INDEF: Tim Ekonomi Presiden Jokowi Memang Lemah

INDEF: Tim Ekonomi Presiden Jokowi Memang Lemah

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati menilai masalah negara paling krusial yang dihadapi saat ini dan beberapa tahun mendatang adalah ekonomi. Untuk itu, pada Pemilihan Presiden 2019, Enny berharap pemimpin terpilih mengerti persoalan ekonomi.

"Bukan mesti dari background ekonomi, tetapi yang mengerti persoalan," katanya dalam sebuah diskusi di Hotel Mercure, Jakarta Barat, Rabu, 28 Maret 2018.

Menurut Enny, profesional ekonomi akan sulit menjadi presiden atau wakil presiden karena tersandra oleh syarat presidential threshold. Dia hanya berharap pemimpin terpilih dapat membentuk kabinet yang kuat, khususnya di bidang ekonomi.

"Tim ekonomi ini tidak terkait dengan politis, harus yang bener-bener profesional," katanya.

Mengevaluasi kinerja pemerintahan dibawah Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Enny memberi nilai baik secara politik dan pertahanan. Namun tidak untuk masalah ekonomi. "Tim ekonominya memang lemah," katanya.

Selain itu, Enny mengatakan dari berbagai survei yang dibacanya, elektabilitas Jokowi tinggi hanya dari sisi kerakyatan dan kesederhanaan. "Tapi apakah pak Jokowi bisa menyelesaikan masalah, ratingnya rendah sekali," katanya.

Salah satu masalah ekonomi yang menjadi sorotan Enny dalam pemerintahan Jokowi adalah utang luar negeri. Enny mengatakan bentuk utang yang saat ini didominasi sekuritas perlu diwaspadai. "Apa yang dirasakan pasar itu banyak sekali kepala, kita gak bisa mendeteksi," katanya.

Utang pemerintah saat ini disebut berbeda dengan utang masa Orde Baru. Saat itu, menurut Enny dominasi utang dalam bentuk bilateral dan multilateral dibanding sekuritas. Untuk itu, intervensi pemerintah terhadap utang jauh lebih kuat.

"Kalau utang dulu, kita kesulitan bayar utang ke Jepang dan Amerika kita masih bisa nego-nego," ujarnya.

Utang pemerintah Indonesia hingga akhir Februari 2018 mencapai Rp 4.035 triliun. Posisi ini naik 13,46 persen dibanding periode yang sama tahun lalu Rp 3.556 triliun atau 29,24 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Senada dengan Enny, Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan posisi utang pemerintah sangat rawan. Kedaulatan pemerintah dapat berkurang serta terlalu bergantung oleh kondisi keuangan global.

"Sebagian besar utang Indonesia itu dalam bentuk obligasi, dan 50 persen obligasi itu dipegang asing," katanya di salah satu restoran di Epicentrum Walk, Jakarta Selatan, Jumat, 16 Maret 2018.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan utang pemerintah masih dalam level aman. Terlebih, menurut Darmin utang tersebut bukan bersifat konsumtif melainkan untuk membangun infrastruktur.

Direktur Strategi dan Portofolio Utang Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Schneider Siahaan memastikan negara mampu membayar utang dengan strategi politik anggaran dan pengelolaan utang yang baik.

Strategi yang dimaksud Scheneider adalah, jika penerimaan pajak tahun ini diperkirakan mencapai Rp 1.800 triliun dibagi dengan struktur jatuh tempo utang, pemerintah mampu melunasi utang dalam jangka waktu sembilan tahun.

"Utang rata-rata akan lunas selama sembilan tahun. Jika utang sekitar Rp 4.000 triliun dibagi sembilan tahun, setiap tahun kita bayar Rp 450 triliun," ujarnya.

Kepercayaan diri pemerintah untuk membayar utang disebut dia karena rasio PDB masih terjaga pada level aman. Per akhir Januari 2018, PDB tercatat 29,1 persen atau masih di bawah batas 60 persen, yang ditetapkan Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003.

Enny mengatakan, salah dalam penanganan masalah ekonomi berbahaya bagi kedaulatan bangsa. "Persoalan ekonomi ini bukan persoalan yang bisa dianggap enteng. Yunani contohnya, salah kelola dalam kebijakan fiskal, sumber krisisnya adalah utang," kata peneliti Indef ini. [tempo]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA