Tak Nyaman Di Kandang “Banteng”, Jokowi Berteduh Di Bawah “Pohon Beringin”

Tak Nyaman Di Kandang “Banteng”, Jokowi Berteduh Di Bawah “Pohon Beringin”

Gelora News
facebook twitter whatsapp


www.gelora.co - Tak Nyaman Di Kandang “Banteng”, Jokowi Berteduh Di Bawah “Pohon Beringin”

Presiden Joko Widodo dan Titiek Soeharto terlihat berduaan di sebuah sudut pekarangan Istana Bogor. Foto yang beredar pekan lalu itu, sepertinya tak begitu menarik perhatian banyak politisi, apalagi pengamat. Hal mana tergambar dari tidak adanya komentar atas gambar tersebut.

Semua sibuk dengan kegiatan politik rutin. Yang paling nyata kesibukan soal penyelenggaraan Munaslub Golkar serta menunggu hasil Pra Peradilan Setya Novanto.

Namun sesungguhnya dari perspektif politik masa kini, foto Jokowi – Titiek Soeharto ini cukup berbicara banyak.

Presiden Joko Widodo pasti punya alasan politik yang kuat, mengapa dia mau merima Titiek Soeharto yang nota bene kader Golkar dan satu-satunya anak Presiden Soeharto yang terjun secara langsung dan terbuka ke dunia politik saat ini.

Pertanyaan pun mengemuka. Apakah Titiek Soeharto hanya ingin bertamu sebagai warga negara biasa atau ada kaitan dengan semua emblem yang melekat dalam dirinya ?

Misalkan apakah dia serius merespon keinginan sejumlah kalangan yang mendorongnya untuk menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar ?

Pertanyaan ini patut diajukan. Sebab ketika tak satu politisi atau negarawan yang berani mempersoalkan status Setya Novanto sebagai Ketua Umum DPP Golkar yang bermasalah, adalah Titiek yang fungsionaris Golkar yang berani bersuara. Dia minta agar Setya Novanto dengan jiwa besar mengundurkan diri.

Sebagai politisi, pernyataan itu wajar. Tapi sebagai anak Soeharto, Presiden yang terbiasa tidak pernah berbicara secara konfrontatif seperti itu, pernyataan tersebut merupakan fenomena baru. Baik bagi politisi wanita ataupun “Trah Cendana”, “Trah Soeharto”.

Masalah lain yang mengemuka dari pertemuan tersebut, apakah Titiek yang eks isteri Prabowo Subianto, Ketua Umum/Pendiri Partai Gerindra, membawa pesan khusus dari sang mantan ?.

Karena dari bahasa tubuh kedua insan tersebut, Titiek dan Prabowo memiliki obsesi yang sama terhadap bagaimana Indonesia ke depan – negara yang pernah dipimpin oleh almarhum ayahnya – Soeharto, selama 32 tahun, harus diselamatkan.

Jika diperhatikan isi website pribadi Titiek Soeharto yang mengunggah cerita-cerita sukses yang dibuat almarhum ayahnya tentang Indonesia, sangat jelas sarjana ekonomi lulusan Universitas Indonesia ini, cukup prihatin dengan keadaan Indonesia masa kini.

Titiek Soeharto tidak melegendakan almarhum jenderal Soeharto. Namun tergambar, Titiek sedang berjuang untuk memperbaiki citra negatif ayahnya, yang terlanjur sudah di- “default” oleh sejumlah kalangan sebagai penyebab dari semua kemalangan dan permasalahan Indonesia.

Hadirnya Titiek membela sang ayah, merupakan responnya atas berbagai gravity di tembok dan bis serta truk antar kota yang bertuliskan : “Masih Enak Jamanku Toh?”. Tulisan mana dilengkapi dengan gambar almarhum Pak Harto yang tengah tersenyum.

Kalau dilihat keterlibatan Titiek dalam aksi damai Islam di Monas tahun lalu – yang secara politik ingin menggembosi pemerintahan Presiden Jokowi, jelas Titiek masih sedang berada dalam satu kubu dengan eks suaminya. Hal mana kemudian menimbulkan spekulasi bahwa “Keluarga Cendana”, berkepentingan Jokowi gagal dalam memimpin Indonesia.

Namun kembali ke foto Jokowi dan Titiek yang berduaan di salah satu sudut halaman Istana Bogor. Foto ini sepertinya berbicara tentang sebuah momentum, dimana Titiek berubah dan Jokowi pun kurang lebih sama.

Titiek berhasil menjalankan diplomasi. Yakni meyakinkan Jokowi agar lebih percaya pada Golkar, ketimbang partai lainnya.

Tanpa diplomasi, mustahil Titiek Soeharto bisa menembus Istana Bogor, tempat Jokowi menetap sebagai Presiden belakangan ini, tempat hunian yang dijaga ketat oleh Paspampres.

Paling tidak, Titiek membawa pesan. Bahwasanya, dukungan Golkar lewat Ketum Setya Novanto jauh-jauh hari terhadap Jokowi untuk tetap terpilih sebagai Presiden di Pilpres 2019, bukan sebuah keputusan pribadi mas Setnov. Keputusan itu merupakan sikap resmi Partai Golkar dan tidak akan dengan mudah dirubah oleh siapapun yang menggantikan Setya Novanto di kursi Golkar-1.

Namun yang lebih mendasar dari ini semua, inilah mungkin pertama kalinya dalam kehidupan Jokowi sebagai Presiden, Jokowi “di-wongke-kan” oleh politisi yang sebetulnya merupakan saingan politiknya sejak awal.

Jokowi memang kader PDIP. Sejak menjadi Walikota Solo hingga Gubernur DKI dan Presiden RI, Jokowi selalu menggunakan partai berlambang Kepala Banteng itu sebagai kendaraan politiknya.

Namun kalau mau jujur, di dalam partai itu sendiri, Jokowi tak ubahnya dengan seorang “kader-kaderan”. Yang kapan diperlukan akan dicari oleh induk partainya, tapi manakala kurang dibutuhkan, Jokowi tak pernah dicari.

Di internal PDIP, Jokowi mungkin tidak dibenci atapun tak disukai. Tapi PDIP pun tidak merindukan apalagi merasa sangat membutuhkannya.

Sebagai manusia biasa yang punya kepekaaan dan lelaki bermartabat, tentu saja situasi seperti ini membuatnya merasa tidak nyaman.

Jokowi paham dengan manuver politik yag menempatkannya dalam posisi seperti itu.

Jokowi semakin paham, ketika Jokowi sempat diberi label sebagai “Petugas Partai”.

Julukan tersebut tidak sepenuhnya salah dan keliru. Tetapi julukan itu menjadi sesuatu yang tidak patut, ketika nuansa dan cara menyampaikannya, tepat pada saat yang tidak kondusif.

Masih segar dalam ingatan, ketika Jokowi yang baru beberapa bulan terpilih sebagai Presiden, kemudian diundang hadir di sebuah perhelatan besar partainya yang digelar di Pulau Dewata.

Jokowi yang sudah mengenakan jaket merah, tanda bahwa dia sebagai kader PDIP, namun tidak mendapatkan panggung sebagaimana mestinya – seorang Kepala Pemerintahan/Kepala Negara RI.

Peristiwa yang terjadi di tahun 2015 itu, memang mungkin sudah dilupakan Jokowi atau telah terlupakan oleh banyak kalangan.

Tetapi tanpa disengaja, tahun 2017 ini, kejadian yang hampir sama dimana Jokowi seperti bukan bagian dari orang yang harus diperhitungkan partainya, kembali berulang.

Artinya, “Insiden” Pulau Dewata itu, tak berhenti di Pulau Bali. Melainkkan berlanjut hingga ke Jakarta, khususnya di Parlemen Senayan.

Saat ini, Jokowi sebetulnya memerlukan dukungan PDIP. Banyak hal yang bisa dinetralisir, bila PDIP bersuara untuk menunjukkan keberpihakan partai itu kepada Jokowi.

Namun ini tidak terjadi

Yang santer terdengar, PDIP justru sedang mempersiapkan seorang pejabat untuk menjadi Cawapresnya Jokowi di Pilpres 2019.

Pejabat yang sama, juga disebut-sebut bakal menggantikan Megawati Soekarnoputri dari posisi Ketua Umum.

Tidak "connect" jadinya.

Yang sono sibuk itu, yang sini sibuk sendiri

Di luar itu, berkali-kali Jokowi “diserang” oleh anggota Fraksi PDIP dengan embel-embel yang menyebutnya sebagai Presiden yang ‘tidak punya kapabilitas’. Benar tidaknya label tersebut, tergantung siapa yang menafsirkannya.

Tetapi karena yang menyuarakannya kader PDIP sendiri sementara Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum, tidak pernah menegur kader yang bersangkutan, bacaan orang awam berkesimpulan bahwa pernyataan itu pasti bagian dari kebijkaan korporat partai.

Diamnya Megawati terhadap suara yang “mengerdilkan” Presiden Jokowi, merupakan pertanda, Presiden ke-5 RI tersebut, terlalu demokratis memperlakukan anak buahnya.

Atau Megawati tidak punya keberanian, menegakkan disiplin dan kode etik partai.

Megawati memanjakan ank buah yang 'mbalelo' sementara Presiden Jokowi diperlakukan seperti 'anak tiri'.

Pokoknya bermacam-macam penafsiran, mengemuka dari kritik internal PDIP ini.

Sebagai pemerhati yang tidak pernah sungkan mengaku memiliki kedekatan dengan sejumlah tokoh PDIP, saya sendiri beberapa kali mengkritisi berbagai kebijakan Presiden Jokowi.

Namun saya sadar ada wailayah tertentu yang tidak boleh dilewati.

Baik buruknya Jokowi sebagai seorang Presiden, warganya tidak bisa semena-mena merendahkan kemampuan apalagi martabatnya sebagai manusia biasa.

Pegangan yang saya lakukan dalam mengkritisi sesuatu, harus berpijak pada posisi berdiri dengan kuda-kuda yang tegar. Tak rentan dari pengaruh emosi apalagi faktor “like and dislike”.

Dan kritikan orang dalam PDIP terhadap Presiden Jokowi, tidak seperti yang saya maksudkan.

Kritikan mana pada akhirnya dibaca oleh pihak eksternal PDIP – bahwa Jokowi sedang berada dalam situasi yang tidak “nyaman” dengan partainya.

Ini sebuah peluang menggoda Presiden Jokowi agar mau berpaling ke partai lain. Mencari pengamanan, harus segera dilakukan.

Kepentingan bersama, saling bertemu. Jokowi perlu sahabat politik yang mau beterus terang. Itulah yang ditawarkan Golkar.

Golkar kurang lebih sama. Tengah mecari pemimpin atau tokoh yang seperti kertas putih, yang belum ada coretan merah di dalamnya.

Dan itulah yang terjadi pada Jokowi saat ini.

Ketika Jokowi tidak merasa nyaman berada di kandang “Banteng”, iapun mencari perlindungan. Kebetulan ada yang menawarinya untuk berlindung di bawah “Pohon Beringin”.

Ulasan pendek seputar pertemuan Jokowi – Titiek di Istana Bogor :

Berarti dalam waktu yang relatif singkat, keduanya dua kali bertemu. Alasannya pasti penting. Sehingga tidak butuh banyak waktu dan prosedur untuk merealisasikannya.

Sebelumnya, Titiek dalam kapasitas sebagai pengurus FKPPI (Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan ABRI), telah menemui Presiden Jokowi.

Manakala bertemu – dalam kapasitas sebgai fungsionaris FKPPI, Titiek berpakaian dan berdandan rada formal. Sementara ketika keduanya bertemu dan berbincang-bincang di halaman Istana Bogor, keduanya mengenakan baju olahraga kasual.

Keduanya pun nampak rileks dan bersahabat.

Pertemuan ini semakin memperlihatkan, bahwa posisi politik Presiden Joko Widodo sudah berubah. Dalam arti menguat dan menjadi indikator yang perlu diperhitungkan.

Golkar sadar akan perubahan tersebut.

Golkar kemudian tambah memperkuat posisi itu. Baik lewat Titiek Soeharto maupun audiensi sejumlah pengurus DPD Tingkat Golkar.

Di zaman reformasi ini, istiah “menghadap Presiden”, sudah tidak pernah terdengar. Tapi kemarin adalah Presiden Jokowi sendiri yag memastikan para tokoh Golkar itu yang menghadapnya.

Sebuah perubahan yang dilakukan secara halus.

Namun itulah politik. Yang tidak mengenal adanya kawan dan lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan.

Kepentingan inilah yang menjadi taruhan. Soal siapa yang menang, itu masalah berikutnya.

Yang sudah terlihat Jokowi senang, Titiek Soeharto pun senang.

Yang tidak senang, mungkin cuma mereka yang bukan dari Golkar masa datang dan yang pro Setya Novanto.

***

Oleh Derek Manangka*

(Wartawan senior)

Sumber: fb penulis [pid]

BERIKUTNYA
SEBELUMNYA