DPR Didesak Cabut Pasal RUU KUHP Berpotensi Bungkam Kebebasan Pers

DPR Didesak Cabut Pasal RUU KUHP Berpotensi Bungkam Kebebasan Pers

Gelora Media
facebook twitter whatsapp
www.gelora.co -  LBH Pers bersama AJI Indonesia, AJI Jakarta, AMSI, MAPPI, SAFENET, dan Remotivi mendesak DPR mencabut pasal-pasal dalam revisi RUU KUHP yang berpotensi membungkam kebebasan pers.

Permintaan itu merupakan salah satu isi dari tiga pernyataan sikap yang dibacakan dalam jumpa pers terkait revisi UU KUHP di Kantor LBH Pers Jakarta, Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (13/2).

Perwakilan LBH Pers, Ade Wahyudi membacakan pernyataan sikap yang berisi tiga tuntutan. Pertama pihaknya mendesak pemerintah dan DPR menghormati jaminan atas kebebasan berpendapat dan berekspresi yang telah diatur dalam konstitusi dan konvensi internasional tentang hak sipil dan deklarasi universal HAM serta UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dalam merumuskan pasal-pasal RUU KUHP.

"Dua, meminta pemerintah dan DPR mencabut rumusan pasal-pasal yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers," tegasnya.

Pernyataan sikap ketiga, Ade menyampaikan pihaknya meminta pemerintah dan DPR mengedepankan prinsip penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM khususnya kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam rumusan RUU KUHP. Ada 16 pasal dalam RUU KUHP yang dinilai berpotensi membungkam pers.

Keenam belas pasal tersebut yaitu Pasal 309 dan 310 yang mengatur penyiaran berita bohong dan berita yang tidak pasti. Ada juga Pasal 328 dan 329 terkait gangguan dan penyesatan proses pengadilan dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.

Selain itu ada Pasal 771, 772, dan 773 terkait tindak pidana penerbitan dan percetakan. Serta sembilan pasal (228, 229, 230, 234, 235, 236, 237, 238, dan 239) terkait membuat, mengumpulkan, menyimpan, membuka rahasia negara dan pembocoran rahasia negara dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.

Wakil Ketua AJI Indonesia, Revolusi Riza menyampaikan revisi UU KUHP harus dikritisi karena merupakan bentuk sebuah kemunduran. Delik pasal penghinaan kepada kepala negara juga menurutnya naik dua kali lipat dan ancaman hukumannya lebih parah dari ancaman pidana dalam pasal penghinaan kepala negara dari UU KUHP saat ini yang merupakan produk hukum kolonialisme Belanda.

Terkait pasal yang berpotensi membungkam kemerdekaan pers, Revo mengatakan jurnalis berpotensi dijerat menyebarkan berita bohong jika pernyataan narasumber berubah-ubah. Ia mencontohkan pernyataan bakal cagub Jawa Timur, La Nyalla Mattalitti terkait mahar politik beberapa waktu lalu.

"Kalau misalnya narasumbernya yang berubah-ubah seperti satu kasus ketika ada salah satu bakal calon gubernur Jawa Timur melakukan konferensi pers secara terbuka mengundang para wartawan dan ia dimintai sejumlah uang oleh salah satu elit partai, kemudian beritanya menjadi besar, menggelinding, dan kemudian partai tersebut melakukan klarifikasi," jelasnya.

"Dan beberapa hari kemudian bakal calon tersebut mencabut keterangan pernyataannya. Dalam hal ini jurnalis bisa dianggap menyebarkan berita bohong. Karena politisi tadi membantah pernah memberikan pernyataan setelah sekian hari pemberitaan itu," lanjutnya.  (ma)
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita