Masalah Tanah Era Ahok-Djarot Terindikasi Korupsi, Pemda Dirugikan Triliunan Rupiah

Masalah Tanah Era Ahok-Djarot Terindikasi Korupsi, Pemda Dirugikan Triliunan Rupiah

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Masalah tanah di era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) - Djarot Saiful Hidayat sebagai gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, kerap menjadi sorotan.

Sejumlah kasus pembelian tanah ditemukan banyak kejanggalan, dan aset milik Pemda telah berpindah ke tangan pihak swasta. Ditengarai ada indikasi korupsi dalam masalah ini, sehingga Pemprov DKI dirugikan triliunan rupiah.

Berdasarkan data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2014 menunjukkan, banyak aset milik DKI telah berpindah ke tangan pihak swasta. Nilainya, mencapai Rp259,05 miliar. Perpindahan aset ini terjadi setelah DKI kalah gugatan di pengadilan.

Selain itu, pada 2014 terdapat 35 bidang tanah seluas 1.538.972 meter persegi milik DKI dengan nilai Rp7,976 triliun digugat oleh pihak swasta. Dari jumlah tersebut, 11 bidang tanah sudah dimenangkan pihak swasta. Total aset berpindah kepada pihak swasta ini mencapai Rp259 miliar.

Selanjutnya BPK pada 2015 melaporkan, Pemprov DKI dinyatakan tidak dapat memelihara aset daerah. Manajemen aset DKI masih menunjukkan adanya kelemahan dalam pengelolaan. Kelemahan tersebut di antaranya: tanah dan bangunan milik DKI seluas 2,72 juta M2. Aset ini masih dalam sengketa/dikuasai/dijual pihak lain. Hal ini mengakibatkan adanya potensi kehilangan aset tanah atau bangunan senilai Rp8,11 triliun.

Dikuasai Swasta

Direktur Network for South East Asian Studies (NSEAS)‎, Muchtar Effendi Harahap, mengungkapkan,‎ permasalahan aset di Ibukota seakan tidak ada habisnya. Banyak aset tercatat sebagai milik DKI tetapi digunakan atau dikuasai pihak lain.

Aset bermasalah yang dimaksud, kata dia, mayoritas berupa lahan berstatus 'digugat', dimanfaatkan atau secara sengaja diambil oleh oknum tertentu.

"Ahok sendiri pada waktu itu hanya bisa menyalahkan pihak lain. Tuding BPKAD terlibat kasus lahan DKI. Bahkan, mengeluarkan ancaman akan memecat para Walikota tidak memiliki nyali untuk menjalankan perintahnya," ungkapnya di Jakarta, Minggu (10/12/2017).

‎Ia mencontohkan, salah satu kasus yakni transaksi pengadaan lahan proyek lahan Cengkareng. Menurutnya, banyak kejanggalan dalam temuan tersebut. Salah satunya, BPK menemukan Pemprov membeli tanah senilai Rp648 miliar dari Toeti Noezlar Soekarno, yang mengaku memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM).

"Setelah ditelisik ternyata tanah tersebut milik Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan (KPKP) DKI. Proses ini aneh. Bagaimana bisa terjadi Ahok sampai tidak mengetahui, tanah dibeli merupakan asset DKI," terang dia.

Kasus lain, kata dia, adalah pembelian tanah Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). Diperkirakan telah terjadi pengelembungan NJOP sehingga merugikaan negara sekitar Rp181 miliar. Ada dugaan tindak pidana korupsi. Bahkan, dinilai tanah dibeli Pemprov DKI itu adalah tanah negara. "Dalam arti, Pemprov DKI membeli asset milik sendiri. Diduga ada tindak pidana korupsi dalam masalah ini," jelas Muchtar.

Kasus berikutnya, kata dia, adalah lahan Taman BMW di Tanjung Priok. Kasus ini berkepanjangan dan bergulir lama di pengadilan karena adanya gugatan ke pengadilan. Diduga petinggi Pemprov DKI terlibat. "Rendahnya kualitas dan lemahnya pengelolaan dan perlindungan aset ini juga sempt diakui DPRD DKI," ungkapnya.

Tak Jelas

Direktur Eksekutif Jakarta Public Service (JPS), M Syaiful Jihad mengatakan, dari hasil penelusuran JPS hanya usulan dari Dinas Bina Marga yang menyertakan lokasi tanah yakni 20 lokasi, sementara tiga SKPD lain anggarannya gelondongan dan naik fantastis tanpa menyebutkan lokasi tanah yang akan dibebaskan.

Usulan pengadaan tanah yang tidak menyertakan lokasi menandakan perencanaan yang buruk, berpotensi terjadi penyimpangan, dan potensi tidak terserap sehingga menjadi SILPA. Anggaran pengadaan tanah seharusnya menjadi bahan Kemendagri dalam mengevaluasi RAPBD 2018 dan jika dianggap tidak sesuai dibatalkan saja.

"Kita tentunya tidak berharap kasus pembelian tanah seperti RS Sumber Waras senilai Rp755 miliar dan Cengkareng Barat senilai Rp668 miliar terulang kembali," pungkas Syaiful.‎

‎ NJOP Reklamasi

Direktur Centre For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi, mengatakan, pihak Polda Metro Jaya, dalam kasus NJOP reklamasi, jangan hanya memanggil pejabat dan DPRD DKI saja. Namun, pihak-pihak maupun orang-orang yang terindikasi terlibat lainnya juga harus dipanggil.‎

"Jangan lupakan Djarot. Dia juga harus dimintai keterangan. Dugaan koruptif kebijakan tersebut atas persetujuan Djarot sebagai orang nomor satu di Pemprov DKI ketika itu," kata Uchok di Jakarta, Minggu (10/12/2017).

Terlebih, kata Uchok, Djarot sempat mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 137 Tahun 2017, tentang Panduan Rancang Kota Pulau G Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta sebelum lengser dari jabatannya.‎ "Ini bukti. Jadi, jangan hanya panggil pejabat dan DPRD DKI saja," ucap Uchok.

Uchok menerangkan, indikasi Pergub 137 bermasalah antara lain karena dikeluarkan sebelum Perda Tata Ruang Zonasi disahkan. Selain itu, ada juga kaitannya dengan perbedaan hasil pembahasan dan penetapan NJOP dari Rp10 juta menjadi hanya Rp3,1 juta. "Jelas ada indikasi permainan," tandas Uchok.

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD DKI Muhamad Taufik menilai, mekanisme penghitungan KJPP DKI yang digandeng BPRD DKI juga harus diperiksa karena merugikan pemprov. Menurut dia, tidak ada NJOP semakin lama harganya turun. "Ngaco itu menghitungnya. Memang kalau rumah kita lagi disegel terus NJOP-nya turun. Kan tidak," tegas Taufik, beberapa saat lalu.

Penghitungan yang dilakukan KJPP, kata Taufik, jelas ngawur dan polisi harus juga memeriksanya. "Harga normal NJOP di pulau C dan D seharusnya berkisar antara Rp20 - 25 juta per meter," terang Taufik.

Dia menegaskan, penghitungan ngawur tersebut membuat negara merugi terkait pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). "Iya dong BPHTB dibayar Rp400 milliar, akibat NJOP Rp3,1 juta. Seharusnya lebih dari itu," tandas Taufik.‎

Sandiaga

Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno menyatakan akan menyisir satu per satu aset yang dimiliki Pemprov DKI. Penyisiran dilakukan untuk menertibkan aset agar terdokumentasi secara rapi dalam rangka pengejaran target laporan keuangan status wajar tanpa pengecualian (WTP). Salah satunya, menyangkut aset RS Sumber Waras.

Sandi mengaku sudah mendapat mandat dari Gubernur Anies Baswedan untuk memimpin pengerjaan itu. Prioritas yang akan dikerjakan adalah terkait aset-aset besar milik Pemprov DKI. Politikus Gerindra ini menyebut item-item aset besar ini harus segera dibereskan.

"Ada item yang besar seperti tanah di Cengkareng, Sumber Waras, itu perlu diambil keputusan segera. Baik dari segi hukumnya maupun dari segi akuntansinya. Saya sudah mendapat mandat dari Pak Anies untuk memastikan bahwa item-item besar ini tertangani baik. Sehingga temuan ini bisa dikategorikan ditindaklanjuti oleh BPK" kata dia di Jakarta, Minggu (10/12/2017).

Untuk diketahui, pembelian lahan di Cengkareng, Jakarta Barat, sempat menjadi polemik tahun lalu saat Ahok-Djarot memimpin DKI. Pemprov ditengarai membayar aset miliknya sendiri. Aset dengan sertifikat Dinas Kelautan, Pertanian dan Ketahanan Pangan (DKPP) dibeli oleh Dinas Perumahan yang diperuntukkan bagi rumah susun.

Berbagai Kasus

‎ Sementara pPengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis, berharap kasus penyimpangan lahan Rumah Sakit Sumber Waras segera dituntaskan. Ia menegaskan agar KPK berbuat jujur dan berpegang teguh dengan motornya. Selain itu, kerugian negara juga sudah diperiksa oleh BPK dan sudah diberikan kepada KPK.

"Data-data yang ada juga sudah cukup. Sekarang harus sidik sampai tuntas karena kerugian negara banyak ," ucap Margarito di Jakarta, Minggu (10/12/2017).

"Saya meminta kepada penyidik KPK untuk secepatnya menetapkan tersangka dan kasus penyimpangan lahan harus segera dituntaskan," tutupnya. [htc]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA