Ombudsman Temukan Indikasi Pelanggaran di Kebijakan Impor Beras

Ombudsman Temukan Indikasi Pelanggaran di Kebijakan Impor Beras

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Ombudsman Republik Indonesia (ORI) menemukan indikasi maladministrasi terkait rencana impor beras 500.000 ton. Ratusan ribu ton beras ini dipasok dari Thailand dan Vietnam dan masuk Indonesia akhir Januari 2018.

"Yang jadi sorotan adalah kebijakan impor beras," kata Ketua Ombudsman Amzulian Rifai konferensi pers di kantor Ombudsman, Jakarta, Senin (15/1/2018).

Ombudsman mengingatkan pemerintah untuk memerhatikan betul proses impor agar tidak mengarah pada gejala maladministrasi.

"Ombudsman menilai ada potensi gejala maladministrasi dalam situasi ini. Kami ingin kalau ada impor dilakukan dengan cara yang benar," lanjutnya.

Adapun temuan potensi maladministrasi adalah sebagai berikut:

1. Penggunaan kewenangan untuk tujuan lain. Dalam pasal 6 huruf c Perpres No. 48/2016 mengatur Perum Bulog melakukan pemerataan stok antar wilayah sesuai kebutuhan.

Dalam situasi current stock pas-pasan dan tak merata, Ombudsman menilai kalau kewenangan yang harus dioptimalkan terlebih dahulu ialah pemerataan stok.

Di tengah situasi stok Bulog menipis dan psikologi pasar cenderung mengarah pada harga merangkak naik, Ombudsman menyarankan agar jika harus impor, itu diprioritaskan untuk meningkatkan cadangan beras dan kredibilitas stok Bulog di hadapan pelaku pasar dalam kerangka stabilisasi harga.

Jadi tujuan utama impor dilakukan bukan untuk mengguyur pasar secara langsung dengan pasokan beras, apalagi pasar khusus yang tidak cukup signifikan permintaannya.

2. Penyalahgunaan Kewenangan. Pada pasal 3 ayat (2) huruf d Perpres No. 48/2016, dan diktum KETUJUH angka 3 Inpres No. 5/2015 diatur bahwa yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga adalah Perum Bulog.

Hal ini, menurutnya juga didukung oleh dokumen notifikasi WTO terhadap Perum Bulog sebagai STE (state trading enterprise).

Penunjukan PT PPI sebagai importir berpotensi melanggar Perpres dan lnpres. Ditambah, Ombudsman menilai kalau PPI belum memiliki pengalaman untuk melakukan impor beras dan menggelar operasi pasar untuk menyalurkan beras ke pasaran.

3. Prosedur tak patut/Pembiaran. Diktum KEDELAPAN Inpres No. 5/2015 mengatur bahwa Menteri Koordinator Perekonomian melakukan koordinasi dan evaluasi pelaksanaan lnpres tersebut.

Ombudsman mempertahankan, apakah koordinasi sudah dilakukan secara patut? Bagaimana peran Deputi terkait dalam mengelola dan mensinkronkan Informasi dan data dari setiap kementerian dan lembaga yang dikoordinasi?

4. Konflik kepentingan. Permendag No. 1/2018 yang dibuat begitu cepat dan tanpa sosialisasi juga berpotensi mengabaikan prosedur dan mengandung potensi konflik kepentingan, sebagaimana dirincikan seperti berikut:

a. Apakah impor beras khusus termasuk yang diatur Pemerintah penugasannya?

b. Apakah kelangkaan beras khusus yang menyebabkan naiknya harga beras?

c. Apakah PT PPI yang ditunjuk sudah berpengalaman melaksanakan operasl pasar?

d. Mengingat margin yang tinggi antara harga beras impor dengan harga pasar domestik dan HET, siapa yang akan paling dluntungkan jlka impor dilakukan bukan untuk tujuan berjaga-jaga? [dtk]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA