Kontroversi Revisi UU MD3, Jokowi Diminta Keluarkan Perppu

Kontroversi Revisi UU MD3, Jokowi Diminta Keluarkan Perppu

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co -  Koalisi Masyarakat Sipil mendesak UU MD3 direvisi karena dinilai berdampak pada kehidupan berdemokrasi. Jika DPR menolak, Presiden Jokowi diminta untuk menerbitkan Perppu.

Peneliti ICW Almas Syafrina menilai Pemerintah seharusnya bisa menjadi pihak yang berinsiatif untuk mendorong revisi kembali UU MD3. Sebab, UU MD3 disebut menguntungkan pihak DPR.

"Apabila DPR menolak untuk melakukan revisi kembali terhadap UU MD3 yang menguntungkan mereka itu, kami mendorong Presiden mengeluarkan Perppu yang menerapkan poin-poin bermasalah dalam UU MD3 kita yang baru," kata Almas di Sekretariat ICW, Jl Kalibata Timur, Jakarta Selatan, Selasa (14/2/2018).

Almas menyampaikan ini dalam jumpa pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3. Arif Aziz dari change.org, Syamsuddin Alimsyah dari Komite Pemantau Legislatif (KOPEL), dan Fadli Ramadhanil dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan Fajri Nursyamsi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) hadir. Mereka juga membuat petisi menolak UU MD3 yang dapat diakses di charge.org

Almas menyebut ada 4 poin yang bermasalah di UU MD3. Mulai dari penambahan jumlah kursi pimpinan DPR, pemeriksaan dan permintaan dari penegak hukum kepada anggota DPR harus melalui MKD sebelum kemudian izin presiden, pengeritik DPR dapat diberikan sanksi pidana atau diproses DPR jika pengeritik tersebut dinilai merendahkan anggota DPR, dan tentang pemanggilan paksa.

Selain itu, lanjut Almas, mereka juga mendesak Jokowi mengevaluasi Menteri Hukum dan HAM karena tidak menolak atas pengesahan revisi UU MD3.

"Untuk Presiden Jokowi harus melakukan evaluasi Kemenkumham Bapak Yassona Laoly, ini kan sudah menjadi catatan buruk karena tidak melakukan penolakan kepada revisi UU MD3 yang poin-poinnya tidak demokratis," paparnya.

Sementara itu, Fajri Nursyamsi PSHK mengatakan 4 poin yang disorot mereka itu merupakan poin krusial yang berdampak pada kehidupan berdemokrasi. Dia menyayangkan pembahsannya dilakukan cepat tanpa konsultas.

"Ini poin-poin krusial yang berdampak pada kehidupan berdemokrasi bangsa Indonesianya dibahas satu dua hari saja oleh anggota DPR," kata Fajri Nursyamsi. 

"Kita ragukan bahwa sama sekali tidak dilakukan konsultasi publik terhadap isu-isu ini," imbuhnya. (dtk)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita