Waw, Rekening Nasabah yang Sudah Meninggal Harus Dilaporkan

Waw, Rekening Nasabah yang Sudah Meninggal Harus Dilaporkan

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak ( Ditjen Pajak/DJP) mewajibkan lembaga jasa keuangan untuk melaporkan rekening milik Wajib Pajak (WP) yang sudah meninggal dunia atau rekening warisan.

Hal itu dilakukan untuk pelaksanaan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan yang berdasarkan pada pasal 7 ayat 3 Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19 Tahun 2018 sebagai pengganti PMK Nomor 70 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Mengenai Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.

Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan memberikan tanggapan atas kebijakan tersebut.

"Ini adalah dampak dari target penerimaan pajak yang terlampau ambisius bahkan tak masuk akal. Belum lagi lebih dari 70 persen sumber pendapatan APBN kita bersumber dari pajak," kata Heri dalam keterangan tertulisnya, Minggu (4/3/2018).

"Pajak menjadi tulang punggung penerimaan negara sehingga semua cara harus ditempuh. Pemerintah menjadi kurang kreatif untuk menggenjot penerimaan dari sumber lain sehingga orang meninggal pun dikejar," sindirnya.

Heri membeberkan, target penerimaan pajak di APBN 2018 sebesar Rp 1.618,1 Triliun. Angka itu melejit 9,9 persen dibandingkan tahun 2017 yang terpatok sebesar Rp 1.472,7 Triliun.

Dari penerimaan perpajakan tersebut, sambungnya, Direktorat Jenderal Pajak sendiri harus mencapai target sebesar Rp 1.385,9 Triliun, sedangkan Direktorat Jendera Bea Cukai (DJBC) sebesar Rp 194,1 Triliun.

"Artinya, Direktorat Jenderal Pajak dipaksa bekerja ekstra mengejar tambahan Rp 144,1 Triliun dari target penerimaan pajak pada tahun 2017," kata Legislator dari dapil Jabar IV itu.

Menurutnya, ketimbang mengejar orang yang sudah meninggal, pemerintah seharusnya fokus pada perbaikan database perpajakan nasional, termasuk rasio pajak.

"Target penerimaan pajak yang tak masuk akal di tengah rasio pajak yang rendah menjadi tanda lemahnya sistem database perpajakan nasional," ujarnya.

Rasio pajak nasional, terang dia, ada di angka 11 persen. Padahal sebagai negara dengan kategori lower middle income countries seharusnya rata-rata rasio pajaknya mencapai 17 persen.

"Lemahnya database perpajakan membuat rasio pajak kita akan terus menurun. Masih banyak pekerja informal di Indonesia yang notabene tak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP)," ungkapnya.

Saat ini, terang Heri, jumlahnya mencapai 70 persen sehingga hanya 30 persen yang bisa menjadi objek pajak.

"Jadi lucu mendengar pemerintah yang menggenjot WP yang sudah meninggal di saat potensi penerimaan pajak belum dikelola secara optimal. Mengejar orang hidup saja susah, apalagi orang yang sudah meninggal," tuturnya.

Lebih jauh, disarankannya, pemerintah juga sebaiknya concern pada praktik perusahaan multinasional yang memanfaatkan aktivitas lintas batas untuk menghindari pajak suatu negara.

"Ketimbang mengejar orang yang sudah meninggal, pemerintah mustinya lebih memprioritaskan usahanya untuk mengusut pengemplang pajak yang menyembunyikan asetnya di luar negeri dan penggelapan pajak oleh perusahaan asing (PMA)," tegas Heri.

Untuk diketahui, kata dia, aset yang disimpan di Singapura saja mencapai Rp 2.600 triliun, sedangkan yang mengikuti program pengampunan pajak disebut-sebut tidak sampai 50 persen.

"Belum lagi perusahaan asing yang melakukan penggelapan pajak. Dilaporkan bahwa tahun 2013 saja terungkap ada 4000 PMA dari 7000 PMA yang telah merugikan negara triliunan rupiah dengan cara melaporkan rugi dari tahun ke tahun," bebernya. (ts)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA