Tere Liye: Belajarlah sejarah! Ajaran Islam bukan bahan olok-olokan, Tapi pengusir Penjajah

Tere Liye: Belajarlah sejarah! Ajaran Islam bukan bahan olok-olokan, Tapi pengusir Penjajah

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Belajarlah sejarah!

Jenderal yang satu ini, ‘merajai’ seluruh kota-kota di Indonesia. Tengok nama jalan paling besar, paling penting di kota-kota Indonesia? Dua pertiga dari itu diberikan nama ‘Jalan Jenderal Sudirman’. Namanya mahsyur dari ujung ke ujung. Seorang pahlawan yang hidup mati berperang melawan penjajah Belanda.

Soedirman kecil adalah anak yang taat agama dan senantiasa menegakkan shalat. Dia dipercaya untuk mengumandangkan adzan dan iqamat. Ilmu agamanya mendalam, bahkan teman-temannya pun sering memanggil beliau ‘Haji’--padahal dia belum naik haji. Dia aktif dalam kepanduan Hizbhul Wathan Muhammadiyah. Dia juga pernah jadi guru di sekolah Muhammadiyah, sebelum masuk militer. Wah, tak disangka, ‘Pak Guru’ Soedirman, besok lusa memimpin perang gerilya melawan Belanda. Di kamusnya, tidak ada kata ‘mengalah’ pada penjajah. Jenderal Soedirman dikukuhkan sebagai panglima besar TKR (TNI saat ini) pada tanggal 18 Desember 1945. Usianya baru 29 tahun saat itu.

Adalah Jenderal Soedirman yang mengirim A.H. Nasution untuk menumpas pengkhianatan Muso (pemberontakan komunis tahun 1948). Repot sekali memang jaman itu, kita masih menghadapi Belanda, eh, ada yang menikam dari belakang. Bukannya bahu-membahu melawan penjajah, malah berkhianat. Beres urusan komunis, Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militernya, hendak menguasai kembali sepenuhnya Indonesia. Sejak saat itu, tidak terima dengan ultimatum penjajah, Jenderal Soedirman melancarkan perang gerilya yang akan terus dikenang. Dalam kondisi sakit TBC, dia keluar masuk hutan, melawan serdadu Belanda. Bahu-membahu bersama rakyat, tentara, santri, perlawanan terus dilakukan. Kalian bisa membaca kisah ini lebih lengkap di buku-buku sejarah.

Jenderal Soedirman wafat di usia yang sangat muda tahun 1950, setelah Belanda mengakui eksistensi Indonesia. Beliau wafat di usia 34 tahun. Tapi jasa-jasanya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia tidak terbilang. Anak muda yang rajin mengikuti pengajian itu --para sesepuh kampung Kauman Yogyakarta menyaksikannya, wafat dengan diantar ribuan warga. Ada banyak catatan yang menunjukkan, betapa kader Muhammadiyah yg satu ini, rajin mengutip Al Qur’an ketika menggelorakan semangat perlawanan pasukannya. Bagi ‘Pak Guru’ Soedirman: “Hidup mulia atau mati syahid”. Berdiri di depan dia, memimpin perlawanan, meneriakkan takbir ke udara.


Kenanglah kejadian ini, Kawan: Tahun 1946, ‘Pak Guru’ Soedirman mengunjungi laskar Hisbullah-Sabilillah Surakarta yang sedang mempersiapkan kembali maju ke medan perang. Saat diadakan pertemuan di Surakarta, Pak Guru Sudirman mengawali kata sambutannya dengan melantunkan ayat-ayat al-Qur’an, Ash-Shaf ayat 10-12 yang kemudian diterjemahkannya sendiri, “Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang akan menyelamatkanmu dari siksa yang pedih. Yaitu, kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu...”

Sekali lagi, inilah bukti tak terbantahkan bahwa teriakan takbir, ajaran agama Islam, tidak dipenuhi kebencian. Itu bukan teriakan teroris. Kalimat tauhid bukan ajaran penjahat. Bacalah sejarah bangsa ini, kita akan mengetahui, itu adalah pengobar semangat tiada tara melawan penjajahan. Jangan sampai, kita malah risih, ilfil, kesal, aneh, terasing saat takbir diteriakkan. Apalagi sampai menjadikan takbir "Allahuakbar" sebagai bahan lelucon, stand up comedy, diolok-olok. Karena kalimat itulah yang diteriakkan oleh sebagian besar (mayoritas) para pejuang kemerdekaan dulu. Tanpa mereka, boleh jadi kita tidak akan menikmati semua kemudahan, kenyamanan hari ini.

Belajarlah sejarah.

09-01-2018

(Tere Liye)

[pid]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA