Ketika Tuhan Dilarang Masuk Kamar

Ketika Tuhan Dilarang Masuk Kamar

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Baru-baru ini MK menolak perluasan pasal perzinaan dalam KUHP. Artinya, menurut undang-undang yang berlaku di negara kita, LGBT dan hubungan di luar nikah bukanlah perbuatan kriminal. Sontak, kalangan pendukung LGBT bergembira akan putusan ini. Di antaranya LBH Masyarakat. Menurut mereka, MK telah menolak menjadi lembaga yang mengkriminalkan suatu perbuatan. Begitu juga dengan Koalisi Perempuan yang menilai MK telah memenangkan akal sehat.

Mereka yang mendukung putusa MK berpegang teguh pada prinsip “hukum berhenti di depan pintu kamar”. Hukum tidak boleh masuk ke wilayah pribadi. Lies Marcoes, seorang feminis menyebut, permohonan untuk mengkriminalkan LGBT itu berbahaya karena meminta negara untuk campur tangan dalam kehidupan pribadi warga.

“Dan campur tangan pada urusan pribadi warga itu bukan untuk melindungi, melainkan justru untuk merepresi warga untuk urusan yang tak bersangkut paut dengan orang lain,” kata Lies Marcus. Menurutnya, negara, dalam hal ini pemerintah, juga Mahkamah Konstitusi, harus menunjukkan kewibawaan dengan tidak tunduk pada tekanan konservatisme agama. (Bbc.com, 4/16).

Sekedar Persoalan Kamar?

Jika ditelisik lebih mendalam, “legalnya” LGBT bukanlah sepenuhnya salah MK. Suka tida suka, harus diakui bahwa KUHP Negara kita hanya berlaku dalam ranah publik. KUHP tidak bisa bekerja di dalam kamar. Masalahnya, apakah benar LGBT hanya persoalan kamar?

Homoseksual telah menghiasi sejarah peradaban manusia sejak zaman Nabi Luth as. Kisah kaum Sodom ini pun menghiasi sejarah Romawi dan Yunani. Begitu juga di kerajaan Inggris. Pada tahun 1533 M parlemen Inggris mengeluarkan undang-undang yang dikenal dengan Act 0f 25 Henry VIII yang memberikan hukuman gantung kepada pasangan homoseksual dan pasangan heteroseksual yang melakukan persetubuhan melalui dubur.

Pada awal abad 20 muncul gerakan homoseksual modern. Setelah Perang Dunia ke-2, berbagai gerakan homoseksual bermunculan di berbagai Negara di Barat yang dikenal dengan homophile movement. Mereka menggunakan media ilmiah seperti diskusi-diskusi dalam bidang medis. Di New York dan San Fransisko kala itu muncul bar-bar dan diskotik khusus kaum homo.

Tidak cukup dengan itu, pendukung homoseksual membentuk kelompok yang memiliki cabang di berbagai Negara. Di antaranya adalah Scientific-Humanitarian League atau World League for Sexual Reform yang memiliki keanggotaan internasional. Gerakan-gerakan semacam ini terus bertambah dan meluas. Tak terkecuali hingga Indonesia.

LGBT di Indonesia mulai eksis sejak tahun 1969. Muncullah HIWAD singkatan dari Himpunan Wadam di Jakarta yang didukung Gubernur Ali Sadikin. Pada Maret 1982, berdiri organisasi gay pertama di Asia dan Indonesia bernama Lambada yang berpusat di Solo. Lima tahun kemudian berdiri GaYa  Nusantara di Surabaya dan Pasuruan.

Bukan sekedar mendirikan organisasi, mereka pun aktif menggelar kongres. Pada bulan Desember 1993 diselenggarakan KOngres Lesbian dan Gay Indonesia (KLGI) pertama di Jogjakarta. November 1997 diselenggarakan KLGI ke-2 di Bandung. Pada Maret 2000 diselenggarakan kongres KLGI ke-3 di Bali dan mereka menetapkan 1 Maret sebagai hari solidaritas Lesbian dan Gay Nasional. Pada tahun 2006, lahirlah Jogjakarta Principles yang menjadi dasar bagi perlindungan hak-hak LGBT.

Pertanyaannya, jika LGBT hanya sekedar persoalan kamar, untuk apa mereka medirikan organisasi dan menggelar kongres? Jelas ini bukan sekedar persoalan kamar laiknya hubungan suami-istri normal.

Adalah dusta jika menganggap LGBT adalah murni persoalan privat yang tidak ada sangkut pautnya dengan publik. Faktanya, keberadaan mereka menimbulkan keresahan masyarakat dan berbagai ancaman. Yang tampak nyata di depan mata adalah HIV/AIDS. Pada mulanya penyakit ini bernama Gay-Related Immune Deficiency disingkat GIRD. Sejak awalnya, penyakit ini bersumber dan ditemukan di kalangan homoseksual. Namun sejarah ini ditutup-tutupi.

Data dari Centers for Desease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat pada 2013 menyatakan dari hasil screening gay usia 13 tahun ke atas, didapatkan sebesar 81 persen terinveksi HIV dan 55 persen terdiagnosis AIDS.

Sementara itu di Indonesia, data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) nasional menunjukkan adanya peningkatan penderitaHIV/AIDS dari kalangan homoseksual. Pada tahun 2008 sebanyak 6 persen, lalu menjadi 8 persen pada 2010 dan terus meningkat menjadi 12 persen pada 2014. Sementara jumlah ODHA kelompok wanita pekerja seksual stabil di angka 8-9 persen. Berdasarkan hal ini bisa kita simpulkan, jika jumlah LGBT terus meningkat, risiko penularan HIV/AIDS pun akan meningkat. Tidakkah ini mengganggu publik?

Belum lagi bahaya dari sisi perilaku. Kaum LGBT dikenal sangat posesif bahkan tak segan melakukan tindakan kriminal  jika hasrat mereka tak dipenuhi. Di Jember misalnya, pada September lalu, seorang waria nekat membunuh pasangan sejenisnya karena menolak berhubungan intim. Data lain menunjukkan 50 persen pembunuhan karena kasus LBGT berakhir mutilasi. Dan di Amerika Serikat, 78,9 persen pembunuhan yang terjadi adalah karena kasus LGBT.

Sungguh tidak masuk akal jika kita masih beranggapan LGBT adalah persoalan kamar, privasi dan hak-hak yang harus dilindungi yang tidak ada sangkut pautnya dengan masyarakat!

Tuhan Dilarang Masuk Kamar

Begitu dahsyat kerusakan yang terjadi karena LGBT. Inilah yang terjadi ketika Tuhan dilarang masuk kamar. Tuhan dipenjarakan dalam tempat ibadah. Di luar itu, manusia bebas dan berhak membuat berbagai undang-undang dan aturan kehidupan. Keyakinan ini sejatinya berdiri di atas ideologi sekulerisme. Sekulerisme mengharamkan agama mengatur kehidupan.

Padahal manusia sarat akan kepentingan. Kemampuan akalnya pun berbeda-beda dan sangat terbatas. Sesuatu yang dianggap baik hari ini, bisa dianggap buruk esok. Sesuatu yang dibenci kemarin, diperjuangkan hari ini. Manusia cenderung mengganggap baik apa yang dia sukai dan mengganggap buruk apa yang dia benci. Apa yang dianggap baik oleh sekelompok orang, bisa dianggap sumber malapetaka oleh sekelompok yang lain. Manusia mencintai harta, kekuasaan, kebebasan. Maka wajar, jika manusia diberi hak untuk membuat hukum, yang terjadi adalah keruskan.

Solusi semua ini tak lain adalah menanggalkan sekulerisme dan kembali pada Islam. Islam adalah sebuah agama yang lengkap dan sempurna. Bersumber dari Dzat Yang Maha Tahu yang telah menciptakan manusia, bumi ini dan alam semesta. Dzat Yang Maha Adil, Maha Pemelihara. Islam melarang dengan tegas LGBT dan memberi sanksi teramat berat.

Islam mengatur urusan kamar dengan pernikahan sah antara suami isteri. Orientasi seksual yang dibolehkan hanya antara laki-laki dan wanita. Ketika sudah menikah, urusan kamar memang tidak boleh dipublikasi. Menjadi wilayah privat keduanya. Bandingkan,  ketika LGBT membuat komunitas, go publik menunjukkan eksistensinya dengan kampanye-kampanye dan propagandanya, bukankah itu membawa urusan kamar ke ranah publik? Di beberapa negara mereka meminta legalisasi pernikahan  LBGT melalui UU. Bukankah itu berarti UU buatan manusia mengatur urusan kamar? Lantas jika manusia beriman, mengapa Tuhan ditiadakan dari urusan kamar?



Penulis: Faiqotul Himmah (Admin Info Muslimah Jember dan anggota Komunitas Belajar Nulis Revowriter).[kn]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA