Kegilaan 'Memburu' Ulama

Kegilaan 'Memburu' Ulama

Gelora News
facebook twitter whatsapp
Ady Amar

www.gelora.co - Dalam perspektif kegilaan, yang disebut orang gila memiliki sebuah tempat khusus dalam dunianya. Tempat khusus yang sama sekali tidak mirip sebagai tahanan, meski dalam kurungan.

Dia yang disebut “orang gila” adalah karena kemampuannya merasakan secara umum makna irrasionalitas, dimana terdapat modulasi khusus berkaitan dengan kegilaannya. Karenanya, ia ditempatkan dengan semantik hilang ingatan, tidak waras, orang yang patut diasingkan, dan julukan lainnya.

Menjadi diasingkan agar irrasionalitas yang dibawanya tidak mencederai komunitas di luar kegilaannya itu. Jika dilebur, maka kegilaan itu dipaksakan untuk melihat dirinya apa adanya. Dan itu akan membahayakan komunitas yang ada.

Irrasionalitas bersembunyi dalam kebisuan rumah-rumah pengurungan, namun kegilaan terus hadir di belahan dunia mana pun. Tampaknya semakin hari semakin banyak.

Kegilaan, hampir-hampir bukan salah satu kemungkinan yang dihasilkan oleh kesatuan tubuh dan jiwa, ia bukan hanya sekadar konsekuensi nafsu. Dengan diinstitusikan melalui kesatuan jiwa dan tubuh, kegilaan malah berbalik melawan kesatuan tersebut.

Kegilaan dimunculkan oleh nafsu melalui sebuah gerakan yang sesuai bagi dirinya sendiri, mengancam apa yang membuat nafsu muncul. Kegilaan merupakan salah satu bentuk kesatuan bagaikan hukum-hukum yang dikompromikan, dinodai, dan dimanifestasikan dengan tindakan rasional.

Kegilaan bisa ditimbulkan dari aspek yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. Bisa karena faktor genetik, bisa pula disebabkan faktor empiris. Atau bisa dimungkinkan karena faktor kedua-duanya. Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas aspek-aspek yang melatarbelakangi kegilaan.

***

Orang gila tampaknya menjadi monster yang menakutkan, maka perlu “penyekapan”, pasung, dan bahkan pengasingan. Hadirnya seperti tiada, tetapi abai dengan tidak memperlakukannya secara manusiawi adalah bagian dari jatuhnya martabat rasional kemanusiaan sejatuh-jatuhnya.

Di Abad Pertengahan di Eropa, khususnya Prancis sampai masa Revolusi, pertunjukan orang gila dipertontonkan di hari Minggu dengan menarik karcis. Di sebuah lapangan terbuka pertunjukan parade “orang gila”, cukup ramai khalayak yang menyaksikannya. Inilah bentuk penghinaan atas kemanusiaan, dimana orang gila dianggap sama dengan binatang yang ditampilkan di pertunjukan-pertunjukan sirkus.

Pada masyarakat yang ada, di era yang lebih mutakhir, kegilaan bisa muncul kapan saja, muncul dengan sendirinya, karena keadaan-keadaan dirinya yang tidak padu antara tubuh dan pikirannya ... Ada juga kegilaan yang sengaja dimunculkan karena tengah dibutuhkan oleh sebab-sebab tertentu. Inilah yang biasa disebut gila jadi-jadian.

Sebagaimana di hari-hari ini, di negeri ini, tepatnya di wilayah Jawa Barat, muncul fenomena kegilaan menyasar pada tokoh agama Islam; Kiai/Ustaz. Tidak persis tahu, kegilaan yang memang apa adanya, atau justru kegilaan jadi-jadian untuk maksud-maksud tertentu.

Maka perlu adanya penelitian yang melibatkan unsur-unsur terkait: Apakah orang gila yang sebenarnya, atau orang gila jadi-jadian yang meneror para tokoh agama Islam itu. Memang tampak absurd, mungkinkah muncul secara masal orang gila di suatu daerah dengan obyek yang diburu adalah Kiai/Ustaz. Karenanya, fenomena orang gila itu disikapi oleh masyarakat dengan sikap kehati-hatian dalam menjaga para ulama di daerahnya dari teror orang gila.

Deteksi “filsuf” Rocky Gerung, dalam acara Talkshow ILC beberapa saat lalu menjadi menarik, “Kalau ada orang gila beroperasi [mencari mangsa], pasti ada orang yang lebih gila lagi yang mengendalikannya.” Tentu deteksi sang filsuf itu mesti dibuktikan kebenarannya, atau bahkan ketidakbenarannya. Tapi, asumsi publik melihat absurditas fenomena orang gila, menyimpulkan memang ada dalang, tentu bukan Ki Manteb Sudarsono atau Ki Anom Suroto. Ini dalang bukan sembarang dalang. Dalang yang dimungkinkan akan memprovokasi tanpa henti. Orang gila dan gila-gilaan dilebur hingga tidak dikenali mana sebenarnya yang benar-benar gila, dan mana yang gila jadi-jadian.

Para Kiai/Ustaz dan para tokoh agama mengingatkan pada para santrinya untuk tidak terprovokasi menghadapi kondisi yang ada. Namun pihak “di seberang sana” yang entah siapa “dalangnya” terus memprovokasi tanpa henti. Tidak mustahil “teror&#8221#8221; orang gila itu akan menembus juga ke wilayah-wilayah lainnya yang sekiranya potensial untuk “disinggahi”.

Dalang atau pengendali teror, jika itu yang terjadi, sebenarnya teroris dalam makna yang lain. Dalam kasus kegilaan “memburu” ulama, maka teroris penebar teror mesti diringkus sampai ke akar-akarnya, namun akar yang menjulang ke atas memang jarang bisa disentuh. Karenanya, bisa jadi, Densus 88 tidak diberdayakan untuk “mencabuti akar-akarnya”. Tidak seperti Gereja St. Lidwina di Sleman Yogyakarta, dimana pihak kepolisian tanggap dengan melibatkan Densus 88 untuk memburu “orang gila” yang lalu distempel radikalis.

Kita cuma mampu tertegun melihat semuanya, dan masyarakat di sekitar Pesantren/Masjid akan berjaga-jaga melindungi ulamanya, bisa jadi sampai Pilkada--khususnya Jawa Barat--berakhir, atau entah sampai kapan.

Oleh: Ady Amar
Pemerhati masalah sosial

Tulisan ini banyak berhutang kepada sebuah karya Michel Foucault, Madness and Civilization. Sebuah karya yang begitu kreatif berkenaan dengan Sejarah Kegilaan. [rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita