasti sudah nggak sehat," katanya kepada detikFinance.

Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meyakinkan bahwa pengelolaan keuangan negara selalu dengan prinsip undang-undang. Utang dikelola untuk menjadi instrumen mensejahterakan rakyat.

"APBN itu instrumen, bukan tujuan. Kalau sekarang ada yang mengatakan utang meningkat secara nominal disebutkan mendekati Rp 4.000 triliun, Indonesia sudah akan runtuh. Padahal kalau bandingkan utang, secara nominal tertinggi seperti Jepang dan Amerika," kata Sri Mulyani. [dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita