Prabowo, Soekarnois-Militeris Berasa Vladimir Putin

Prabowo, Soekarnois-Militeris Berasa Vladimir Putin

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Putin - Prabowo

Oleh: Derek Manangka*

ANDI Ralie Siregar, salah seorang kader Gerindra, mengkritisi saya, sebagai Jurnalis yang tidak pernah menulis tentang Prabowo Subianto, pendiri sekaligus Ketum Partai Gerindra.

Merasa 'diserang' dan yakin Andi Ralie masih akan menyusul pertanyaan kritis lainnya, saya ajak bekas Presiden Direktur RCTI ini, untuk bertatap muka.

Pertanyaan Ralie Siregar yang kritis itu, bagus. Dan karena persahabatan kami sudah terjalin sejak 1988 atau 30 tahun lalu, saya percaya dia menginginkan jawaban yang jujur dari sahabat lama.

Untuk itu antara lain saya tegaskan, saya tidak merasa punya masalah dengan Prabowo.

Namun menulis tentang Prabowo sebaiknya diawali oleh diskusi langsung dan terbuka dengannya. Dan akses ke Prabowo seperti itu, tak mudah saya didapatkan.

Di tahun 2010, kami, Prabowo dan saya, pernah bertemu empat mata di salah satu lounge Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan. Yang mengatur pertemuan Permadi SH, anggota DPR-RI dari Fraksi PDIP, yang saat itu belum lama "menyeberang" ke Gerindra.

Kami bahas tentang perlunya Gerindra memiliki media, televisi khususnya.

Tapi setelah kabar keberadaan Permadi di Gerindra, tak terdengar lagi, saya pun tak pernah mengontak Prabowo lagi.

Nomor khusus yang diberikannya satu windu lalu, hanya saya simpan.

Di era pemerintahan SBY itu, Prabowo sangat berkeinginan memiliki stasiun televisi. Nampaknya ia ingin seperti Aburizal Bakrie (TVOne) dan Surya Paloh (MetroTV). Politisi yang punya media untuk digunakan sebagai corong.

Sempat beredar rumor yang menyebutkan, Prabowo pernah menawar, mau membeli sebuah media televisi yang sudah eksis.

Tapi ada yang mengatakan, televisi itu memang mau dijual, hanya saja dengan catatan, pembelinya harus bukan Prabowo!

Di era SBY itu, Prabowo kesulitan untuk mendapatkan izin memiliki stasiun TV.

Dan yang agak janggal, ketika frekwensi televisi dikatakan sudah tak ada, beberapa pemodal - ternyata di atas tahun 2010, masih bisa membeli frekwensi.

Sebagai seorang bekas top Eksekutif televisi swasta pertama di Indonesia, Ralie yang sebelumnya berkarir di Citibank, paham penjelasan saya. Bahwa sebagai Jurnalis produk Orde Baru, saya menempatkan Prabowo sebagai politisi yang punya kharisma tersendiri.

Andi Ralie juga sepertinya paham, di Pilpres 2014, saya tidak memilih Prabowo, dengan alasan pragmatis.

Yang belum sempat saya jelaskan, pandangan tentang cara Prabowo menjual gagasannya.

Secara konseptual, gagasan-gagasannya untuk Indonesia - agar menjadi sebuah negara yang kuat dan disegani bangsa-bangsa di dunia, top atau "second to none".

Keinginannya menjadi Presiden RI, didukung oleh konsep.

Cara Prabowo menyampaikan gagasan itu, tak ada yang bisa mengalahkannya. Orasinya di atas panggung mengingatkan cara Soekarno, Proklamator RI, menyakinkan rakyatnya.

Hanya saja gagasannya itu menjadi kurang mendapat respons positif. Dan faktor inilah yang menjadi penyebab Prabowo gagal di Konvensi Partai Golkar (2004), Pilpres 2009 sebagai Cawapresnya Megawati dan Pilpres 2014, bersama Cawapresnya Hatta Rajasa.

Sebab caranya, tidak seperti seorang pakar marketing. Yang ketika "menjual" selalu berbicara dengan wajah penuh senyum dan bersahabat.

Cara Prabowo, selalu dengan mimik yang bisa membuat orang takut atau ketakutan.

Prabowo sudah menjadi sipil, karena faktanya sudah pensiun.

Namun penampilannya masih seperti seorang komandan menghadapi anak buah. Anak buah harus nurut saja.

Prabowo ingin merangkul rakyat. Tapi rakyat yang hendak dia rangkul, mendua.

Rakyat mendua karena Prabowo belum bisa keluar dari "suasana militer".

Dia juga belum berdamai dengan semua jenderal yang pernah bersama dalam satu korps dengannya. Sementara para jenderal itu, rata-rata sudah menjadi sipil. Mereka lebih sipil dari yang sudah lebih dulu menjadi sipil.

Setiap pemilu dicurigai sangat sarat dengan praktek politik uang ataupun yan disebut transaskional.

Budaya ini yang sebetulnya yang harus dihapus. Reformasi, seharusnya tak ada politik uang.

Nah ketika Prabowo memasang iklan Partai Gerindra, membuat baliho-baliho yang dua-duanya menghabiskan dana cukup banyak, kesan yang muncul, Prabowo sedang memamerkan kekuatan uangnya.

Rakyat tertentu, tentu tak suka dengan pameran hedonis seperti itu.

Kontras dan perbedaannya akan semakin nyata, manakala cara Prabowo dalam upaya meraih simpati rakyat, dibandingkan dengan cara SBY.

Cara Prabowo yang masih seperti seorang militer aktif itu akhirnya menimbulkan rasa takut, paling tidak bimbang dan meragu.

Rakyat yang traumatis atas pemerintahan militer selama 32 tahun, dan Prabowo menjadi bagian dari otoritas itu, otomatis berpikir dua kali. Bahwa militeristik, aroma yang disebarkan oleh Prabowo, boleh jadi bisa kembali, bila Prabowo menjadi Presiden.

Dan hal itu tentu saja cukup berbahaya bagi kehidupan demokrasi.

Rakyat sipil yang sadar tentang kekuatan demokrasi, tidak berempati kepada sisa-sisa militer yang coba dipresentasikan oleh Prabowo.

Responnya menjadi kontra-produktif. Prabowo dirugikan.

Selain tidak berempati, keinginan untuk "melawan" gaya militer, justru muncul.

Apalagi masih banyak yang percaya bahwa seorang Jenderal Besar kaliber Soeharto - yang memiliki jaringan militer begitu luas dan kuat, tokh bisa dijatuhkan oleh kekuatan rakyat sipil.

Jadi bekas militer kembali memimpin Indonesia, sudah bukan zamannya.

Di mimbar atau dimana saja Prabowo tampil, kesan militernya, tak pernah hilang.

Orang takut kalau Prabowo menjadi Presiden. Takut kalau sikapnya di atas mimbar sama dengan di lapangan nanti.

Menghadapi wartawan, Prabowo juga seperti tak punya strategi. Padahal dengan semakin banyaknya media dan reporter, semestinya Prabowo lebih bersahabat dengan media.

Prabowo mungkin punya Tim Media yang paham tentang anatomi wartawan serta media yang mereka wakili. Tapi menjadi tanda tanya besar, apakah tim itu berfungsi atau memang tidak eksis.

Pernah saya menonton beberapa video di Youtube.

Rata-rata isinya merugikan Prabowo.

Yang paling mengesankan video sewaktu Prabowo menggelar konperensi pers, menghadapi Pilpres 2014.

Disitu, Prabowo secara terbuka mengeritik Sofyan Wanandi, salah seorang pemegang saham harian "The Jakarta Post".
Bagi Prabowo, pemberitaan harian berbahasa Inggeris itu, lebih banyak merugikan dirinya.

Boleh jadi Prabowo benar.

Sayangnya, Prabowo merasa punya masalah dengan Sofyan Wanandi, tetapi yang dijadikannya sasaran "kemarahan" adalah reporter harian tersebut.

Reporter atau "orang kecil" ini mungkin bahkan tidak mengenal siapa Sofyan Wanandi. Tapi sudah dijadikan oleh Prabowo "satu paket" dengan pengusaha dan mantan aktifis 1966.

Prabowo menolak menjawab pertanyaan reporter "The Jakarta Post" dan penolakan itu dilakukannya secara terbuka.

Prabowo mungkin tidak sadari, caranya, sudah mempermalukan sang reporter.

Rekaman itu hingga sekarang, masih bisa diakses. Bahkan ada kesan, musuh politik Prabowo, memanfaatkan rekaman itu untuk mendestruksi citranya.

Kalau peta penglihatan saya tentang Prabowo benar, mestinya, persoalannya dengan Sofyan Wanandi, dapat diselesaikannya secara mulus.

Lakukan pertemuan dengan Sofyan Wanandi dan jajaran Redakasi "The Jakarta Post"

Lagi pula Sofyan yang merupakan salah seorang di balik eksistensinya CSIS, think tank-nya Orde Baru.

Sofyan mungkin bisa "dijinakkannya" lewat Soedrajad Djiwandono, saudara iparnya Prabowo sendiri.

Sebelum menjadi Gubernur BI, sebagai ekonom dan pemikir, Soedrajad pernah menjabat Menteri Muda Perdagangan di zaman Orde Baru.

Soedrajad masuk ke radar Orde Baru, karena eksistensinya di CSIS, lembaga yang didirikan oleh Sofyan Wanandi cs bersama Ali Murtopo (alm).

Saya dengar, Soedrajad yang pernah mengajar di Universitas Singapura.

Saat terjadi konflik "Bowo-Sofyan" tersebut, Soedrajad sudah di Jakarta dan menjadi salah seorang pengurus Gerindra.

Sikap Prabowo terhadap wartawan seperti reporter "The Jakarta Post" itu, diam-diam menjadi pergunjingan di kalangan wartawan.

Bahkan pergunjingan bertambah, sebab sebelum atau sesudah kejadian di atas, Prabowo secara berkelakar menyebut profesi itu sebagai "wartawan miskin".

Sekalipun berkelakar, tetapi stigma bahwa Prabowo tokoh yang menganggap remeh wartawan dengan menjuluki pekerja pers sebagai "wartawan miskin", terlanjur melekat.

Prabowo telah membuat jarak dengan wartawan. Prabowo mempertontokan kekuatannya sebagai orang kaya, kepada "wartawan miskin".

Prabowo tidak paham. Wartawan itu, sejatinya memang bukan orang kaya. Dan seseorang menjadi wartawan - tidak semata-mata atau selalu bertujuan untuk menjadi orang kaya.

Jadi menjadi wartawan tanpa harus menjadi orang kaya, bukanlah sebuah sebuah kegagalan hidup apalagi aib.

Ada yang tidak terlihat yang tidak bisa dibeli dari seorang wartawan yang komited. Yaitu integritas dan harga diri.

Perspektif ini termasuk yang tidak dipahami Prabowo.

Sehingga sekalipun Prabowo tujuannya hanya berkelakar, tetapi telah menimbulkan ketersinggungan profesional.

Dua peristiwa dalam soal media atau wartawan ini saja sudah cukup dijadikan "mesiu" oleh lawan-lawan politik Prabowo.

Pekan ini, seusai mendapat mandat dari Partai Gerindra, Prabowo dikatakan berhak mencalonkan diri sebagai Presiden di Pilpres 2019.

Media-media pun memberitakannya diwarnai oleh beredarnya foto Prabowo yang bertelanjang separuh badan.

Ada yang memujinya tapi ada juga yang mengejeknya.

Kalau saya lain.

Saya teringat akan Presiden Rusia Vladimir Putin.Tokoh yang saat ini paling diperhitungkan oleh Amerika Serikat.

Putin juga pernah difoto dengan pose separuh badan, tanpa baju.

Bedanya, postur Putin lebih atletis, sementara Prabowo kegemukan.

Putin dikenal sebagai mantan agen rahasis KGB, di zaman Rusia masih bagian dari Uni Soyet. Agen rahasia, memiliki kwalifikasi seperti korps militer dari Pasukan Khusus.

Prabowo pernah menjadi Danjen Kopassus, tapi tidak pernah sebagai anggota intelejens sekaliber KGB.

Hal mana membawa imajinasi saya dan bertanya: apakah Prabowo sedang memperlihatkan persamaanyna dengan Presiden Rusia Vladimir Putin?

Atau Putin yang menduda, sama dengan Prabowo.

Dalam beberapa hal Putin dan Prabowo punya kesamaan. Di antaranya hobi menunggang kuda.

Bedanya, Putin ketika menunggang kuda, yang diperlihatkannya soal kepiawaiannya menaklukkan seorang "kuda liar".

Putin pernah diberitakan berenang di danau terbesar di dunia - Kaspia. Saking besarnya, danau ini juga ada yang menyebut sebagai sebuah laut berukuran kecil.

Danau Kaspia dikenal dihuni oleh banyak ikan hiu buas.

Nah, Putin berenang di Kaspia, dengan tujuan ingin melawan hiu buas pemangsa manusia.

Putin juga diwartakan pernah berendam selama satu jam di dalam air yang suhunya di bawah nol derajat.

Kedua sikap Putin tersebut dipersepsikan sebagai bukti bahwa Putin seorang yang sangat percaya diri, tak takut kehilangan nyawa. Pemimpin yang berani mengambil resiko.

Fadli Zon, politisi Gerindra kepercayaan Prabowo pernah berujar bahwa Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang seperti Putin.

Ketika banyak yang tidak paham atau pura-pura tidak paham atas pernyataan politik itu, Fadli memberi tambahan perspektif.

Bahwa yang dimaksudkannya dengan PUTIN adalah (P)rabowo (U)n(t)uk (In)donesia!

Negara ini butuh Putin.

Boleh jadi, Fadli benar.

Prabowo pun disamakannya dengan Putin, karena beberapa fakta. Bukan fiktif atau fiksi.

Fakta  lainnya, selama ini, Prabowo telah tampil dengan cara berpakaian ala Soekarno. Tapi penampilan itu, tak membuatnya terpilih sebagai Presiden di Pilpres 2014.

Simbolisasi Prabowo melalui cara berpakaian itu merupakan fakta bagi perlawanan Prabowo terhadap Amerika, bukan fiksi.

Karena konon Amerika juga tidak menyukai Prabowo untuk menjadi Presiden RI.

Nyatanya "simbolisasi" Soekarno itu, tak mempan.

Sehingga inilah mungkin yang menjadi alasan Prabowo mengikuti gaya Putin.

Sebab Putin juga merupakan sosok yang dimusuhi oleh Amerika.

Semua ulasan di atas, harus saya kembalikan pada cerita awal. Untuk menjawab pertanyaan kader Gerindra, Andi Rallie Siregar, sobat lamaku.

Mengapa baru kali ini menulis tentang Prabowo. [rmol]

*Penulis adalah wartawan senior
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita