Berpose 2 Jari, 6 Guru Dipecat Sekarang Diperiksa Bawaslu Banten

Berpose 2 Jari, 6 Guru Dipecat Sekarang Diperiksa Bawaslu Banten

Gelora Media
facebook twitter whatsapp


GELORA.CO - Enam guru honorer yang berpose dua jari sambil memegang stiker Prabowo-Sandi, dipecat Pemprov Banten. Namun, para guru honorerini berkilah, aksi pose dua jari mereka bukan hal yang disengaja.

Enam guru itu mengaku mendapatkan stiker Prabowo-Sandi dari seseorang. Karena ingin mencoba ponsel baru, mereka mengambil foto sambil berpose dua jari dan memegang stiker.

Enam guru honorer ini telah mengajar 2-10 tahun di SMA 9 Kronjo. Ada guru matema­tika dan olahraga. Sedangkan untuk mengisi kekosongan, pihak Dinas Pendidikan melalui kantor cabang di Tangerang akan mencari guru pengganti.

Tidak cukup sampai pemecatan, enam guru itu pun harus berurusan dengan Badan Penga­was Pemilu Provinsi Banten.

Foto enam guru ini, menyebar di media sosial dan grup percakapan WhatsApp. Keenamnya menggunakan pakaian seragam, berpose salam dua jari dan memegang stiker. Bawaslu Banten kemudian mencari kebenaran mengenai foto tersebut.


Bagaimana penjelasan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Banten dan tanggapan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo- Sandi? Berikut penjelasan selengkapnya.

Yandri Susanto: Berlebihan, Foto 2 Jari Belum Tentu Kampanye

Tanggapan BPN mengenai pe­mecatan enam guru honorer yang berpose dua jari?



Pemecatan itu tindakan yang terlalu berlebihan. Guru honorer kan juga punya hak untuk menentukan sikap­nya lantaran bukan PNS. Mereka belum PNS dan boleh menunjukkan sikapnya. Kalau mau jujur, selama kontestasi politik ini, kepala daerah banyak yang terang-terangan me­nyatakan dukungannya, kenapa tidak ditindak. Kenapa yang berpose dua jari langsung dipecat. Menurut saya, ini tragedi dunia politik kita yang berat sebelah. 

Sebaiknya bagaimana? 


Harapan saya, kepada pihak yang memecat, supaya para guru itu dikembalikan ke posisi awal. Karena, mas­ing-masing warga negara memiliki cara sendiri untuk mengekspresikan pilihannya. Saya kira tidak ada masalah dengan hal ini.

Tapi melakukannya di lembaga pendidikan. Bagaimana itu?

Mereka bukan kampanye, melaink­an pose biasa. Mereka bukan berpi­dato dan mengajak orang lain. Mereka hanya berpose bersama. Sanksi sampai pemecatan itu terlalu berlebihan.

Banyak juga kepala daerah yang jelas-jelas mendukung dan mengun­tungkan salah satu calon. Jadi maksud saya, tinggal beberapa hari lagi kita menuju kontestasi politik, di mana rakyat akan menentukan hak pilihnya. Maka, kami meminta kepada seluruh penyelanggara pemilu, entah itu KPU, Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Kepolisian, Kejaksaan, dan semuanya yang terli­bat langsung maupun tidak langsung dalam Pemilu ini, berlaku adillah.

Anda mau bilang, ada ketidaka­dilan? 

Saya tidak bisa menyampaikan itu. Biarkan rakyat yang menilai, bagaimana tindakan ataupun kepu­tusan yang dibuat para pemangku kepetingan, sudah berlaku adil atau tidak.

Kalau pemecatan itu berlebihan, apa sanksi yang pantas untuk enam guru honorer itu? 

Tidak usah pemecatan, cukup dipanggil dan dinasihati jika me­mang ada kekeliruan. Politis kalau langsung memecat. Kasihan, enam guru itu punya keluarga dan masa depan. Apalagi, mereka sudah punya bakti kepada negara ini. Pemecatan itu terlalu berlebihan. Mungkin saya akan mencoba bertemu dengan enam guru yang dipecat tersebut.

Semacam ini persoalan sepele? 

Sepele karena orang biasa berfoto dua jari. Atau, foto bersama salam dua jari. Nah, bagaimana pejabat yang berpose satu jari dalam acara Word Bank di Bali beberapa bulan lalu. Apalagi, acara itu menggunakan APBN. Kenapa yang seperti itu tidak diproses dan tidak ada sanksinya.

Bantuan apa yang bakal BPN, atau Anda berikan kepada enam guru itu? 

Pertama, saya mau tabayyun ke­pada enam guru yang dipecat ini. Kemudian, kami akan berusaha minimal menenangkan pikirannya dan situasi psikisnya. Lalu, kami akan berusaha mencari solusi terbaik, mengingat dia dipecat. Mungkin kami carikan tempat mengajar yang lain.

Apa yang harus dilakukan pen­dukung paslon 02 agar terhindar dari sanksi? 

Masyarakat tidak perlu merasa tertekan. Anggap saja ini semua tantangan yang biasa-biasa saja, tidak perlu gentar, takut dan terin­timidasi. Pendukung Prabowo-Sandi di manapun berada, silakan menun­jukkan ekspresi dukungan kepada Prabowo-Sandi.

Namun, tetap ada po­tensi kena sanksi...

Tetap hati-hati, jan­gan kampanye di tempat ibadah dan pendidikan. Soalnya, kampanye itu ada un­surnya. Kalau sekadar berfoto pose dua jari, bukan kampanye itu. Misalkan saya foto salam dua jari di masjid, ya boleh dong. Toh saya tidak menggunakan atribut kampanye, tidak mengajak orang memilih, dan tidak berorasi.

Atau saya foto di sekolah saya dengan pose dua jari, boleh dan tidak dilarang. Sedangkan yang dilarang itu, berkampanye di titik-titik yang saya sebutkan tadi.

Enam guru itu sudah dipecat dan akan diproses di Bawaslu Banten. Tanggapan BPN? 


Saya akan ketemu mereka dulu dan insya Allah akan melakukan pen­dampingan. Sekali lagi, persoalan ini jangan ditarik ke mana-mana. Sebab, sikap mereka adalah bagian dari hak warga negara kita. 

Harapan Anda kepada Bawaslu dalam memproses kejadian ini? 


Bawaslu lakukan secara profesional saja. Saya yakin, Bawaslu paham apa yang dimaksud dengan kampanye dan tidak kampanye. Lalu, yang mana dilarang dan dibolehkan. Saya yakin Bawaslu sudah paham, karena Bawaslu rekan kerja saya di Komisi II DPR.

Komarudin: Mereka Digaji APBD Banten, Kami DirugikanApa dasarnya sehingga mereka sampai dipecat? Pertama, aturan Pemilu itu kan dilarang melakukan politik praktis di lembaga pendidikan (sekolah). Nah, ini kan terjadinya di sekolah.

Kedua, Pak Gubernur Banten su­dah memberikan imbauan kepada seluruh yang bekerja di Pemprov Banten, baik aparatur sipil negara (ASN) maupun non-ASN untuk tidak melakukan hal yang dilarang.

Apa yang dilarang? 


Nah, yang dilarang itu, termasuk apa yang dilakukan enam guru hon­orer tersebut. Berpose dan lain sebagainya yang mengarah ketidaknetralan aparatur pem­prov Banten. Karena yang bersangkutan adalah non- ASN, maka pilihan sanksinya hanya berhenti. 

Tapi, mereka mengaku hanya mencoba handphone baru... 


Makanya, kami klarifikasi kepada yang bersangkutan dan pimpinannya langsung. Kalau soal pro dan kontra terhadap pemecatan, itu sudah kami perhitungkan dan pasti ada. Ditambah lagi ini menjelang Pemilu. Bahkan, kejadian ini mengusung salah satu calon tertentu yang mengundang pro dan kontra. Akan tetapi, kami tidak melihat pro dan kontra karena itu sudah masuk ke ranah politik. Kami melihatnya dari sisi Undang-Undang Kepegawaian. Ketika ada yang me­langgar, ya sudah kami melakukan tindakan hukuman disiplin.

Mereka bukan ASN. Bagaimana itu?

Ya, tapi mereka menggunakan atribut Pemprov Banten. Mereka digaji lewat APBD Pemprov Banten. Artinya, kami merasa dirugikan karena nantinya ada persepsi dari publik, Pemprov Banten tidak netral. Maka, Pemprov Banten harus menjaga persepsi agar kami tetap dinilai netral. Justru karena mereka bukan ASN, maka sanksi pilihannya hanya berhenti atau bekerja terus.

Mereka diberhentikan Kepala Dinas Pendidikan lantaran itu we­wenang beliau. Sebab, yang men­gangkat itu Dinas Pendidikan.

Jadi hanya dua pilihan itu? 

Karena non-ASN, ya hanya dua pilihan itu, peringatan dan pember­hentian. Sedangkan peringatan su­dah dilakukan melalui Surat Edaran Gubernur dan seterusnya.

Kejadian ini baru pertama kali di Banten?

Ya, kebetulan ini baru pertama kali di Pemprov Banten.

Tidak ada tolerir terhadap hal-hal semacam ini? 


Ya, karena persepsi ketika mereka menggunakan atribut pegawai Pemprov Banten, lalu mereka di­gaji dari APBD. Kemudian, kesalahan yang fatal itu mereka melakukan di sekolah. Sebab, lembaga pendidikan itu harus steril dari kegiatan politik praktis. Makanya, atas dasar itu pili­hannya harus diberhentikan. 

Pemecatan ini dinilai ada unsur politis. Tanggapan Anda?


Karena ini menjelang Pilpres dan Pileg, maka semua tindakan yang berkaitan dengan keduanya, tentu ada unsur politik. Mau tidak dipecat atau dipecat, itu pasti ada pro dan kontra. Tapi, Pemprov Banten tidak melihat soal politiknya, melainkan melihat bagaimana menegakkan aturan dikaitan dengan kepegawaian.Jadi, ketika tinda­kan pegawai mengarah ketidaknetralan, tentu kami harus lakukan tindakan. Justru kami menjaga marwah Pemilu.

Bukan atas rekomendasi pihak tertentu? 

Total menegakkan aturan. Jadi, melihat sebuah penegakan aturan itu jangan hanya dilihat kepada enam orang ini. Namun, lihat juga ini adalah bagian pembelajaran untuk pegawai yang lain. Artinya, kami memberi pembelajaran yang lain. Jadi, jan­gan sekali-kali melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan pera­turan perundang-undangan.

Nasib mereka bagaimana, mengingat mereka sudah mengajar 9-10 tahun? 

Ya, tentu kalau secara pribadi, selaku Kepala BKD, saya berempati kepada mereka. Tapi soal ini kan tidak hanya pribadi, melainkan bagaimana eksis­tensi dikaitkan dengan persepsi publik terhadap Pemprov Banten. Selain itu, dikaitkan dengan Pemilu yang harus di­jaga netralitas ASN-nya. Bisa saja suatu saat jika mereka melamar lagi, kami akan pertimbangkan. Mungkin kalau sesuatunya nanti sudah kondusif.

Kenapa tidak diserahkan saja ke Bawaslu tanpa ada pemecatan? 

Karena ini ada dua undang-undang yang berbeda. Satu, mereka diduga melanggar Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu. Di mana salah satu larangan kampanye dan berpoli­tik praktis di sekolah. Kedua, dikait­kan dengan kepegawaian, dalam hal ini adalah kontrak kerja antara mereka dan Dinas Pendidikan.

BPN Prabowo-Sandi menilai, sanksinya terlalu berat karena sampai pada pemecatan... 

Saya tidak mau menanggapi itu. Sebab, kalau saya menanggapi itu, dari pihak pemenangan satunya lagi akan protes juga. [rmol]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA