Menunggu Mega Sikapi Tudingan Setnov Terhadap Puan

Menunggu Mega Sikapi Tudingan Setnov Terhadap Puan

Gelora News
facebook twitter whatsapp


Oleh: Derek Manangka

KALAU saja Taufiq Kiemas masih hidup, boleh jadi dialah yang paling tersinggung atau terpukul atas pernyataan politisi Golkar Setya Novanto.

Bekas Ketua DPR RI itu menyebut Puan menerima 'sogokan' 500 ribu dolar AS dari proyek KTP elektronik.

Taufiq Kiemas pasti akan membela anaknya.

Bagi Taufiq Kiemas, membela Puan bukan semata-mata karena ia seorang anak kesayangannya saja. Tapi buat Taufiq, Puan diharapkannya bisa mewarisi legacy-nya sebagai politisi yang bermartabat.

Sekalipun tersinggung dan terpukul, Taufiq Kiemas mungkin akan menyikapinya secara gentleman dan dewasa. Misalnya mengajak Setya Novanto untuk bertemu secara bersahabat, berdialog terbuka, baru setelah itu ia bersikap.

Taufiq Kiemas yang akrab dipangggil TK, tercatat sebagai salah seorang politisi Indonesia terkaya. Puan kecipratan atas kekayaanya itu. Dan TK menjadi kaya, bukan karena fasilitas pemerintah.

TK justru menjadi kaya, di saat dia memilih partai yang beroposisi dengan rezim Soeharto.

Sehingga secara sosiolgis, sulit menuduh TK sebagai politisi kolaborator apalagi oportunis.

Kekayaan yang diperoleh politisi PDI Perjuangan itu, melalui PERJUANGAN.

TK berpenghasilan ratusan juta rupiah per hari dari bisnis jual minyak di lebih dari 10 buah pompa bensin, SPBU.

Hasil penjualan minyak dari pompa-poompa bensin miliknya, antara lain disisihkannya untuk membiayai partai, termasuk politisi binaannya.

Sehingga kalau kekayaannya itu yang dijadikan perbandingan, uang “sogokan” US$ 500,- ribu bukanlah jumlah yang fantastis.

Setelah TK menjadi salah seorang politisi terkaya - ayah Puan ini dikenal sebagai negarawan yang lebih suka berbagi. Dia bukan politisi yang lebih suka menerima atau meminta.

TK punya prinsip, rezeki itu akan datang, jika kita banyak memberi.

Terhadap anak-anaknya apakah itu Tatam dan Prananda, dua anak sambungnya, maupun Puan tentunya, prinsip hidup “lebih baik memberi ketimbang menerima atau meminta ” terus dia tanamkan.

Untuk mendukung budaya memberi atau berbagi itu, TK secara terbuka memperlihatkan sikapnya itu kepada anak-anaknya. Semua anaknya tau, sedikit banyaknya paham, siapa-siapa yang banyak menerima bantuan tetap dari TK.

Hal mana membentuk karakter tidak mudah bagi anak-anak TK dibujuk untuk “menerima” sesuatu dari orang yang tidak mereka kenal.

Semua anak TK dan Mega, boleh dibilang hidup berkecukupan.

Karena keteguhannya pada prinsip memberi itu, jumlah orang yang ditolong oleh TK, bisa jadi tak terhitung. Bentuk pertolongan dan jumlahnya bervariasi.

Yang ditolongnya mulai dari orang kecil dengan jumlah yang kecil, hingga orang besar dengan nominalnya cukup besar.

Di bidang pendidikan - mulai dari bentuk beasiswa untuk belajar di dalam negeri sampai dengan ke perguruan tinggi di negara-negara maju.

Rezeki itu, kata TK ibarat makanan atau kotoran. Setiap makanan yang sudah jadi kotoran, harus kita buang. Dengan membuang kotoran tersebut, maka dalam perut kita ada ruang yang kosong. Kalau sudah ada yang kosong, maka makanan baru atau rezeki, baru bisa masuk kembali ke dalam tubuh kita.

Antara tahun 2005 �" 2006, TK menolong atau membantu Aburizal Bakrie, seorang pengusaha nasional sekaligus politisi Golkar. Yang menjadi penghubung Rizal Mallarangeng.

TK bersedia membantu Aburizal Bakrie, sebab menurut kajian Syarif Bastaman SH, pengacara PDIP, Ical sebagai pengusaha nasional pantas dibantu.

Negosiasi dilakukan di Singapura dan kesepakatannya Ical harus membayar ratusan miliar rupiah.

Lalu apa yang dilakukan TK atas uang sebanyak itu ?. Yang jelas tidak dinikmatinya sendiri.

Uang ratusan milyar itu juga dibagi-bagikannya.

Misalnya ke Pramono Anung sebagai Sekjen PDIP untuk mengurus roda partai. Lalu sejumlah sosok yang dia anggap perlu menikmati rezeki tersebut.

Bahkan Ustad Baasir, Pimpinan Pesantren Ngruki, Sukohardjo ,tokoh Islam yang anti-Panca Sila, sekalipun secara tidak langsung, iku kena saweran. Sawerannya baru terjadi di tahun 2010 saat TK bersama seluruh pimpinan MPR-RI menemui Baasir.

Semua yang kena sawer dari TK, satu per satu dihubunginya per telpon. Diberi tahu cara mengambilnya atau kepada siapa saweran itu dia titipkan.

“Mas, tolong datang ke rumah yah. Ada titipan dikit. Lumayan bisa beli Mercy S-Class….”, ujar TK ketika menelpon Tjahjo Kumolo, yang saat itu menjabat Ketua Fraksi PDIP di DPR-RI.

Saya tidak tahu apakah TK serius atau bercanda menjawab saat kutanya, siapa yang dapat hadiah uang lebih dari satu miliar tersebut.

Ketika TK menelepon Tjahjo Kumolo yang saat ini menjabat Menteri Dalam Negeri, saya sedang duduk di samping almarhum, satu mobil dalam perjalanan menuju ke sebuah bioskop di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat.

Harga Mercedes S-Class saat itu berada dalam kisaran Rp 1,5 sampai Rp. 2,- milyar.

Seusai bicara dengan bekas politisi Golkar tersebut, TK minta ajudannya menghubungkannya dengan Sabam Sirait. Isinya sama. Gelak tawa yang sangat gembira, terdengar dari ayah Maruarar Sirait ini.

Sebagai orang yang belum pernah melihat uang milyaran rupiah, seperti yang disebut TK, kuping saya terasa panas.

“Saya ke bagian apa dong…..”, ujar saya nyeletuk, setelah wajah TK terlihat tetap sumringah.

Maksud saya antara bercanda dan serius. Kalau dapat ya puji Tuhan dan Alhamdullilah.

“Yah kau juga ke bagian”, jawabnya enteng.

Beberapa waktu kemudian, TK mengajak saya ke Bali, menginap di hotel Conrad, Nusa Dua. Di sana ia berunding dengan Pri Sulisto, seorang pebisnis yang memiliki 6 buah radio FM.

Ke-enam radio tersebut berada di Cilegon, Serang, Semarang, Denpasar, Makassar dan Palu.

TK sepakat membayar Rp. 15,- miliar kepada Pri Sulisto.

“Nanti kau dan Happy urus itu semua radio yah”, kata TK menunjuk Happy Hapsoro, suami Puan Maharani.

Sedih karena TK sudah di dunia lain. Dia sudah tidak bisa lagi mengikuti perkembangan politik masa kini.

Sejauh ini pula keluarga TK belum memberi tanggapan atau bagaimana sikap Puan maupun Megawati Soekarnoputri atas tudingan Setya Novanto.

Apapun alasannya, nama baik Puan dan tentu saja bundanya, Megawati, ibarat baju putih pasti ternoda.

Persepsi bahwa keluarga dari Jl.Teuku Umar, Jakarta Pusat ini juga tidak bersih-bersih amat, pasti mulai memviral.

Masuknya nama Puan dalam skandal e-KTP, jelas mempersulit posisi Ketua Umum, PDIP.

Sebab selain Puan, juga muncul pertama kalinya dalam sebuah skandal nama Pramono Anung, yang kini menjabat Sekretaris Kabinet.

Kalau nama Ganjar Pranowo, apalagi Olly Dondokambey, disebut-sebut, tidak aneh lagi. Sejak awal kasus ini ditangani KPK, nama mereka sudah mencuat.

Bisa dipahami jika Puan maupun Megawati sulit menanggapi “nyanyian” Setya Novanto. Sebab kedua wanita itu, bukanlah politisi yang "quoteable". Keduanya termasuk politisi yang kemampuan mereka bermanuver setara dengan almarhum TK.

Ditambah lagi untuk saat ini, Puan dan Megawati bukanlah politisi yang masuk kategori sebagai “media darling”.

Media sering menjauhi keduanya, terkadang "nyinyir".

Novanto sendiri �" saat ini bukanlah sosok yang terlalu dimusuhi. Dia tidak lagi sepenuhnya sebagai “public enemy” terutama setelah dia melepas dua jabatan strategis : Ketua DPR-RI dan Ketua Umum DPP Golkar.

Aroma empati tengah mengalir kepadanya - karena satu persatu Setnov mulai terbuka dengan skandal e-KTP.

Dalam situasi yang cuikup kondusif, Setnov melantunkan “nyanyian”nya. Nyanyian ini dengan cepat memikat pendengaran. Setnov cukup taktis cenderung cerdik menyanyikan “lagu”nya.

Novanto tidak menuduh langsung. Tapi mengaku hanya mendengar cerita tentang “sogokan” itu dari orang lain. Dengan cara itu, Novanto bisa mengelak dari tuduhan bahwa dia bermaksud mencemarkan nama baik putri dari Taufiq Kiemas, almarhum.

Bisa juga dikatakan, Novanto secara sadar “berniat” memperbanyak orang yang terlibat dalam skandal e-KTP ini sekaligus memperpanjang persidangan atas kasusnya ini.

Sebab gelagat memperbanyak orang yang terlibat dan memperpanjang penyidangan kasus ini, sudah terlihat sejak awal.

Boleh jadi upaya Novanto ini bisa berhenti, bila Puan ataupun bundanya, Megawati, berani bersikap terhadap Setya Novanto. Itu sebabnya sikap Puan dan Megawati, akan menjadi soal (politik) yang penting untuk saat ini.

Katakan “yah” atas yang benar dan katakan “tidak” atas yang salah atau tidak benar. [rmol]

*Penulis adalah wartawan senior

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA