Jangan Baca Tulisan Ini! : Buzzer Bayaran dan Tahi Kucing Rasa Coklat

Jangan Baca Tulisan Ini! : Buzzer Bayaran dan Tahi Kucing Rasa Coklat

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Oleh Abdullah Sammy

Mohon maaf, saya bukan tak ingin anda semua membaca tulisan ini. Justru dengan judul di atas, saya ingin memakai eksperimen psikologi terbalik yang dicetuskan dua orang filsuf asal Jerman Theodor Adorno dan Max Horkheimer.

Metode ini memanfaatkan emosi negatif dalam diri manusia, yang mana tiap orang punya kecenderungan untuk melawan arahan atau perintah. Jadi sebenarnya dengan judul perintah untuk tidak membaca, saya justru ingin Anda semua untuk membaca tulisan ini.

Alhamdulillah, sampai pada paragraf ini anda-anda masih membaca tulisan ini. Kebetulan pula bahasan dalam tulisan ini tersangkut paut dengan dunia psikologi.

Ini ada hubungannya pula dengan psikologi terbalik yang membalik rasionalitas. Ini terkait tingkah polah manusia yang punya kecenderungan untuk berpikir irasional.

Pemenang nobel bidang ekonomi, Robert Shiller, punya sebuah teori tentang tingkah polah manusia yang irasional ini. Lewat bukunya berjudul The Economics of Manipulation and Deception, Shiller menggarisbawahi bahwa tindakan irasional seorang manusia bisa dihasilkan lewat manipulasi yang dilakukan manusia lain.

Shiller mencontohkan tingkah irasional manusia dari sisi ekonomi. Dia menyoroti bagaimana manipulasi strategi marketing bisa membuat manusia lupa diri dalam menghabiskan seluruh uangnya. Sehingga kita kemudian mengenal istilah 'lebih besar pasak daripada tiang'. Karena terdorong emosi dan nafsu, manusia jadi menomorduakan akal sehat dalam mengatur keuangannya.

Shiller juga turut mengutip buku karya Robert Cialdini berjudul Influence: Science and Practice. Dalam buku dijelaskan konsep social proof. Konsep ini adalah kecenderungan manusia merasa tindakannya benar apabila mengikuti tindakan yang dilakukan orang kebanyakan.

Di Indonesia pembuktian akan konsep social proof ini cukup sederhana. Kita cukup melakukan eksperimen di tengah jalan raya. Saat ada lima pengendara motor yang tiba-tiba berhenti di pinggir jalan sambil memandang ke arah yang sama, niscaya akan ada pengendara lain yang mengikuti tindakan kelima pengendara itu.

Tindakan ini bagian dari tingkah irasional yang kerap kita juga lakukan di jalanan. Padahal secara rasional kita sendiri tak tahu apa yang dilihat dan siapa kelima pengendara yang berhenti itu.

Konsep social proof juga bisa berarti manusia merasa benar jika mengikuti tindakan manusia lain yang diakui 'benar' oleh orang kebanyakan. Ini bisa tercermin dengan cara marketing perusahaan yang memakai sosok selebritis yang punya banyak followers dalam memasarkan produknya.

Masyarakat yang jadi followers si seleb punya kecenderungan untuk tertarik lebih jauh pada produk yang diiklankan si seleb tersebut. Semua bukan karena rasionalitas dalam menilai kualitas atau kebutuhan akan produk yang diiklankan tersebut. Melainkan karena irasionalitas karena ingin mengikuti atau percaya atas si seleb

Karena itu dewasa ini kita kerap melihat banyak selebritas yang menjadikan akun sosial medianya untuk mengendorse sebuah produk tertentu. Semua ini jadi bukti tentang social proof yang dipakai oleh marketing sebuah perusahaan.

Walhasil, dengan strategi yang memantik irasional manusia, akhirnya logika jadi nomor dua. Pada akhirnya tak jarang dari konsumen yang jadi korban akibat terus mengonsumsi barang atas pertimbangan irasional tersebut. Produsen yang kaya akhirnya semakin kaya, sedangkan konsumen nasibnya begitu-begitu saja.

Social proof ini akhirnya mengantarkan masyarakat terperdaya oleh pencitraan dan iklan. Media pun akhirnya jadi alat utama untuk melanggengkan manipulasi manusia atas manusia. Secara tak sadar, media tak lagi jadi alat untuk mendidik masyarakat untuk menjadi rasional. Tapi sebaliknya, media justru punya kecenderungan menggiring masyarakat jadi irasional.

Itulah kenyataan yang semakin mewabah zaman now. Konsep yang memanfaatkan sisi irasional manusia juga tak hanya terjadi di sektor ekonomi, melainkan di segala sisi, termasuk politik.

Dalam konteks politik, strategi social proof memang bukan barang baru. Ini utamanya dalam meyakinkan pemilih. Dengan kekuatan modal, seseorang bisa membangun pencitraan positif di media. Seseorang pun bisa menyewa buzzer-buzzer di sosial media sehingga mengesankan afiliasi politiknya sebagai arus utama.

Di Indonesia yang baru saja mengenal pemilihan langsung sejak 2004, strategi social proof sudah dilakukan sejak awal. Di 2004, kita masih mengingat bagaimana polling-polling via telepon begitu krusial dalam medongkrak elektabilitas SBY.

Memasuki periode 2009, era polling via telepon sudah berlalu. Datanglah era survei-survei-an lembaga politik. Ini pun jadi sarana untuk membentuk social proof sejak 2009. Walhasil mulai bermunculan-lah lembaga survei dari yang kredibel sampai yang abal-abal.

Memasuki era 2014, sarana social proof makin bergeser. Survei oleh lembaga-lembaga masih jadi sarana untuk mempengaruhi pemilih. Tapi muncul pula satu sarana lain via sosial media. Sarana untuk mempengaruhi itu adalah dengan mengandalkan selebritis atau 'tentara bayaran' di media sosial. Ini guna menciptakan arus popularitas, atau trending di dunia maya.

Tentara bayaran ini bekerja untuk membentuk opini di media sosial. Yang celaka, tentara bayaran bahkan bisa masuk ke dunia jurnalistik.

Dalam level yang paling rendah, tentara bayaran ini bekerja di kolom komentar laman pemberitaan. Mereka umumnya bekerja untuk mengomentari setiap berita yang terkait jagonya atau lawan politiknya.

Tapi ada level yang lebih tinggi, tentara bayaran ini bisa membentuk laman berita sendiri. Mereka juga bisa bermetamorfosis sebagai narasumber bahkan penulis. Apa pun itu levelnya, tugas mereka hanya dua; mengangkat citra atau menghancurkanya.

Ya, era 2014 telah menghasilkan transformasi baru. Social proof tak hanya dilancarkan untuk memanipulasi rasa simpati irasional pemilih. Sebaliknya, social proof bisa dilakukan untuk memanipulasi masyarakat untuk membenci secara irasional pula.

Rasa benci dan cinta dalam politik akhirnya didasari pertimbangan irasional pula. Yang cinta merasa junjungannya selalu benar. Yang benci merasa yang dibenci selalu salah. Konsep benar salah pun diakuisisi menjadi barang privat.
Sayangnya, kenyataan ini yang kini terjadi di tengah masyarakat kita yang terbelah pada dua preferensi politik berbeda. Walhasil, situasi politik di tengah masyarakat jadi begitu semerawut, bak benang kusut.

Suka atau tidak, fenomena benang kusut ini merupakan efek usai Pilpres 2014. Rivalitas head to head antara Jokowi dan Prabowo masih memisahkan masyarakat pada dua kutub politik yang padat.

Masyarakat yang simpati pada Jokowi akhirnya kini menjadi pro pemerintah. Sebaliknya yang tidak memilih Jokowi mengambil posisi sebagai kekuatan oposan. Sampai pada titik ini sejatinya tak ada masalah.

Tapi buah karya tentara bayaran telah berefek pada munculnya kalangan irasional di kedua belah kubu. Celakanya jumlah simpatisan irasional di kedua kubu sama-sama besar.

Kalangan irasional di kubu pro Jokowi menganggap apa yang pemerintahan Jokowi lakukan selalu benar. Sebaliknya yang kontra menilai, semua problematika dalam negara ini adalah salah Jokowi.

Situasi ini semakin meruncing lepas Pilkada DKI. Sekalipun polarisasinya tak 100 persen sama, tapi suara masyarakat irasional tetap terbelah secara identik. Pemilih irasional Jokowi adalah pemilih irasional Ahok. Pun halnya pemilih irasional Prabowo adalah pemilu irasional Anies Baswedan.

Lucunya situasi semakin kusut usai Pilkada DKI. Ketika Anies yang sekarang berkuasa, maka dua kubu ini pun ganti baju. Kubu irasional yang satu mendukung penuh Jokowi, tapi berusaha mendelegitimasi Anies di DKI. Pun sebaliknya.

Padahal kesuksesan Anies dalam membangun DKI sejatinya turut pula membantu kesuksesan Jokowi dalam membangun Indonesia. Tapi masyarakat irasional sudah tak peduli soal itu. Bagi mereka konsep kesuksesan adalah saat junjungannya meraih kuasa, sedangkan lawan politik porak poranda.

Banyak yang kemudian bersuara bahwa segala kesemrawutan politik terjadi karena isu SARA ditarik ke ranah politik. Banyak kemudian yang mengaitkan hal ini dengan Pemilu DKI 2017 lalu. Padangan yang bisa benar atau sebaliknya. Mari kita uji secara seksama.

Kapan sebenarnya isu SARA mulai dijadikan strategi untuk menyerang lawan politik? Apakah baru dilancarkan Obor Rakyat pada Jokowi 2014 lalu?

Sejatinya pada 2009 pun isu SARA sudah dijadikan kampanye hitam di sebuah "
'surat kabar kuning'. Serangan isu hitam itu adalah soal agama Ani Yudhoyono yang dituding non-muslim.

Tapi sejak awal, SBY lihai dalam menempatkan strategi. Serangan hitam itu tak digubris yang membuat SBY justru mendapat simpati. Isu SARA yang sejak awal dihembuskan pada 2009, nyatanya tak pernah mempan memengaruhi pemilih.

Lantas bagaimana dengan Pilkada DKI 2017? Apakah ada isu yang menyinggung SARA yang berhembus? 
Mengatakan Pilkada DKI tak ada isu SARA adalah omong kosong. Tapi tak hanya satu pasangan yang terkena hantaman isu SARA, melainkan seluruhnya.

Ada yang dihantam soal isu Syiah, Wahabi, non-musim, hingga identitas ras. Tapi pertanyaannya kemudian apakah memilih dengan dasar kepercayaan itu SARA? Pertanyaan yang jawabannya bisa beragam. Yang jelas SARA adalah tindakan yang serius yang punya konsekuensi hukum.

Itu artinya, siapapun yang bermain SARA di DKI bukan divonis opini via social proof. SARA mesti dibuktikan secara hukum. Dan hukum Indonesia sudah menjerat siapa-siapa pelaku SARA selama Pilkada DKI kemarin. Jika mengaku cinta NKRI maka hukumlah yang dijadikan panglima, bukan justru opini apalagi social proof yang menentukan siapa pelaku SARA.

Apa pun itu, bagi pendukung yang lanjur berpikir irasional, fakta sudah tak fundamental. Mereka lanjur percaya pada opini dan social proof yang dimainkan oleh tentara bayaran.

Sejatinya dalam kondisi seperti ini media mesti memegang peranan penting. Memang, media bukannya tak bebas nilai. Media bukan tak boleh dalam menyikapi fenomena politik. Sah-sah saja jika media kemudian punya preferensi. Namun semua itu harus pada pertimbangan rasionalitas dan objektivitas.

Jadi celaka jika media justru bertindak irasional dalam pemberitaannya. Saya ingin mengambil contoh saat sebuah media mengutip pernyataan Boni Hargens yang menyatakan lawan Jokowi di 2019 adalah kalangan radikal. Sebuah pernyataan yang bisa dikritisi tingkat rasionalitasnya. Rasio paling mudah adalah mempertanyakan siapakah Boni, relawan Jokowi atau pengamat?

Kedua apakah sentimen itu sesuai logika atau bagian dalam memanipulasi orang dalam berpikir irasional? 
Kata demi kata pada akhirnya sulit untuk menggoyahkan orang yang sudah berpikir irasional. Ibarat orang yang sudah jatuh cinta, niscaya sia-sia memberi mereka nasehat.

Seperti kata Gombloh dalam lagunya berjudul Lelucon Pendek, "Kalau cinta (sudah) melekat, tai kucing (terasa) coklat."
Begitu pun kalau sudah benci sudah membara, coklat bisa terasa seperti tahi kuda!.[rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita