Faktor Prabowo di Balik Masuknya Jenderal (Purn) ke Kabinet?

Faktor Prabowo di Balik Masuknya Jenderal (Purn) ke Kabinet?

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi memasukkan dua jenderal ke dalam lingkaran utama pemerintahannya. Mereka adalah Jenderal TNI (Purn) Moeldoko sebagai Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) dan juga Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar sebagai anggota Wantimpres.

Masuknya dua jenderal purnawirawan yang memiliki pengaruh kuat itu bukan tanpa perhitungan dan sebab. Setidaknya ada tiga alasan mengapa Jokowi meramaikan kabinetnya dengan bertaburan bintang-bintang baik dari TNI maupun Polri. Sebelumnya sudah ada Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Kemaritiman dan Budi Gunawan yang menjadi Kepala BIN.

Pertama, langkah Jokowi ini, menurut pengamat politik dari Universitas Padjajaran Idil Akbar, untuk mengimbangi kekuatan Prabowo Subianto pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2019 nanti. Dua jenderal tersebut dijadikan figur pendamping Presiden untuk mengimbangi bentuk dan kekuatan militer dari Prabowo. Bukan rahasia jika Prabowo masih memiliki pengaruh kuat di TNI terutama di Angkatan Darat (AD).

"Kenapa kemudian pendekatan militer itu mulai intensif dilakukan oleh Jokowi saat ini? Saya kira memang dia melihat proses politik yang akan berjalan hingga 2019 ini, tidak ada nama lain selain Prabowo yang masih cukup kuat untuk menyainginya," jelas Idil, Ahad (4/2).

Idil memprediksi Jokowi juga sedang mencari figur yang dapat memberikan dukungan suara kepada dirinya nanti dalam pilpres. Terutama, sosok yang berasal dari kelompok agama Islam. Figur yang dicari Jokowi, menurut Idil, bukan hanya orang-orang yang berasal dari militer, tetapi juga yang punya kedekatan dengan umat Islam.

Perihal upaya mengimbangi Prabowo ini tampaknya bukan basa-basi. Lihat saja hasil survei LSI Denny JA yang dirilis pada pekan lalu, masih menyebutkan Prabowo sebagai lawan terkuat Jokowi pada Pilpres 2019. Yang lain kekuatan dan pengaruhnya masih jauh di bawah Prabowo.

Peneliti LSI Denny JA, Adjie Alfaraby, menjelaskan survei membagi capres penantang Jokowi dalam tiga divisi berdasarkan popularitas. Popularitas, kata dia, dinilai penting karena menjadi modal awal para tokoh untuk bertarung.

Divisi 1 untuk capres yang popularitasnya di atas 90 persen. Dari nama-nama yang akan bertarung, hanya Prabowo Subianto yang masuk ke dalam grup ini dengan tingkat popularitas mencapai 92,5 persen. ''Penantang di Divisi 1 hanya ditempati satu tokoh yaitu Prabowo Subianto. Sepi,'' ungkap Adjie, Jumat (2/2).

Divisi 2 adalah kelompok untuk capres dengan popularitas antara 70-90 persen. Tokoh yang masuk dalam Divisi 2 ini hanya Anies Baswedan dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Popularitas Anies Baswedan sebesar 76,7 persen dan AHY sebesar 71,2 persen. ''Riuh Pilkada DKI tahun lalu menjadi panggung nasional bagi dua tokoh ini,'' kata Adjie.

Divisi 3 merupakan kelompok capres yang popularitasya antara 55-70 persen. Tokoh yang memenuhi kriteria ini hanya Gatot Nurmantyo dengan popularitas 56,5 persen. Sayangnya, sejak pensiun, kiprah Gatot memudar. ''Padahal penonton masih rindu dan bertepuk tangan menanti atraksinya,'' ungkap Adjie.

Bila Prabowo dan Jokowi akhirnya benar-benar bertemu kembali pada Pilpres 2019, LSI Denny JA melihat Partai Gerindra akan sangat diuntungkan. Tahun 2019 akan menjadi kali pertama pemilu nasional serentak di mana dalam satu momen, pemilih mencoblos capres dan partai dalam pemilu legislatif.

Besar kemungkinan pemilih mencoblos capres sekaligus mencoblos partai utama capres. Menjadi kandidat terkuat penantang Jokowi, Prabowo otomatis melambungkan Partai Gerinda. Itu akan menjadi 'pemasaran' strategis bagi Gerindra sendiri.

Pada sisi lain, LSI Denny JA mengungkapkan peluang calon pejawat terpilih kembali sama besarnya dengan peluang tidak terpilih atau 50-50. Menurutnya, kemenangan di Pilpres 2019 akan ditentukan pengelolaan isu yang tepat oleh masing- masing calon. Ini artinya, peluang Jokowi untuk menang masih 50:50. Riskan.

''Sebesar 50 persen kemungkinan pejawat presiden terpilih kembali. Sebanyak itu pula, kemungkinan 50 persen pejawat dikalahkan,'' ujar Adjie.

Adjie menjelaskan, Indonesia baru melaksanakan pilpres langsung tiga kali pada 2004, 2009, 2014. Namun baru dua kali pejawat presiden bertarung kembali yakni Megawati pada 2004 dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2009.

Pada pemilu 2014, tak ada pejawat presiden yang bertarung. Presiden SBY sudah memangku jabatan dua periode dan sesuai aturan tak bisa maju kembali. Pilpres 2014 berlangsung tanpa kehadiran pejawat sebagai peserta. Pada 2004, pejawat presiden kalah. Pada 2009, pejawat presiden menang. Sejarah Indonesia menunjukkan angka.

Berkaca para Pilpres Amerika Serikat, kompetisi pejawat juga ketat. Berdasarkan data 18 kali pemilu presiden terakhir di mana pejawat maju kembali untuk periode kedua, 10 kali pejawat presiden menang dan delapan kali pejawat presiden kalah. Persentase pejawat untuk menang dalam pilpres AS tersebur sebesar 55 persen.

Berdasarkan kasus Indonesia dan AS, 50-55 persen pejawat presiden akan menang. Namun sebesar 45-50 persen pula pertahana akan kalah. Data statistik ini bisa jadi berita baik atau berita buruk untuk Jokowi selaku pejawat dan penantangnya kelak --tergantung pada pengelolaan isu yang mereka lakukan.

Dari riset LSI, pada Januari 2018 ini, elektabilitas Jokowi mencapai 48,50 persen. Di sisi lain, elektabiltas calon-calon pesaing Jokowi sebesar 41,20 persen dan ada 10,30 persen orang yang belum menentukan pilihan. Dari data itu, LSI melihat Jokowi sudah kuat tapi belum aman.

Alasan kedua, Jokowi butuh jaringan di militer untuk memperkuat posisinya pada Pilpres 2019. Ini mengingat penantang terkuatnya saat ini, Prabowo, masih berpengaruh kuat dan memiliki jaringan lebar di militer. Nama Prabowo masih punya pengaruh kuat di kalangan militer.

Militer masih memiliki pengaruh dan power di masyarakat sehingga tidak mungkin mengabaikan peran mereka dalam proses pemilu. Di sinilah mengapa Jokowi membawa Agum Gumelar dan Moeldoko ke dalam lingkaran satu pemerintahannya. Apalagi, Agum Gumelar memiliki basis massa dan pengaruh cukup kuat di Jawa Barat, wilayah yang pada Pilpres 2014 lalu dimenangkan Prabowo dengan telak.

Ketiga, ada pemilih yang menempatkan militer sebagai tumpuan. Tidak heran jika Prabowo mendulang suara dari kelompok ini. Jokowi mencoba masuk ke kantong-kantong ini sekaligus menghapus citra jika selama ini Presiden ada masalah dengan militer alias tidak harmonis.

Hal ini merujuk pada hubungan yang 'kurang hangat' antara Presiden dan Panglima TNI saat itu, Gatot Nurmantyo. Pembentukan citra Presiden yang tidak ada masalah dengan militer menjadi sangat penting untuk meyakinkan pemilih kelompok ini.

Oleh: Silvy Dian Setiawan, Dessy Suciati Saputri

[rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita