Reformasi Agraria “Ngibul” Ala Jokowi

Reformasi Agraria “Ngibul” Ala Jokowi

Gelora News
facebook twitter whatsapp

Oleh: Arbie Marwan

Presiden Jokowi dalam tiga tahun terakhir ini pada masa kepemimpinannya kerap melakukan pembagian sertifikat lahan ke rakyat. Namun sayangnya pembagian sertifikat yang ditujukan sebagai salah satu program nawacita dalam bentuk reformasi agraria, ternyata masih jauh dari harapan dan tujuan sebenarnya yang semestinya tak hanya sekedar bagi-bagi lahan.

Wajar jika kemudian Tokoh Nasional seperti Amien Rais menyampaikan kritik pedas kepada pemerintah terkait program ini. Amien Rais menilai program bagi-bagi sertifikat tanah pemerintahan Jokowi mengada-ada, bohong, atau kata lainnya “ngibul”. Alasannya, meski sertifikat dibagikan, tapi pemerintah membiarkan 74 persen tanah di Indonesia dikuasai kelompok tertentu saja.

“Ini pengibulan, waspada bagi-bagi sertifikat, bagi tanah sekian hektar, tetapi ketika 74% negeri ini dimiliki kelompok tertentu seolah dibiarkan. Ini apa-apaan?” kata Amien Rais di sebuah acara diskusi di Bandung, Minggu (18/3).

Sebagai informasi berdasarkan data Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), 68 persen tanah di Indonesia masuk kategori hutan atau kawasan hutan. Sementara itu 32 persen sisanya masuk kategori tanah non hutan.

Namun 46 persen tanah non hutan tersebut atau 33 juta hektarnya, dikuasai oleh perusahaan perkebunan. Sisanya dikuasai oleh perusahaan properti lewat Hak Guna Usaha (HGU) dan hanya sebagain kecil dikuasai oleh rakyat dalam hal ini para petani.

Minimnya kepemilikan tanah oleh petani bisa dilihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS). Dari total 26,14 juta rumah tangga usaha pertanian, sebanyak 56,12 persennya adalah petani yang kepemilikan tanahnya hanya di bawah 0,5 hektar.

Menurut Ketua Dewan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Iwan Nurdin, sertifikasi tanah dalam kerangka reforma agraria berada dibagian akhir, bukan diletakan di depan seperti keadaan saat ini.

Reformasi agraria harus dimulai dengan pendataan tanah secara menyeluruh. Dari situ pemerintah akan memiliki gambaran tentang ketimpangan kepemilikan tanah. Setelah punya gambaran, pemerintah bisa menentukan, siapa yang perlu mendapatkan tanah, siapa yang perlu tanahnya dikurangi akibat kelebihan kepemilikan.

Skemanya bisa lewat ganti rugi bila itu tanah hak milik, atau penyerahan langsung kalau itu tanah negara. Pasca proses tersebut, barulah pemerintah bisa melakukan sertifikasi tanah. Jadi sertifikasi tanah dilakukan pada bagian akhir reforma agraria, bukan di awal.

Karena jika kebijakan itu di awal justru melegalkan ketimpangan kepemilikan tanah itu sendiri. Bila hal itu terjadi, maka tujuan reforma agraria untuk menyudahi ketimpangan kepemilikan tanah tidak tercapai.

Menurut Sekjen KPA, Dewi Kartika bagi-bagi sertifikat tanah tidak berarti otomatis sebagai reformasi agraria. Pada Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) memang mengatur soal pendaftaran tanah untuk menjamin hak dalam bentuk sertifikasi yang mengacu pada Pasal 19 “Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia”.

“…biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran tanah dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya.”

Namun, Dewi mengatakan Jokowi belum berhasil melaksanakan reformasi agraria sesuai UUPA karena redistribusi lahan yang ia lakukan tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Salah satu contohnya redistribusi lahan hanya terjadi untuk lahan bebas konflik.

“[Bagi-bagi sertifikat tanah] bukan berarti reforma agraria. Karena seharusnya ada penataan ulang dulu sebelum sertifikasi dilakukan,” kata Dewi.

Reformasi Agraria Tak Selesaikan Sengketa Lahan

Dewi memandang pemerintah mestinya membenahi ketimpangan kepemilikan lahan di Indonesia. Misalnya, dengan mencatat lahan milik perseorangan dengan berluas jutaan hektar yang hak guna usahanya hampir habis untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat. Hal ini menurutnya amanat pokok Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960.

Pembagian sertifikat lahan menurutnya juga tak menyelesaikan masalah konflik agraria. Sebab, subjek penerima sertifikat tidak dibatasi kepada penggarap, melainkan kepada masyarakat yang telah lama menempati tanah tersebut.

“Pemberian modal, buku, bantuan pupuk dan lain-lain itu seharusnya dilakukan paralel. Kalau enggak begitu, tanahnya bisa diakumulasikan lagi sama kelompok-kelompok bermodal besar. Simpelnya, mereka dikasih lahan tapi enggak bisa jadi alat produksi. Datang pengusaha, diintimidasi, mereka akhirnya jual,” katanya.

Sepanjang 2015, KPA melaporkan telah terjadi sedikitnya 252 kejadian konflik agraria dengan luasan wilayah konflik mencapai 400.430 hektar dan melibatkan sedikitnya 108.714 kepala keluarga (KK). Berdasarkan laporan akhir tahun KPA, pemenuhan hak-hak dasar warga atas sumber-sumber agraria, pemulihan hak-hak korban konflik serta upaya penyelesaian konflik agraria nyaris tak tersentuh sepanjang 2015.

Senada dengan Dewi, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Semarang Zainal Arifin mengatakan pemerintah mestinya memberi perhatian terhadap konflik lahan antara petani/rakyat kecil dengan korporasi sesuai janji kampanye nawacita. Apalagi, konflik agraria terus terjadi dan mengalami eskalasinya sangat cepat.

“Baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Karena yang lama belum terselesaikan, tapi sudah muncul konflik yang baru,” imbuhnya.


Perlu Pansus Selesaikan Sengketa Lahan

Kembali ke pernyataan Amien Rais, menurut Anggota Komisi II DPR RI Mohammad Hatta tudingan “Jokowi Ngibul” bukan tak berdasar. Maraknya permasalahan agraria yang terjadi di Indonesia selama pemerintahan Jokowi menjadi indikasi bahwa reformasi agraria belum berjalan dengan baik. Bahkan menurutnya perlu dibentuk Panitia Khusus (Pansus) Agraria di DPR RI.

“Pak Amien mengatakan ngibul gitu, itu data-data yang masuk di Komisi II hampir tiap bulan hampir 50-60 kasus itu terjadi. Tidak bisa dipungkiri itu terjadi harusnya itu dulu diselesaikan, bukan bagi sertifikat. Masalah terus datang kepada kami komisi II dan itu tak terselasaikan hingga skarang. BPN give up namun dari segi istana tidak melakukan itu,” ungkap Hatta dalam sebuah diskusi, Rabu (21/3). [akt]

Salah satu contoh kasus sengketa lahan yang terungkap dalam diskusi tersebut terjadi pada Rusli Wahyudi. Dia mengaku sebidang tanah yang dimilikinya di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang Selatan Banten sudah kurang lebih 15 tahun lalu dikuasai oleh korporasi (Sinar Mas). Meskipun dia sudah memenangkan sengketa tanahnya di pengadilan tetapi tidak bisa memanfaatkan tanahnya seluas 2,5 hektare terebut.

Rusli mengaku sudah berkirim surat kepada Jokowi, bahkan Anaknya Sutarman sempat mencoba menemui langsung saat Jokowi membagi-bagikan sertifikat di Serang. Rusli berharap Jokowi bisa membantunya.

Rusli mengaku Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi sudah menyatakan tanah tersebut sah menjadi miliknya dan dieksekusi pada tahun 1998. Namun dia tak bisa membuat sertifikat lantaran girik (yang masih atas nama The Kim Tin) yang dititipkan di kelurahan Lengkong Gudang (Tahun 1993 masih bernama Desa Lengkong Gudang) saat proses pengadilan tidak bisa diambilnya kembali.

“(Dulu) Kepala Desa menyarankan giriknya dititip sama dia (karena dipermasalahkan ahli waris The Kim Tin), ya Saya titip. Berhubung tidak ada penyelesaian yang konkrit saya gugat melalui pengadilan ahli warisnya. Saya sudah menang. Pengadilan sudah eksekusi tanah ini. Saya minta balik surat ini, tidak ada suratnya, bahkan tanah saya sudah dikuasai orang lain?” ungkapnya dalam diskusi tersebut.

Selain antara warga dengan pengusaha ada juga antar warga dengan negara seperti yang terjadi pada warga kompleks Zeni Mampang Prapatan Jakarta Selatan.

Sementara itu Anggota komisi II lainnya, Sarwenda juga mengungkap banyaknya sengketa lahan antara warga dengan pengusaha besar tak kunjung selesai. Warga pesimis lantaran para pengusaha besar seolah menguasai segala lini mulai dari aparat Desa, BPN bahkan penegak hukum.

Menurutnya, presiden Jokowi sebaiknya menuntaskan terlebih dahulu sengketa lahan yang banyak merugikan warga tetapi menguntungkan pengusaha besar,” Jangan sampai Jokowi bagi-bagi sertifikat tetapi menutup sebelah matanya terhadap persoalan rakyat yang tak berdaya ketika bersengketa melawan pengusaha kakap,” tegasnya.

Karena itu, Sarwendah mendukung pembentukan Pansus sengketa tanah agar semua persoalan lahan segera selesai dan rakyat yang lahannya masih tersangkut sengketa juga bisa memperoleh keadilan. Namun dia berharap, jika pansus terbentuk, anggotanya tidak mudah masuk angin sehingga rakyat makin kecewa.


Jokowi Menjawab

Presiden Joko Widodo mengatakan pembagian sertifikat bertujuan agar masyarakat dapat merasakan manfaat kegunaan dari tanah yang dimiliki oleh masing-masing warga.

“Memang idealnya itu seluruh lahan yang ada, bidang yang ada, itu bersertifikat dan idealnya lagi memang kepemilikannya itu betul-betul rakyat bisa merasakan dari kegunaan atas lahan tanah yang mereka miliki,” jelas Presiden usai menyaksikan pembagian sertifikat tanah kepada masyarakat di GOR Rudi Rusnawan, Kota Banjar Baru, Provinsi Kalimantan Selatan pada Senin (26/3).

Menurut Presiden, pemerintah menerbitkan sertifikat sesuai dengan hak hukum masing-masing pemilik dengan jumlah yang sesuai kenyataan.

“Diangkat tinggi-tinggi, biar kelihatan semuanya bahwa sertifikat sudah diserahkan dan betul-betul sertifikat ini sudah menjadi hak milik bapak ibu sekalian dan bukan pengibulan,” kata Presiden. [akt]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita