Pengamat: Aneh! Prabowo Nyapres Kok Pendukung Jokowi yang Girang?

Pengamat: Aneh! Prabowo Nyapres Kok Pendukung Jokowi yang Girang?

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Partai Gerindra telah memutuskan untuk mengusung Prabowo Subianto sebagai Capres di Pilpres 2019 mendatang.

Anehnya, hal ini justru disambut gegap gempita oleh pendukung, relawan dan partai-partai pendukung petahana Jokowi.

Mereka seolah bersorak sorai bergembira mengetahui lawan Jokowi adalah Prabowo pada kontestasi pemilihan Presiden lima tahunan.

Praktis, fenomena ini dinilai aneh dan menggelitik nalar politik awam.

“Pertanyaannya sederhana siapa yang senang ketika Prabowo menerima mandat dari kader Gerindra sebagai Capres?. Kita lihat saja siapa yang riang gembira dan bertepuk tangan. Ternyata yang senang adalah ‘geng’ Jokowi bukan koalisinya Prabowo,” kata Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago dalam rilisnya, Minggua(15/4/2018).

Pangi menilai, ada kesan dari poros Jokowi bahwa Pilpres kali ini akan dimenangkan secara mudah, setelah Ketum Gerindra itu memutuskan berlaga kembali. Mereka pede skenario ‘geng’ Jokowi akan kembali mempercundangi poros Prabowo.

“Jadi agenda setting geng Jokowi ini kelihatan sekali. Bagaimana caranya agar terulang kembali head to head Jokowi dengan Prabowo. Karena faktanya Jokowi sudah pernah mengalahkan Prabowo di Pilpres 2014. Sedangkan sekarang, yang dilawan Prabowo adalah Jokowi sebagai incumbent. Dulu Jokowi bukan incumbent saja Prabowo kalah,” beber Pangi.

Selain itu, dia melanjutkan, indikasi lain poros Jokowi meremehkan Prabowo adalah langkah Luhut Binsar Pandjaitan yang kabarnya ikut mendorong Prabowo maju sebagai Capres.

Bukan mustahil juga, kata Pangi, kalau Prabowo maju, mungkin sudah ada deal lain atau bonus yang akan diperoleh Prabowo.

“Maju tapi kalah, enggak apa-apa, kalau Prabowo berdagang di situ, dan kalau Prabowo maju maka otomatis juga mengangkat elektabilitas Gerindra. Kalau Prabowo head to head sama Jokowi, itu artinya sama saja Prabowo kembali memberikan tiket gratis kepada Jokowi kembali menjadi presiden dua periode," terang Pangi menganalisis.

Seharusnya, tambah dia, Prabowo belajar banyak dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang selalu kalah saat maju sebagai Capres. Kemudian Megawati lebih memilih menahan diri dan merelakan PDI-P untuk mengusung Jokowi sebagai Capres di Pilpres 2014 lalu.

Menurutnya, hal ini karena masyarakat juga sudah jenuh terhadap Prabowo dan elektabilitas Prabowo sudah klimaks. “Ibarat film, Prabowo adalah film lama, sudah usang. Karena itu, mendaur ulang pertarungan lama yaitu head to head Jokowi-Prabowo pada capres pilpres 2019 dan ini akan menjadi tidak menarik lagi untuk ditonton,” beber Pangi.

“Padahal masyarakat ingin pertarungan aktor baru sehingga film menjadi menarik dan seru," ungkapnya.

Di sisi lain, lanjut Pangi, kekuatan mesin partai pendukung Prabowo di Pilpres nanti kalah banyak dan kalah kuat dari koalisi parpol pendukung Jokowi.

Belum lagi, saat ini Jokowi sedang menyiapkan beberapa ‘senjata’ pendongkrak elektabilitas yang membuat pemilih ‘enggan geser’ dalam mendukung Jokowi.

Beberapa senjata pendongkrak disiapkan salah satunya adalah yang berkaitan dengan infrastruktur dan gaya ‘merakyat’ Jokowi. Hal ini akan membuat Prabowo makin sulit lagi mengimbangi Jokowi. Apalagi dengan keunggulan pembangunan infrastruktur pemerintahan Jokowi yang memang menjadi kelebihannya.

Dia memandang, justru ‘geng’ Jokowi khawatir dan ketakutan apabila mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo maju dan Prabowo menjadi king maker-nya. Karena saat ini adalah momentum emas untuk Gatot dengan pertumbuhan elaktabilitasnya yang masih terus menanjak.

“Jika dibandingkan dengan Prabowo yang digadang-gadang akan maju dalam Pilpres 2019 nanti, nama Gatot bisa dikatakan bisa menjadi sang penantang tangguh Jokowi,” jelasnya.

Dia juga tidak sependapat, dengan pandangan jika Prabowo tidak maju maka akan menenggelamkan Gerindra. “Tesis ini perlu diuji kembali, mengenai teori lokomotif effect dalam upaya menyelamatkan Gerindra,” katanya.

Akan tetapi, dia menambahkan, jalan tengahnya bisa saja dengan mengkaderkan atau meng-gerindra-kan Gatot dan Anies Baswedan sebagai Capres atau Cawapres justru kemungkinan bisa mengangkat elektabilitas Gerindra menjadi lebih besar.

“Karena ketika Anies ditarik jadi Capres atau Cawapres, ada keuntungan lain yang diperoleh Prabowo dan Gerindra yaitu Sandiaga Uno sebagai kader Gerindra otomatis akan naik menjadi Gubernur DKI,” paparnya.

Untuk diketahui, Prabowo pernah berhasil meracik pasangan Joko Widodo-Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama dan Anies-Sandi yang kemudian menjadi pemenang di Pilkada DKI Jakarta.

Maka itu, Pangi menilai, Prabowo sebenarnya lebih piawai atau ahli dalam memilih calon pemimpin dan mengantarkannya pada kemenangan ketimbang dirinya memaksakan maju sebagai kontestan di Pilpres 2019.

“Sudah saatnya Prabowo realistis, momentum beliau yang sudah lewat dan ayo kembali menghitung ulang serta mengkalkulasi secara matematika politik sehingga tidak salah hitung,” ujarnya.

“Ada konsekuensi logis yang perlu dipertimbangkan kembali sebelum maju sebagai Capres seperti amunisi politik, Pilkada serentak Juni 2017, kepala daerah diusung Gerindra menjadi faktor determinan menentukan. Prabowo bisa memberikan kejutan untuk meruntuhkan skenario ‘geng’ Jokowi,” pungkasnya. [tsc]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA