Kasus Ujaran Kebencian, Fadli Zon Minta Polri Tidak Tebang Pilih

Kasus Ujaran Kebencian, Fadli Zon Minta Polri Tidak Tebang Pilih

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Kurang dari dua bulan sejak menginjak tahun 2018, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri telah menangkap 18 tersangka kasus penyebaran berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech).

Dari jumlah itu, 12 di antaranya ditangkap sepanjang Februari 2018. Meski sepakat jika berita bohong dan ujaran kebencian harus dilawan sesuai undang-undang yang berlaku, namun Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan keprihatinannya atas sejumlah penangkapan tersebut.

"Di tengah masyarakat majemuk, hoax dan ujaran kebencian memang harus diberantas, karena bisa merusak kerukunan dan kohesi sosial," kata Fadli Zon, Jumat (23/2/2018).

"Tapi saya ingin mengingatkan Polri agar membedakan antara hoax, ujaran kebencian, dengan delik pidana lainnya, seperti pencemaran nama baik dan penghinaan. Jangan sampai delik-delik itu dicampuradukan," tambahnya.

Fadli Zon mengingatkan, bahwa penghinaan dan pencemaran nama baik adalah delik aduan, bukan delik pidana umum. Sehingga, Polri tidak boleh melakukan penangkapan begitu saja jika tidak ada pelapornya.

"Jangan sampai karena yang menjadi korban penghinaan atau pencemaran nama baik tadi adalah elite penguasa, atau elite pendukungnya, misalnya, polisi jadi responsif dan langsung main tangkap saja. Ini harus sama-sama kita koreksi dan awasi," tegasnya.

"Sesuai ketentuan perundangan, beda dengan ujaran kebencian yang bersifat publik dan tanpa aduan, maka pencemaran nama baik dan penghinaan adalah kejahatan yang sifatnya individual dan deliknya masuk ke dalam delik aduan. Seperti yang sudah sering saya sampaikan, keduanya tak boleh dicampuradukan," imbuhnya.

Karena menurut politikus partai Gerindra ini, jika dicampuradukkan, ada potensi terjadinya pembungkaman kebebasan berekspresi. Sebuah pernyataan yang sebenarnya berisi kritik terhadap seorang pejabat pemerintah, misalnya, jika dianggap sebagai ujaran kebencian maka pelakunya bisa langsung ditangkap begitu saja.

"Ini bisa berbahaya bagi iklim demokrasi. Kita tentu tak ingin hal semacam itu terjadi. Sebagai perbandingan, tahun lalu ada sebuah akun media sosial menyebarkan ancaman 'pembunuhan' kepada diri saya dan sejumlah nama lain. Apapun motifnya, ancaman semacam itu mestinya masuk ranah pidana umum. Tanpa perlu dilaporkan, polisi bisa langsung memprosesnya," ungkapnya.

"Tapi bahkan sesudah saya laporkan sekalipun, dan sudah hampir setahun berlalu, hingga kini kasus itu tidak ada tindak lanjutnya dari kepolisian. Di sisi lain, meskipun saya tidak pernah mendengar ada laporannya, karena terkait dengan pencemaran nama sejumlah elite pendukung pemerintah, misalnya, para pelakunya kemarin cepat sekali ditangkap oleh aparat kepolisian," tandasnya.

Lebih lanjut dia menjelaskan, perbedaan perlakuan semacam itu akan rawan menimbulkan tanda tanya, polisi kita ini sebenarnya bertindak berdasarkan panduan hukum, ataukah sebenarnya berdasarkan order kekuasaan?

"Saya kira kasus-kasus semacam itu merupakan tantangan sekaligus menjadi batu ujian bagi kepolisian. Saya berharap aparat kepolisian menyadari jika Polri adalah alat negara, dan bukan alat kekuasaan. Untuk itu mereka tidak boleh menerapkan standar ganda dalam pengusutan kasus hoax, hate speech atau SARA di dunia maya," tuturnya. (sn)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA