Anies Baswedan Sudah Terbukti Gagal

Anies Baswedan Sudah Terbukti Gagal

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Judul di atas mungkin kini ada di kepala orang-orang yang masih mengidap penyakit baper kronis usai Pilgub DKI 2017. Ya, selain menimbulkan perseteruan panas, Pilgub DKI lalu memang merusak sebagian objektivitas dan rasionalitas dalam berpikir. Konsep keadilan dalam berpikir sudah tak ada lagi di kepala sebagian barisan sakit hati.

Sebaliknya, yang tersisa dari Pilgub adalah semangat untuk membalas dendam kekalahan. Memang tak semua yang mengidap penyakit kejiwaan bawaan Pilkada ini. Warisan Pilkada memang begitu dalam. Ini mirip seperti Pilpres 2014. Sejak itulah kita mengenal kata haters atau mereka yang membenci calon terpilih.

 Sedikit intermezo saja. Haters sejatinya merupakan leksikon bahasa Amerika yang diciptakan oleh aktor Will Smith. Pada tahun 1997, Smith memperkenalkan istilah haters lewat lagu hits-nya Gettin’ Jiggy wit It. Smith mengartikan haters sebagai orang yang cemburu pada keberhasilan orang lain.

 Dengan filosofi yang sama kita bisa mengartikan haters di dunia politik adalah orang-orang yang dipenuhi rasa cemburu karena kekuasaan yang bertepuk sebelah tangan. Jadi layaknya orang yang sedang dibakar cemburu, logika adalah barang nomor dua. Emosi jadi semangat utama haters ini. Sehingga wajar haters tak butuh rasionalitas.

 Celakanya haters yang menggadaikan rasionalitas ini ada di segala lapisan, utamanya orang terdidik. Profesor hukum dari Wake Forest University, Gregory S Parks bahkan menilai haters ini adalah orang yang menipu akalnya sendiri. Tak peduli tingkat kecerdasannya, haters memanipulasi rasionalitas demi melanggengkan kebenciannya.

 Kita mesti bersyukur Pilkada DKI tak hanya memproduksi haters. Sebab masih ada dari dari Ahoker yang punya rasionalitas untuk menilai kinerja gubernur baru, Anies Baswedan. Di sisi lain, banyak Aniser yang juga masih tetap berpikir kritis sekalipun yang berkuasa adalah jagonya.

 Sayangnya kecenderungan baper tetap masih besar, bahkan di kalangan media. Jurnalis sebagai warga negara biasa memang punya preferensi politik pribadi. Celakanya, preferensi pribadi ini masuk ke ruang redaksi. Jurnalis harusnya terbebas dari subjektivitas politik. Tapi semua hanya bait pemanis kata dalam kode etika. Gejolak hati membuat banyak jurnalis, tak peduli zaman old atau zaman now juga ikut dalam pusaran baper atau cheerleader. 

Sebagai pribadi, saya pun harus mengakui punya pula preferensi politik tertentu. Dan di lingkungan, saya termasuk orang yang terbuka dalam menyatakan pilihan dan penilaian politik pribadi. Dalam kesempatan berdiskusi dengan rekan sekantor jelang Pilgub, saya sejak awal kurang mempercayai janji kampanye Anies sebagai calon gubernur yang terlalu bombastis. 

 Lebih jauh, biarlah urusan preferensi itu saya telan sendiri. Satu hal yang jelas kini, Anies dengan janji-janji manisnya telah melenggang ke Balaikota. Mau tak mau atau suka tidak suka, Anies telah menjadi gubernur yang memimpin kita semua, warga DKI Jakarta.

 Berhasil dan gagalnya seorang gubernur yang merasakan kita semua selaku warga. Jadi kritikan sejatinya adalah sebuah kewajiban bin keharusan. Sebab dengan kritik pejabat akan lebih terkontrol dalam menjalankan laju kekuasaannya sehingga sesuai koridor dan tujuan untuk mensejahterakan rakyat. 

 Celakanya banyak dari kita yang sulit membedakan mana itu kritikan dan kebencian. Ada sedikit contoh saat ada kawan yang sedikit marah saat saya mengkritisi Anies dalam tulisan berjudul 'Kritik Pertama untuk Anies Baswedan' yang dimuat ROL pada 18 Oktober 2017. 

 Aniser itu menganggap saya bagian dari barisan sakit hati yang sengaja mencari celah kesalahan dari gubernur yang saat itu baru menjabat sehari. Padahal di sisi lain, sekitar setahun sebelumnya, Ahok pun dikritisi dalam tulisan 'Ahok, Media, dan Teluk Jakarta' yang dimuat ROL pada 7 April 2017. 

 Kritikan bagi Anis dan Ahok itu bobot nilainya sama, yakni saat pejabat salah melangkah dan bersikap maka siapapun orangnya mesti dikritisi habis. Sandaran nilai-nilai inilah yang menjadi semangat bagi kita untuk tetap waras dan fair di tengah serbuan cheerleader dan kaum baper.

 Yang harus kita bela sesungguhnya adalah nilai positif seperti kejujuran, transparansi, toleransi, respek, dan kedisiplinan. Dan harusnya atas dasar itulah kita bersimpati kepada sang pemimpin. Namun kecenderungannya zaman now, kita terlalu mudah bersimpati pada pemimpin karena rajin masuk got, menciptakan album lagu, gebrak meja, atau canggih dalam beretorika. Bukan itu.

 Yang harusnya kita bela adalah nilai-nilai luhur yang dimiliki siapapun pejabatnya. Jadi selama nilai luhur itu tak dijalankan, tak peduli Jokowi, Ahok, atau Anies mesti dikritisi habis. 

Dalam konteks Anies Baswedan, kini yang sedang hangat disorot adalah penyusunan RAPBD DKI 2018. Ada beberapa pengalokasian anggaran yang mengundang kontroversi. Dua hal yang paling disorot adalah anggaran kolam ikan DPRD DKI senilai Rp 620 juta. Sorotan tak kalah besar juga pada anggaran Tim Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP)  sebesar Rp 28,99 miliar. Padahal di era Ahok penganggarannya hanya Rp 2,35 miliar. 

 Mari kita soroti soal anggaran TGUPP yang melonjak paling tajam. Pihak Pemprov beralasan anggaran tinggi adalah karena penambahan personel tim pendukung gubernur sebanyak 73 orang. Alibinya adalah ke-73 orang itu diisi para ahli di segala bidang. 

 Tapi pada kenyataannya, kita sudah pernah punya berbagai lembaga ahli yang dibentuk di tingkatan pemerintah pusat. Tapi faktanya lembaga para penasehat yang personelnya gemuk itu malah menjadi sarana untuk membalas hutang budi selama kampanye. Walhasil lembaga itu tak menghasilkan sesuatu yang signifikan dalam mendukung eksekutif. Mudah-mudahan saja ini tak sedang terulang di DKI. 

 Satu hal lagi adalah masalah klasik bangsa ini adalah terlalu banyak pemikir dan ahli teori tapi minim eksekusi. Rasanya dengan tim sebanyak 73 orang, Anies bisa merumuskan berbuku-buku teori. Tapi apakah teori ini bisa dieksekusi?

 Dan hal lain yang ditakutkan adalah apabila ke-73 tim gubernur ini bisa mencampuri urusan dan memerintah tiap kepala dinas. Jika itu yang terjadi maka kekacauan sistem pemerintahan dan penyalahgunaan wewenang akan rawan terjadi. 

 Tapi hal yang paling konyol dalam RAPBD DKI adalah ratusan juta uang rakyat yang dihabiskan untuk kolam ikan. Apa memang DKI sedang mau membuka bisnis ikan hias di kantor DPRD?

 Memang kritikan jadi terasa sangat wajar, bahkan sudah menjadi keharusan jika melihat RAPBD DKI itu. Tapi kritikan dan kebencian kini berwarna abu-abu. Kaum baper kronis kerap ikut berlindung dan menyamar di balik baju kritikus. Saat era pemilu lalu dia menjadi tim sukses lawan, tapi saat jagonya kalah dia langsung mengganti atribusi sebagai pengamat. Padahal orang-orang macam ini kalau jagonya menang akan berganti baju lagi menjadi sebagai komisaris berdasi. Sejarah sejatinya sudah mencatat siapa-siapa yang nyambi sebagai pengamat di era SBY dulu dan kini tidur lelap sebagai komisaris di era Jokowi.

 Haters kini memang  banyak yang  menyamar di balik kritik yang disampaikan. Padahal landasan kritikannya adalah kebencian. 

 Jadi apa pun itu, kebijakan Anies sudah mereka vonis. RAPBD 2018 sudah dianggap sebagai bukti kegagalan Anies sepenuhnya. Layaknya judul yang saya tulis, mereka sudah menyimpulkan bahwa si gubernur tak becus dan gagal sama sekali. Pikiran yang sejatinya sudah timbul beberapa saat setelah pengumuman hasil quick count Pilkada DKI.

 Jadi sudah ada hukum tak tertulis yakni pasal 1; Anies selalu salah dan pasal 2; Anies tak pernah benar. Dan jika Anies berbuat benar sekalipun harus kembali mengacu pada pasal 1. Ya, itulah yang ada di kepala barisan sakit hati alias haters.

 Padahal jika kembali membahas RAPBD DKI 2018, faktanya anggaran kolam ikan disusun pada 7 April 2017. Dan bagi para barisan sakit hati itu, 7 April 2017 tetap Anies yang bertanggungjawab bukannya Djarot Saiful Hidayat. Karena yang berlaku pasal 1; Anies selalu salah!

Soal TGUPP pun para haters Anies ini seakan gelap mata dengan melewatkan satu fakta. Mereka lupa bahwa di era sebelumnya staf dan pembantu gubernur sosoknya misterius dan kerap berubah-ubah atribusi. Kadang hanya diakui sebagai staf magang, tapi berubah menjadi sahabat, atau besok-besok disebut rekan berdiskusi. Tapi kenyataannya anak magang itu  berkantor di Balaikota tapi digaji perusahaan swasta. Staf itu pun bisa mengatur agenda pertemuan rutin gubernur dengan pengusaha tanpa ada transparansi dari isi pertemuan itu. 

 Jika perbandingannya seperti itu, saya lebih setuju tim gubernur digaji sendiri dengan APBD ketimbang digaji pengusaha. Sebab dengan itu kinerjanya lebih transparan, mudah diawasi, dan bisa diukur kinerjanya. 

 Tapi mungkin saya yang terlalu berburuk sangka kepada para barisan sakit hati yang kini mengkritisi TGUPP dan kolam ikan. Mungkin saja mereka memang ingin agar Anies Baswedan kreatif dengan menunjuk anak magang yang digaji oleh pengusaha kelas kakap. Barang kali bila staf pembantu gubernur digaji uang pengusaha maka bisa mengatur banyak pertemuan rahasia dengan si pengusaha itu, seperti era lalu.

 Ah, memang sulit ditebak jalan hati para barisan sakit hati ini. Mungkin kritikan mereka baru akan mereda saat jago mereka kembali ke kursi kuasa. Sama sejatinya seperti pada cheerleader kekuasaan saat ini yang bisa berganti baju menjadi haters kapan saja saat kelak jagonya lengser dari Balaikota. 

 Objektivitas dan rasionalitas jadi omong kosong. Sebab yang mereka dukung hanyalah sosok manusianya. Mau salah benar manusia junjungannya, nilai yang berlaku adalah sang idola harus selalu dibela. Fansboy.

 Tak dapat sepenuhnya dibantah bahwa konsep berpikir seperti ini juga diidap oknum di dunia media. Dan celaka bagi sebuah bangsa jika jurnalisnya larut dalam semangat fansboy atau haters. Mengutip ahli psikologi sosial University Princeton, Ziva Kunda dalam buletin berjudul The Fase for Motivated Reasioning, "Orang (fansboy/haters) tak menyadari bahwa proses yang mereka kerjakan telah bias oleh tujuan yang ada di kepala mereka. Dan mereka hanya akan mengakses sebagian dari pengetahuan mereka yang sesuai dengan tujuan mereka."

 Pandangan Kunda juga bisa meyasar pada jurnalis yang hanya akan memproduksi karya dengan manipulasi di kepala mereka untuk melambungkan citra atau menjatuhkannya.

 Tapi apapun itu, semangat untuk mengkritisi Anies saat ini jauh lebih baik ketimbang untuk memujinya. Setidaknya banyak media kini yang sudah kembali kepada khitahnya. Media kini sudah kembali dalam posisi normal sebagai alat kontrol kekuasaan. Bukan justru sebagai alat sanjung puja dan jilat ludah penguasa. 

 Mengakhiri tulisan ini saya punya sedikit doa dan harapan kepada Tuhan. Jikalau memang untuk menciptakan semangat kritis di dunia jurnalis mesti yang berkuasa pejabat yang tak mereka sukai, maka semoga tak pernah ada lagi pejabat yang mereka sukai di muka bumi.

 Sebab satu paragraf kritikan wartawan jauh lebih berharga dari beribu-ribu artikel berita poles citra.[rol]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita