Ali Mocthar Ngabalin, Megawati dan Tuhan: Tinjauan Atas Agama dan Kekuasaan

Ali Mocthar Ngabalin, Megawati dan Tuhan: Tinjauan Atas Agama dan Kekuasaan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh Abdul Rozak Mustakim (Pengamat Sosial)

"Jokowi adalah wakil Tuhan di muka bumi", demikian kata Ali Mocthar Ngabalin (AMN) yang viral belakangan ini.

AMN bukan sembarang dalam ilmu agama. Keahliannya dalam kajian Islam sangat dalam, sebab dia adalah alumni universitas Islam tertua di dunia, Al Azhar, Mesir.

Pemberian gelar terhadap Jokowi "Wakil Allah di muka bumi" tentu menimbulkan kontrovesi. Sebab, gelar ini, jika dikaitkan dengan kepemimpinan politik kekuasaan, tidak banyak orang yang mampu menerima beban gelar tersebut.

Soekarno, pemimpin besar revolusi Indonesia, misalnya, hanya bergelar "Amirul Mukmin", sebuah gelar yang mengaitkan kepemimpinannya dengan orang orang mukmin, alias orang orang beriman, alias masih manusia juga. Suharto, meskipun dalam 10 tahun terakhir kekuasaannya berusaha merangkul ummat Islam, tidak berani menyandang gelar terkait keislaman. Suharto hanya senang dengan gelar "Bapak Pembangunan". Barulah Gus Dur berani dipanggil Wali Allah. Itupun karena Gus Dur dipercaya sebagai pemimpin yang mengetahui agama dengan benar, serta mempunyai silsilah keturunan ulama besar di Indonesia.

Wali Allah ataupun "Kalifatullah fi al-ardh" merujuk pada Quran surah AlBaqarah-30 dan Surah Shad (Qs 38:26) haruslah seperti Nabi dengan kemampuan memutuskan perkara dengan kebenaran (truth) dan keadilan (justice).

Penilaian AMN ini tentu saja mengandung dua hal penting, 1) AMN menunjukkan bahwa klaim Megawati bahwa Jokowi hanyalah petugasnya atau petugas partai PDIP terlalu merendahkan. 2) Jokowi bukanlah sosok sekuler yang menihilkan kebenaran hari akhir (akhirat) seperti Megawati.

Sebagai Wali Allah, Jokowi, menurut AMN bukan lagi mewakili partai atau bahkan manusia, melainkan mewakili Tuhan. Mewakili partai terbatas pada kepentingan partai dan atau Megawati, baik visi maupun kepentingannya. Mewakili Tuhan tentu mewakili kebenaran dan keadilan, "beyond human interest".

Di sini artinya Jokowi lebih mulia dari Megawati, yang mendukungnya menjadi Walikota, Gubernur dan Presiden.  Sebagai Wakil Allah, Jokowi tentu percaya akhirat dan surga. Karena konsepsi agama, khususnya Samawi (Islam, dan juga Kristen serta Jahudi) percaya bahwa hidup setelah di dunia ini pasti ada. Sebaliknya, Megawati dalam pidato resminya di HUT PDIP ke - 44, d hadapan petinggi partai, menyatakan bahwa hari akhir  belum pasti ada. (Dalam pidatonya Mega mengatakan bahwa hari akhirat itu hanya klaim sepihak para ulama/self fulfilling propechy yang notabene belum pernah ke dunia akhirat itu). Sekali lagi, jika merujuk Megawati - dimana menurut katagori dia AMN juga adalah peramal akhirat- Jokowi tidak mungkin jadi Wali Allah.

Jokowi dan 2019

Sejauh ini Jokowi dipastikan akan menjadi Capres 2019. Diantara pendukungnya adalah Megawati dengan partainya PDIP dan Ali Mocthar Ngabalin dengan partainya Golkar. 

Membandingkan Mega vs AMN tentu berlebihan. Bisa juga " misleading" jika kehilangan konteks.

Dalam konteks kekuasaan dan Tuhan, AMN bukanlah sembarang orang, apalagi dalam waktu seperti ini. AMN pernah menjadi "penasihat spritual" SBY ketika mengalahkan Megawati pada 2004, dan juga menjadi advokat utama tim Prabowo-Hatta pada 2014. Hampir empat tahun ini pula AMN tampak dekat dengan LBP (Luhut Panjaitan), atau bahkan sebagai panutannya di Golkar.

Kehadiran AMN secara langsung di media sebagai "orang Jokowi", menunjukkan adanya potensi pergeseran politik Jokowi dalam melihat Islam sebagai pandangan hidup. Atau bisa saja sekedar melihat Islam dan umat Islam sebagai sasaran politik meraup suara untuk sekedar menang pemilu.

Apapun yang dipilih Jokowi, tetap saja mengandung resiko sebuah benturan. Memilih Islam berarti resiko kehilangan suara kaum sekuler.

 Mungkin kaum ini tidak berpindah ke Prabowo, misalnya, tapi bisa jadi abstain. Sehingga memperburuk dukungan yang sudah ada. Sebaliknya, jika persepsi umat Islam bahwa ini sekedar langkah taktis mendekati mereka untuk pilpres, maka dukungan umat akhirnya tidak terjadi.

Kesulitan ini akan terlihat dari agenda Jokowi terhadap berbagai isu, seperti sikap Jokowi terhadap kasus Imam Besar Habib Rizieq, kasus-kasus terorisme, persepsi ulama atas politik "belah bambu" Kementerian Agama, dlsb.

Dalam isu terorisme, misalnya, kaum sekuler pendukung Jokowi cenderung memanfaatkan isu ini untuk menekan atau menjelek2an (discourage) kaum Islam, sebaliknya Jokowi bagi umat Islam diharapkan melihat terorisme bukan masalah agama, melainkan kejahatan kemanusian.

Jika itu sebuah kejahatan kemanusian, maka respon Jokowi terhadap kasus terorisme tidak bisa bersikaf reaksioner. Jokowi harus pula memihak secara jelas pada tuduhan "Islam sebagai agama kekerasan" vs "Islam sebagai agama kasih sayang".

Lebih khusus lagi, umpamanya lagi, Jokowi harus memilih pandangan Muhammadiyah atas "kasus Siyono" vs Densus 88. Di mana dalam kasus itu Muhammadiyah, yang didukung Komnas HAM dan Kontras, mengklaim bahwa kematian Siyono terduga teroris Klaten, mengandung pelanggaran HAM, sedang klaim Densus 88 sebaliknya.

Dalam kasus lain, sebagaimana terjadi perundingan Jokowi dengan 11 orang yang mewakili ulama, baru baru ini di Istana Bogor, terkait peningkatan hubungan baik umat Islam dengan rezim Jokowi, belum ada kelanjutan positif terkait sikap Jokowi terhadap kasus Imam Besar Habib Rizieq (HRS). Jokowi malah terkesan membiarkan pertemuan rahasia itu terbuka ke publik. 

Sebuah perkara HRS yang tidak dilanjutkan di Polda Jabar, terkait tuduhan Sukmawati, dipercaya publik hanya sebatas "barter politik" atas pelecehan Islam yang dilakukan Sukmawati baru baru ini. Jadi bukan langkah murni Jokowi.

Seperti apakah sikap Jokowi terhadap Islam dan umatnya pada pilpres 2019? Disinilah terjadi perang pengaruh antara Ali Ngabalin vs Megawati.

Penutup

Krisis ekonomi yang melanda negara "emerging markets" seperti "the fragile five" versi Morgan Stanley, di dalamnya Indonesia, membuat klaim-klaim keberhasilan ekonomi akan menjadi sulit ke depan. Politik identitas tentu menjadi pilihan baik sebagai alternatif untuk dimasukin sebagai variabel yang harus dimainkan dalam pilpres ke depan. Untuk politik identitas ini, AMN dengan sorbannya yang berat, akan menjadi andalan Jokowi ke depannya. 

Ali adalah orang yang kapabel mengaitkan antara agama, Tuhan dan kekuasaan. Ali bahkan akan mampu menyetir ayat ayat yang melegitimasi Jokowi adalah wakil Allah.

Namun, mengharapkan rakyat berubah dalam waktu yang singkat (serta akan adanya benturan pandangan hidup dikubu Jokowi nantinya) akan merupakan tentangan berat. Rakyat setidaknya sampai saat ini, masih melihat Jokowi bukan pemimpin Islam, apalagi wali Allah. [tsc]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA