Ketua MK Dapat Kartu Merah dari Dekan FH UGM

Ketua MK Dapat Kartu Merah dari Dekan FH UGM

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Prof Dr Sigit Riyanto memberi kartu merah kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat. Hal itu menyikapi polemik pelanggaran etik yang dilakukan Arief sebagai hakim MK.

"Dua kali pelanggaran etika, dua kali disanksi, padahal jabatan sangat berwibawa dan terhormat, penjaga konstitusi negara. Bagi saya, lampu merah dan kartu merah," kata Sigit.

Hal itu disampaikan dalam acara diskusi membahas persoalan 'Marwah, Martabat, dan Integritas Hakim MK' di kantor Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) FH UGM, Bulaksumur, Sleman, Senin (5/2).

Menurutnya, sebagai seseorang yang memegang amanah menjaga konstitusi, Arief seharusnya bisa menjaga etika dan martabat sebagai hakim MK dengan baik. Terlebih bagi seorang Ketua MK.

Namun, pada kenyataannya, kata Sigit, Arief telah melakukan dua kali pelanggaran etika dan telah dijatuhi sanksi oleh Dewan Etik. Karena itu, menurutnya, Arief lebih baik mengundurkan diri dari jabatannya.

"Orang melanggar dua kali kemudian diimbau (mundur), itu tidak tepat. Pendapat pribadi saya, dia sudah tidak pantas lagi. Bahkan sekarang sudah ada laporan ketiga kalinya, jadi dia tidak layak duduk di lembaga MK, bisa merusak, bahkan merendahkan, wibawa MK ke depannya," jelasnya.

Diskusi ini dihadiri akademisi dari berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta di Yogyakarta, seperti UGM, UII, UIN, UMY, dan Atma Jaya.

"Teman-teman akan galang pernyataan, akan disosialisasikan sebagai kepedulian bangsa yang direpresentasikan dari lintas jaringan organisasi, ada jaringan akademisi, jaringan perguruan tinggi, dan jaringan LSM yang punya kepedulian masa depan bangsa," imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Pukat UGM Zainal Arifin Mochtar menyebut adalah hal yang sangat penting untuk mendorong upaya memperbaiki lembaga MK. Dia menganggap kasus pelanggaran etik Arief bukan hal sepele. Karena salah satu dampaknya bisa merusak relasi kepercayaan publik terhadap putusan-putusan MK selanjutnya.

"Kita bukan bicara soal Arief, tapi lebih pada masa depan MK. Menurut saya, pilihan mundur adalah hal yang arif," ujarnya.

Pakar hukum tata negara Universitas Atma Jaya, Hestu Cipto Handoyo, menambahkan, meski dalam proses pemeriksaan sebuah perkara di MK seorang hakim tidak bisa memutuskan sendiri, dalam konteks implementasi, di dalam proses persidangan, pengaruh ketua hakim sangat besar. Sehingga, jika ketua MK mempunyai masalah dalam etika, dikhawatirkan putusan yang dikeluarkan oleh MK sarat kepentingan.[tsc]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita