#2019GantiPresiden Antitesis dari Gerakan 'Dua Periode'

#2019GantiPresiden Antitesis dari Gerakan 'Dua Periode'

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Jelang Pemilihan Presiden (Pilpres 2019), sejumlah gerakan 'Dua Periode' untuk memenangkan Joko Widodo gencar dilakukan sejumlah pihak. Baik di sosial media atau kampanye para politikus partai politik yang mendukung Jokowi. Namun, seperti layaknya kompetisi, muncul pula gerakan untuk menyaingi. Salah satunya gerakan #2019GantiPresiden yang tengah viral di media sosial.

Salah seorang inisiator gerakan 2019 Ganti Presiden, Neno Warisman, kaget melihat antusiasnya masyarakat menyambut kampanye tersebut. Neno mengaku awalnya dia hanya membentuk WhatsApp Grup (WAG) untuk grup majelis taklim yang diikutinya.

Menurut dia, anggota yang ada di dalam grup WA itu memiliki satu misi, yakni berkeinginan pemilu mendatang menghasilkan presiden baru. "Kami melarang tidak boleh membicarakan sosok capres. Meski di grup ini terdiri dari berbagai pendukung capres di pilpres nanti," kata Neno menegaskan.

Namun, apakah gerakan ini legal dan tidak melanggar hukum? Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera pun angkat bicara. Ia menegaskan, gerakan tersebut sah, legal, dan konstitusional. Hal itu terjamin pada Pasal 22E menegaskan bahwa pemilu diselenggarakan tiap lima tahun untuk memilih salah satunya presiden dan wakil presiden.

"Gerakan ini juga sah seperti dijelaskan di Pasal 1 ayat 2 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kedaulatan adalah di tangan rakyat. Jadi, gerakan yang menjelaskan urgensi dengan data, analisis, dan dengan menyodorkan calon lain yang lebih baik agar dipilih pada pillres 2019," kata Mardani menerangkan saat dikonfirmasi melalui pesan singkat, Rabu (28/3).

Mardani menambahkan, gerakan yang berseliweran di dunia maya itu adalah bagian dari pendidikan politik bagi rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi untuk memilih yang terbaik. Karena, kata Mardani, demokrasi justru memerlukan kompetisi. Dibanding liga Inggris sekalipun, kompetisi pilpres 2019 justru jauh lebih penting, lebih signifikan, dan berdampak tinggi bagi rakyat Indonesia.

"Jadi, gerakan #2019GantiPresiden merupakan antitesis dari gerakan yang sudah bergulir yaitu 'Dua Periode' untuk Pak Jokowi. Ini juga gerakan sah, legal, dan konstitusional," ungkap anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI itu.

Mardani berkata, selama ini rakyat mungkin dasar memilihnya karena pesona pribadi, ganteng, sederhana, pandai, figur, tegas, dan lain-lainnya. Mardani menginginkan kompetisi yang lebih substansial. Salah satunya dengan menelisik karaker kepemimpinannya, kualitas kepribadiannya, track record selama ini, termasuk kebijakan, program, hingga kecenderungannya.

Karena itu, esensi gerakan tersebut sehat dan baik bagi demokrasi. Berkompetisi yang lebih substantif, yaitu kompetisi gagasan untuk menyelesaikan problem bangsa ini. Gagasan tentang utang negara, bagaimana gagasan soal dunia usaha, bagaimana gagasan soal demokrasi yang makin terancam.

"Memang gerakannya terkesan seperti 'kejam', tapi bahasa lugas kadang diperlukan agar sadar. Karena itu pula, sejak awal dia memperkirakan akan ada reaksi," kata Mardani.

Pernyataan serupa juga disampaikan Pakar media sosial Enda Nasution. Ia mengatakan, gerakan #2019gantipresiden bukan gerakan makar. Sebab, gerakan makar berarti menggulingkan pemerintah yang sah, salah satunya melalui kekerasan.

Menurut dia, gerakan tersebut tidak menyalahi konstitusi karena sudah sesuai dengan sistem, yaitu pesta demokrasi lima tahunan. "Kan memang pada tahun 2019 akan ada pilpres lagi nanti," kata dia melalui pesan singkat, Rabu (28/3).

Grup WhatsApp #2019GantiPresiden merupakan gagasan Neno Warisman. Dalam tiga hari saja, muncul 100 WhatsApp Group (WAG) yang mendiskusikan dan mendukung aksi tersebut.

Kehadiran grup itu pun memunculkan perdebatan di media sosial. Sebagian kalangan berpendapat grup yang viral di internet itu sebagai gerakan makar untuk menggulingkan pemerintah.

Enda menjelaskan, grup itu menunjukkan ada sebagian kecil kelompok masyarakat yang punya aspirasi untuk mengganti presiden. Apalagi Indonesia menganut sistem demokrasi.

"Karena sudah masuk ke tahun pilpres, ada trigger atau tidak, pasti akan ada yang menyerukan pilih lagi, dan ada yang pengen ganti," tutupnya.

Enda menyampaikan, mereka yang mengusung tagar #2019GantiPresiden agar perlu lebih memiliki argumentasi, data, dan solusi. "Namun, kalau boleh saran mungkin jangan cuma asal ganti, tetapi juga beri solusi, siapa yang diharap bisa jadi calon pengganti," kata Enda.

Hal itu diperlukan untuk meyakinkan masyarakat sehingga tidak gerakan tagar saja. Karena kalau sekadar tagar, ratusan tagar muncul setiap hari di media sosial.

Saat ini baru Jokowi yang mendeklarasikan diri maju sebagai calon presiden 2019. Pendeklarasian Jokowi menjadi capres diusung PDIP. Sejumlah partai politik juga sudah menyatakan dukungan terang-terangan, seperti Partai Perindo, PSI, Partai Nasdem, dan Partai Hanura.

Sementara partai oposisi Gerindra, PKS, dan Demokrat belum mengumumkan siapa capres yang bakal maju pada Pilpres 2019 untuk bersaing dengan Jokowi. Sejauh ini nama Prabowo Subianto menjadi yang paling kuat untuk didorong menjadi capres. Namun, sejumlah nama lain muncul untuk bersaing dengan Jokowi, seperti mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Madji, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. [rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita