Ketua KPK Tak Akan Sentuh Megawati

Ketua KPK Tak Akan Sentuh Megawati

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Dalam kasus Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI, KPK merangkak ke atas memeriksa orang-orang penting dan berkuasa. KPK sudah memeriksa Boediono sebagai mantan Menteri Keuangan. KPK juga sudah memeriksa Kuntoro Mangkusubroto sebagai mantan Menko Ekuin. Lalu, akankah KPK memeriksa Megawati Soekarnoputri yang kala itu menjadi Presiden? Ketua KPK Agus Rahardjo memastikan tak akan melakukannya. Kenapa? Berikut penjelasan Ketua KPK.

Agus Rahardjo menegaskan Mega tidak akan diperiksa. Sebab, penyidikan kasus SKL BLBI yang dilakukan komisinya tidak mengarah pada masalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 yang diteken Mega selaku Presiden pada Desember 2002. Meski Inpres itulah yang menjadi dasar penerbitan surat lunas untuk obligor BLBI oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). 

"Tidak (memanggil Mega). Ini bukan terkait kebijakan. Ini terkait pelaksaan dari kebijakan (Inpres)," tegas Agus kepada wartawan, kemarin. 

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyatakan, Inpres yang dikeluarkan dan ditandatangani oleh Mega tidak bisa menjadi tindak pidana korupsi. "Memang itu kebijakan pemerintah. Tapi itu tidak menjadi suatu tindak pidana korupsi,"  ujar Basaria dalam jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa (25/4/2017). 

Senada, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono menyampaikan keyakinan Mega tidak bisa dipidana dalam kasus BLBI. Arief mengungkapkan, Inpres Nomor 8 Tahun 2002 merupakan kebijakan negara atau pemerintah sehingga Mega tidak bisa dipidanakan. Apalagi dalam pertimbangannya, Inpres terbit berdasarkan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002 tentang rekomendasi yang berkaitan dengan perjanjian PKPS yang berbentuk Master of Settlement Agreement And Acquisition Agreement (MSAA); Master Of Refinancing And Note Issuance Agreement (MRNIA); dan Perjanjian PKPS serta Pengakuan Utang. 

Menurut Arief, ketika dalam penerapan Inpres tersebut ada penyelewengan, itu bukan salah Mega. "Hanya orang yang tidak paham hukum yang mau mempidanakan Ibu Mega lewat kasus BLBI," tegas dia. 

Sebab itu, lanjut Arief, sia-sia saja kalau ada pihak-pihak yang menyandera Mega dengan kasus BLBI terkait Pemilu dan Pilpres 2019. "Saya rasa ya percuma saja menyandera Ibu Mega dengan kasus BLBI. Tidak ada sama sekali pasal korupsi yang bisa menjerat Ibu Mega dalam release and discharge oleh obligor BLBI," tandas Arief. 

Sementara, kemarin, KPK memeriksa bekas Menko Perekonomian Dorojadtun Kuntjoro Jati. Dia sudah pernah diperiksa dalam kasus yang sama pada 4 Mei 2017. Dorodjatun diperiksa sebagai saksi bagi tersangka eks Kepala BPPN Syafruddin Tumenggung yang ditahan KPK di ujung tahun 2017. 

Mengenakan kemeja biru lengan pendek, Dorojadtun tiba di Gedung KPK sekitar pukul 10.00 WIB. Banyak wartawan yang nggak ngeh dengan kehadirannya. Dorodjatun, yang sempat menjabat sebagai Ketua KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) ini mulus melenggang menuju ruang pemeriksaan di lantai 2 KPK. Sebelum Dorodjatun, KPK juga sempat memeriksa eks Menkeu Kwik Kian Gie dan Boediono terkait penerbitan SKL BLBI tersebut. 

Dorodjatun diperiksa selama enam jam. Pukul 16.20 WIB, dia keluar. Dicecar wartawan, dia tampak tak berkenan. "Tunggu KPK saja. Sudah, sudah, sudahlah sama KPK saja," selorohnya. Wajahnya terus ditekuk hingga menaiki mobilnya. 

Jubir KPK Febri Diansyah menyatakan, dari Dorodjatun, penyidik mendalami keputusan KKSK menyetujui langkah BPPN menerbitkan Surat SKL BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI). "Dorodjatun diperiksa sebagai Ketua KKSK. Jadi, memang tentu kami perlu lihat karena surat tersebut ditandatangani saksi saat itu sebagai ketua KKSK dan kami ingin tahu bagaimana proses pembuatan surat itu, usulan siapa dan juga proses perdebatan sebelumnya seperti apa," tutur Febri. 

Soal target selesainya pengusutan kasus SKL BLBI di tahun 2018, Febri tak bisa memastikan. "Kalau kita bicara soal penuntasan, tentu saja nanti kita akan lihat dari perkembangan penanganan perkaranya," imbuhnya. 

Febri menyebut, kasus ini memiliki kompleksitas tersendiri dibanding kasus-kasus lainnya. Untuk itu, pihaknya perlu mendalami setiap hal terkait kasus ini. Dalam penerbitan SKL BLBI kepada BDNI, tim penyidik harus mendalami setiap surat yang diterbitkan oleh instansi terkait. Apalagi, kasus ini terjadi bertahun-tahun lalu. 

"Ini memang butuh waktu karena memang ada kompleksitas administrasi pada saat itu dan waktu penerbitan SKL sudah cukup lama. Jadi kita harus uraikan satu persatu karena kami juga ingin ketika kasus ini dibawa ke persidangan seluruh celah-celah untuk menyerang balik kasus KPK ini sudah diantisipasi sejak awal,"tandasnya. [rmol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita