BI dan OJK Akui Suku Bunga Pinjaman Tinggi Rusak Stabilitas Keuangan Negara

BI dan OJK Akui Suku Bunga Pinjaman Tinggi Rusak Stabilitas Keuangan Negara

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kembali memperingatkan perusahaan-perusahaan financial technology (fintech) untuk mencari cara menekan suku bunga pinjaman dan memberikan jaminan keamanan kepada konsumen. Menurutnya, suku bunga yang tinggi bisa menimbulkan masalah sistemik jika banyak debitur tidak mampu membayar.

“Kami di BI akan selalu jaga stabilitas sistem keuangan. Bunga yang terlalu tinggi itu juga berdampak ke stabilitas,” ujar Deputi Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Susiati Dewi saat diskusi bertajuk ‘Membedah Belantara Fintech’ di Hotel Ibis, Jakarta, Rabu (14/3).

Ia menambahkan, bunga pinjaman yang terlalu tinggi berisiko menimbulkan gagal bayar. “Kami berkaca pada rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) seperti apa? Saya khawatirkan peer to peer lending ini dampaknya ke ekonomi,” kata dia.

Ia pun mendorong fintech untuk meminimalisir pengeluaran, supaya biaya yang ditarik dari debitur atau fee bisa dikurangi. Ia mencatat, margin bunga bersih (Net Interest Margin/NIM) perbankan rata-rata 4%, sedangkan peer to peer lending bisa mencapai 6%. Yang mana, tingginya NIM menunjukkan suku bunga kredit yang terlampau tinggi, namun efisiensinya rendah.

“Hal-hal seperti mekanisme perolehan data yang lebih efisien, kalau profil (debitur) sudah terbentuk, NIM bisa diturunkan lah,” ujar dia.

“Paling tidak temukan cara agar dipenuhi hal itu (bunga rendah), walaupun penetapannya dari mekanisme pasar. Jadi sama-sama dijaga, jangan sampai momentum ini ditumpangi orang yang ambil manfaat lebih,” ujarnya.

Analis Eksekutif Senior pada Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK Fithri Hadi menyatakan hal senada. Meskipun di satu sisi, ia mengerti bahwa besaran bunga ini ditentukan oleh mekanisme pasar. Yang mana, bunga akan semakin tinggi jika kreditur atau pemberi pinjaman sedikit, sementara orang yang ingin meminjam atau debiturnya banyak.

Menanggapi hal itu, Direktur Modalku Sigit Aryo Tejo menjelaskan bahwa perusahannya selalu transparan kepada debitur maupun kreditur. Kepada kreditur, akan dijelaskan mengenai latar belakang dan risiko dari debitur yang akan dibiayai. Lalu kepada debitur, disampaikan besaran bunganya dan uang yang bisa dipinjam.

Sigit menyatakan, Modalku ingin memberikan pinjaman sesuai kemampuan dari debiturnya, guna menghindari risiko gagal bayar. “Yang membatasi (bunga) itu mekanisme pasar. Tapi kalau regulasi membatasi buat kami justru itu lebih clear dan kami bisa sampaikan kepada lender (debitur),” tuturnya.

Namun CEO Mekar.id Thierry Sanders menolak jika bunga pinjaman fintech harus dibatasi. Menurut dia, pembentukan besaran bunga melalui mekanisme pasar sudah baik. Bahkan, menurut dia, besaran bunga sekitar 20 % per tahun sudah terbilang rendah mengingat risiko dari debitur yang dibiayai tinggi. “Kami beri 24% per tahun tanpa jaminan. Kalau ke bank bisa kena bunga 40-50% per tahun,” ujarnya. [kn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita