TNI Terlibat Demonstrasi, Polri Lupa Sejarah Dan Khianati Reformasi 1998!

TNI Terlibat Demonstrasi, Polri Lupa Sejarah Dan Khianati Reformasi 1998!

Gelora Media
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Perpanjangan kerja sama TNI dan Polri terbaru tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) Nomor B/2/2018 dan Nomor Kerma/2/I/2018.

MoU tentang Perbantuan TNI Kepada Kepolisian dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat itu ditandatangani langsung oleh Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto.

Polri sebagai institusi penegakan hukum, serta pelaksana ketentraman dan ketertiban sipil memang dibenarkan melibatkan TNI. Namun, hal itupun mesti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

"Bukan dengan model MoU sesuai dengan pasal 41 ayat (1) UU 2/2002 tentang Polri yang menyebutkan dalam rangka melaksanakan tugas keamanan, Kepolisian Negara RI dapat meminta bantuan TNI yang diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah," ujar Sekretaris Jenderal Pro Demokrasi, Satyo Purwanto kepada redaksi, mengkritisi.

Satyo mengingatkan, persoalan perbantuan militer untuk operasi non perang diera supremasi sipil telah diatur oleh UU karena jika tidak akan berdampak serius bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Secara perlahan tapi pasti keterlibatan militer ke wilayah sipil dalam menjaga keamanan dalam negeri terus terjadi dengan alasan melakukan operasi selain perang (OMSP).

Namun, perlu dingat, lanjut dia, keterlibatan militer itu seringkali melanggar dan bertentangan dengan UU TNI sendiri sebagaimana terlihat dari berbagai MoU yang pernah dibuat.

Pada Pasal 7 ayat (2) huruf (b) angka 10, UU 34/2004 tentang TNI terdapat beberapa prosedur dan persyaratan seperti TNI dapat menjalankan OMPSP dan membantu Polri dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat harus melalui UU. Berikutnya, dalam hal pengerahan kekuatan TNI, Presiden harus mendapat persetujuan DPR, kecuali dalam keadaan genting untuk menghadapi ancaman militer dan/atau ancaman bersenjata/perang (Pasal 17 dan 18 UU TNI).

"Pada intinya, sesuai dengan Pasal 7 ayat (3) UU TNI, operasi militer baik perang maupun selain perang haruslah melalui keputusan politik negara. MoU atau nota kesepahaman bukanlah keputusan politik negara," tegasnya.

Menurutnya janggal ketika Polri merasa perlu TNI dalam penanganan demonstrasi dan pemogokan. Akan tetapi berbeda respon Polri terkait RUU Keamanan Nasional. Polri terkesan resisten terhadap RUU tersebut dan keterlibatan mereka dalam Dewan Kamnas.

"Pertanyaan besarnya ada apakah? apakah karena jika RUU Kamnas  diundangkan maka konsekuensi politik yang diterima adalah berkurangnya peran dan fungsi strategis Polri baik di nasional maupun lokal dalam menjaga eksistensi sebagai institusi utama dalam penyelenggaraan keamanan dalam negeri," tengarainya.

Polri, imbuh Satyo, seakan melupakan sejarah dan pengorbanan banyak orang di tahun 1998. "Mereka justru membahayakan transisi demokrasi saat ini ketika supremasi sipil mulai disemai di banyak sektor." (rm)

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA