Ketika Ustadz Abdul Somad Mendakwahi Kaum Quraisy

Ketika Ustadz Abdul Somad Mendakwahi Kaum Quraisy

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Lelaki kurus itu sering dipanggil Ustadz Abdul Somad. Itupun tergantung siapa yang memanggil. Mereka yang tidak suka, ogah menyebut dengan embel-embel “Ustadz.” Sementara mereka yang sebenarnya jengah tapi masih malu-malu, menyebutnya dengan singkatan: UAS. Tapi kata William Shakespare, “Apalah arti sebuah nama.” Apalah arti sebuah panggilan.

Secara tiba-tiba, lelaki yang hari ini menjadi buah bibir rakyat sebuah negara itu mengumpulkan kaumnya. Di sebuah lembah tandus di antara lautan padang pasir, ia menyeru kaumnya untuk hanya beribadah kepada Allah, meninggalkan segala bentuk isme-isme yang diciptakan berdasarkan hawa nafsu, fanatik kebangsaan dan golongan serta tendensi duniawi lainnya.

Menakjubkan!

Semua orang yang hadir menyambut baik seruannya. “Baiklah, kami percaya… kami beriman kepada Allah sebagaimana yang engkau serukan.” Sejak itu, Ustadz Abdul Somad menjadi panutan semua manusia. Ia bebas memimpin shalat di depan Ka’bah tanpa ada yang melemparinya dengan kotoran onta.

Negara, dengan Abu Jahal dan Abu Lahab sebagai pemimpin, hadir mengawal dakwah yang diusungnya. “Siapa berani persekusi Ustadz Abdul Somad, akan berhadapan dengan aparat keamanan,” tegasnya.

Dakwah membuat kehidupan duniawi Ustadz Abdul Somad membaik. Ia disanjung banyak orang, seluruh fasilitas hidup ditanggung oleh negara. Dia tak perlu hijrah ke Thaif—hingga tubuhnya berdarah-darah karena dilempar batu orang sana—atau Habasyah untuk menyelamatkan keyakinannya. Tak perlu repot-repot kirim surat dakwah ke raja-raja sekitar negerinya.

Kalau pun ada gosip yang kurang enak didengar, itu cuma karena wajahnya bukan tampang kota (saya tidak bilang ndeso, lho!). Beberapa emak di pasar ngerumpi—anggap saja waktu itu belum ada sosial media—jangan-jangan ada seribu tipu di balik wajah tidak kotanya itu.

Maklum, mereka sedang galau harga bumbu dan BBM meroket, padahal pemimpin mereka waktu kampanye dulu menjanjikan semua harga murah. Entah kebetulan atau tidak, wajah pemimpin mereka itu mirip Ustadz Abdul Somad: sama-sama bukan tampang kota.

Singkat kata, kehidupan Ustadz Abdul Somad te o pe be ge te, lah!

Tapi Ustadz Abdul Somad dalam cerita di atas hanyalah fiksi. Semua lokasi dan peristiwanya mengadopsi kejadian nyata yang dialami oleh Rasulullah Muhammad SAW—kecuali soal wajah dan emak-emak ngrumpi, tentunya. Masih ingat apa yang dialami oleh Rasulullah SAW saat pertama kali mendakwahkan Islam, bukan?

Kisah fiksi Ustadz Abdul Somad di atas adalah satire untuk menggambarkan bahwa konsekuensi yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW berkebalikan 180 derajat. Itu wajar, karena dakwah Nabi SAW langsung menusuk jantung keyakinan dan nafsu-nafsu yang selama ini mereka bergelimang menikmatinya.

Setiap pengemban risalah yang lurus, akan blak-blakan menyampaikan risalah Tuhan-nya tanpa pertimbangan untung-rugi atau manfaat-mudarat bagi dirinya pribadi. Pun tak peduli ketika risalah Tuhan yang harus ia sampaikan itu bikin penguasa sakit hati, atau mengusik keyakinan sekelompok minoritas—dalam jumlah, tapi mayoritas dalam kekuatan.

Itulah yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW dan siapapun yang meniti keteguhannya dalam berdakwah. Tanpa harus memuji dan menyanjung melebihi apa yang Allah nilai, demikian pula halnya dengan Ustadz Abdush Shomad.

Ketika dakwahnya ditolak di suatu tempat—bahkan sampai dideportasi dari Hongkong, itu bukan karena dakwahnya mengajak kepada kebencian atau mencetak umat yang beringas, sebagaimana dituduhkan akhir-akhir ini. Tetapi sebagai konsekuensi karena Ustadz Abdul Somad tutup mata dan telinga dalam berdakwah. Ia terus bicara apa kata Allah dan Rasul-Nya, tanpa takut celaan orang-orang yang mencela.

Indikasi mudahnya, kalau memang dakwah Ustadz Abdul Somad itu melenceng dari Islam sehingga menebarkan kebencian, membuat umat jadi beringas, tentu ulama lain di negeri ini tidak akan tinggal diam. Mengapa standarnya ulama?

Karena agama Islam itu ada ilmunya, tidak sembarang orang dengan asumsinya bisa menilai benar atau salah. Dan yang memiliki ilmu itu adalah ulama, bukan wartawan media olah-raga apalagi politikus beda agama.

Jadi, santai saja. Apa yang sekarang ini dialami oleh Ustadz Abdul Somad hanyalah rekaman yang terjadi pada para pendahulunya. Kita doakan saja semoga Allah mengabulkan cita-cita orangtuanya ketika memberi nama “Abdul Somad,” seorang hamba dari Dzat yang menjadi tempat bergantung. Karena Islam memandang penting arti sebuah nama, bukan seperti kata Shakespare di atas.

Semoga beliau terus hanya bergantung kepada Allah. Bukan bergantung kepada intimidasi lawan, atau sebaliknya, bergantung kepada jutaan pengikut yang kini menyambut dakwahnya. “Teruslah bergantung kepada Allah, wahai guruku. Dan ajari kami untuk ikut bergantung kepada-Nya dalam segala hal.” [kn]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA