KPK Jangan Memble Usut Skandal Sertifikat Pulau Reklamasi Yang Terbit Terburu-Buru

KPK Jangan Memble Usut Skandal Sertifikat Pulau Reklamasi Yang Terbit Terburu-Buru

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Pengusutan skandal penerbitan sertifikat pulau reklamasi teluk Jakarta yang tak kunjung ditingkatkan ke tahap penyidikan dan penetapan tersangka membuat sejumlah pihak mempertanyakan keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Kenapa KPK mengulur-ulur waktu periksa proses penerbitan hak pengelolaan lahan (HPL) dan hak guna bangunan (HGB) pulau reklamasi Jakarta?" kata Ketua Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW) Zunisab Akbar kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (24/1).

Zunisab menyayangkan pengusutan yang dilakukan KPK tidak jelas juntrungannya. Padahal Ketua KPK Agus Rahardjo pada Agustus 2017 menyebut penerbitan surat HGB terburu-buru dan karenanya KPK melakukan pengusutan.

Menurut Zunisab sudah rahasia umum penerbitan HPL seluas 3.120.000 meter persegi lahan reklamasi berdasarkan keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 82/HPL/KEM-ATR/BPN/2017. Dasar keluarnya keputusan ini antara lain surat persetujuan prinsip reklamasi yang dikeluarkan Gubernur Jakarta Nomor 1571/-1.711 tanggal 19 Juli 2017.

"Itu juga artinya sertifikat HPL (SHPL) yang bermasalah tersebut diterbitkan dan ditandatangani oleh Sofyan Djalil sebagai Menteri ATR/BPN," imbuh Zunisab.

Penerbitan SHPL, dikatakan Zunisab, tidak memenuhi prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negri Nomor 1 Tahun 1977 Jo Permen Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, khususnya Pasal 67-75.

Diantara pasal-pasal itu antara lain menyatakan bahwa penerbitan HPL lahan hasil reklamasi mengharuskan adanya Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur Rencana Umum Tata Ruang (RUTR). Lantas, secara teknis, perlu ada penerbitan SIPPT oleh Gubernur DKI.

"Kalau unsur-unsur ini tidak terpenuhi maka bisa dipastikan SHPL yang ditandatangani Menteri Sofyan Djalil cacat hukum. Dengan kata lain SHPL tidak sah, dan melanggar undang-undang," tegas Zunisab.

Kejanggalan lainnya, masih kata Zunisab, nampak terang benderang jika dilihat dari teknis administratif. Izin prinsip reklamasi dikeluarkan tanggal 19 Juli 2007 ketika Gubernur DKI dijabat Fauzi Bowo, sementara surat permohonan HPL diajukan tanggal 22 Desember 2015 oleh Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Heru Budi Hartono atas nama Pemda DKI saat dipimpin Basuki Tjahaya Purnama.

"Sehingga kesimpulannya, itu adalah permohonan HPL tahun 2015 yang menggunakan sebagian dari dokumen zaman Fauzi Bowo. Intinya, itu adalah permohonan," papar Zunisab.

Zunisab menyarankan Pemda DKI mencabut permohonan HPL-nya. Saran ini ia sampaikan karena permintaan pembatalan SHGB oleh Gubernur Anies Baswedan malah ditolak mentah-mentah oleh Sofyan Djalil dengan dalih kepastian hukum terhadap investor. Sama sekali tidak terbersit di benak Sofyan soal keberatan Pemda DKI Jakarta yang menyuarakan keinginan rakyatnya.

"Jadi kita bingung, bagi Sofyan Djalil lebih utama dalih kepastian hukum yang oleh KPK malah sudah disebut terburu-buru ketimbang memenuhi keinginan rakyat yang tergambar dari surat permohonan Anies," tekannya.

Parahnya lagi, Kementerian ATR/BPN ternyata juga telah menerbitkan SHPL seluas 1.093.580 meter persegi atau 109 hektare untuk Pulau 1 dan pulau 2B berdasarkan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta tanggal 21 September 2012 Nomor 1417/2012 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau 1 dan Pulau 2B kepada PT Kapuk Naga Indah. Zunisab mengatakan patut dipertanyakan keberadaan dan keabsahan kedua SHPL yang ditandatangani oleh Sofyan Djalil tersebut.

"Pantas saja publik terus menolak reklamasi karena sarat dugaan terjadi persekongkolan dan permufakatan jahat untuk memperkaya diri dan memperkaya orang lain dengan menyalahgunakan jabatan. Dan yang pasti bahwa hal itu melanggar undang-undang," jelas Zunisab.

KPK menurut Zuniab perlu segera mewujudkan kinerja penyidikan sebab Ketua KPK sudah melihat hal yang tidak lazim dimana SHGB diproses dengan terburu-buru. KPK perlu memeriksa Heru Budi sebagai pihak yang mengajukan permohonan tersebut. Dari Heru bisa diketahui apakah pengajuan memenuhi persyaratan terbitnya HPL.

"Jika persyaratannya tidak lengkap tetapi kemudian Sofyan Djalil menerbitkan SHPL, itu namanya penyimpangan yang prinsip," kata Zunisab.

Selain itu, kata dia, perlu juga diusut keberadaan tenaga ahli Sofyan Djalil berinisial LCW. Pria yang tinggal di Singapura dan berkantor di Kemenko Perekonomian tetapi mengambil gaji dari Kementerian ATR/BPN sebasar 15 juta per bulan selama 2 tahun, tetapi tidak pernah masuk kantor.

"Sofyan diam saja tuh. Kami harus ungkap dugaan tali-temali dasar dari persoalan ini sampai dengan SHPL dan SHGB itu terbit agar KPK lebih mumpuni lagi. Sehingga tidak hanya sekedar mengatakan penerbitan SHGB terburu-buru tetapi memang masuk dalam kategori tindak korupsi. Jadi KPK periksa dong," demikian kata Zunisab. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita