Pemilu 2019 Bisa Lebih Parah Dibanding Kasus Facebook

Pemilu 2019 Bisa Lebih Parah Dibanding Kasus Facebook

Gelora Media
facebook twitter whatsapp
www.gelora.co - Kasus kebocoran data pengguna Facebook ikut menyeret nama Cambridge Analytica. Lembaga ini dituntut ikut bertanggungjawab karena menyalahgunakan data pengguna Facebook untuk pemenangan kampanye Donald Trump pada Pemilihan Umum (Pemilu) Amerika Serikat (AS). 

"Menurut saya ini bukan 100% salah Facebook, ini kejelian Cambridge Analytica memanen data yang kemudian ditindaklanjuti dengan iklan Facebook dan hoax yang disesuaikan dengan profil penerimanya," kata Alfons Tanujaya, peneliti keamanan cyber dari Vaksincom, dihubungi detikINET, Jumat (23/3/2018). 

Alfons kemudian menjelaskan bagaimana kasus ini bermula. Pada 2013, seorang akademisi dari Cambridge University bernama Alexander Kogan, membuat semacam aplikasi kuis bernama 'This Is Your Digital Life' untuk kepentingan penelitian. 

Atas izin Facebook, kuis untuk menguji kepribadian ini mengundang sekitar 300 ribu pengguna Facebook menggunakannya. Celakanya, selain mengumpulkan data kepribadian, aplikasi ini juga mengangkut data pribadi teman-teman para peserta kuis. Hasilnya, didapatkan data 50 juta pengguna Facebook. 

Data ini berkaitan erat dengan profil pengguna Facebook yang bisa digunakan untuk mengklasifikasikan sifat, pandangan politik, dan kecenderungan pengguna Facebook. 

Oleh Kogan, data tersebut diberikan kepada Cambridge Analytica untuk sebuah program, berita dan kampanye sejenis yang ditujukan kepada profil-profil pengguna Facebook.

"Pada awalnya dikira tidak berpengaruh. Namun ternyata bisa berpengaruh signifikan mengubah pandangan orang atau pemilih dalam Pilpres AS, dan besar kemungkinan (cara ini) sedang dijalankan di Indonesia," kata Alfons. 

Dugaan Alfons bukan tanpa alasan. Pasalnya, penyebaran hoax untuk kepentingan politik tak hanya terjadi di AS, tetapi juga sedang menjadi fenomena di negeri sendiri. 

"(Kasus) Saracen, MCA, itu lebih seram dari Cambridge Analytica, dan lebih ekstrim dan terang-terangan," sebut Alfons. 

Apa yang terjadi di AS bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Kita memasuki tahun politik, dimana media sosial (medsos) menjadi salah satu alat penyebaran kampanye. Ditambah lagi, literasi digital pengguna medsos di Indonesia masih kurang.

"(Perilaku pengguna di AS) sama seperti di sini. Dan banyak pemilih disana yang sudah berumur. Cuma di sana terjadi karena tipis beda pemilihnya. Jadi swing voter berpengaruh besar terhadap hasil akhir. Itu yang disasar Cambridge Analytica," kata Alfons. 

Belajar dari kasus ini, diperlukan pula kesadaran dari pengguna untuk cerdas bermedia sosial sebagai benteng perlindungan awal. Karena jangankan yang kurang berpendidikan, kalangan terdidik pun banyak yang mudah terpengaruh dan termakan hoax. 

"Kasus Cambridge Analytica ini setidaknya membuka mata. Pengungkapan Saracen, MCA juga bisa menjadikan cambuk, disertai penegakan hukum yang tegas," sebut Alfons. 

Jelang Pemilu yang akan berlangsung di Indonesia, Alfons berpesan agar masyarakat lebih kritis menerima berita. Jangan menelan mentah-mentah informasi yang didapat, serta jaga keinginan untuk 'tenar' sesaat ketika mendapatkan pesan atau berita bombastis dengan langsung gatal menyebarkannya. 

"(Jauhkan) prinsip 'lebih baik saya share siapa tahu ini benar', kalau salah kan teman-teman maklum. Harus diubah jadi 'teliti sebelum share' atau 'jarimu harimaumu'," saran Alfons. 

Dia juga berharap, para tokoh, pegiat dan berbagai pihak yang berkepentingan dengan politik tidak melakukan kecurangan dengan menambang data secara ilegal untuk tujuan yang tidak baik. 

"Mereka diimbau untuk benar-benar mengutamakan kesatuan bangsa di atas tujuan golongan dan hindari memecah belah bangsa demi mencapai tujuan," tutupnya. [dtk]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita