Abu Janda dan Persoalan Mentalitas Bangsa Kita

Abu Janda dan Persoalan Mentalitas Bangsa Kita

Gelora News
facebook twitter whatsapp

www.gelora.co - Kita semua sudah tahu parahnya kapasitas keilmuan Permadi Arya alias Abu Janda dan Deni Siregar. Yang perlu dijawab kemudian adalah, ada apa dengan tatanan sosial kita, sehingga orang seperti mereka bisa mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Parahnya lagi, diakui atau tidak, keduanya adalah loyalis rezim, dan secara informal menjadi ‘corong’ rezim dalam menyikapi dinamika ummat Islam.

Andai Islam menghalalkan taruhan, saya berani bertaruh, bahwa Afi Nihaya Faradisa, gadis yang sempat diundang Istana, kapasitasnya 11-12 dengan kedua orang itu.

Tetapi bisa jadi, kedua orang itu hanyalah refleksi realitas kita yang sebenarnya. Kita sering mengaku beragama, tetapi enggan dengan ‘doktrin-doktrin’ agama. Kita memilih faham atau tuntunan lain yang dicocok-cocokkan dengan agama. Hingga akhirnya, agama sekedar kita jadikan pembenar hawa nafsu. Sementara ‘doktrin’ agama hanya tersisa saat acara kelahiran, pernikahan dan kematian.

Munculnya mereka juga menjadi tanda bangsa kita yang krisis keteladanan. Kita tidak punya pejabat yang memiliki jiwa negarawan. Kalaupun ada, mereka sulit untuk eksis karena pragmatisme media, dimana mereka yang kontroversial dan bermasalah, lebih ‘seksi’ untuk diberitakan.

Kita juga sering tidak menghargai mereka yang berilmu. Kita lebih memilih mereka yang pinter ngomong, kata-katanya bombastis, tanpa mengkritisi substansi omongannya. Begitu banyak orang pintar di negeri ini yang terpinggirkan, dan tidak sedikit yang memilih keluar negeri karena lebih ‘dimanusiakan’ disana.

Tatanan sosial kita juga sering ‘memarginalkan’ ulama. Para ulama, kyai, dipakai hanya untuk urusan akherat saja. Tahlilan, pengajian, atau diminta membacakan doa penutup sebuah acara. Diluar itu, para ulama kita anggap tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seringkali kita kesulitan membedakan mana fakta mana opini. Dengan berbagai alasan, seringkali fakta disembunyikan, lalu opini dibangun sedemikian rupa sehingga berubah seolah-olah menjadi ‘fakta’. Jika sudah begini, maka ‘seleb socmed’ lebih eksis dibanding mereka yang mampu memberi karya nyata.

Banyak dari kita yang bermental pemalas dan menyalahi hukum alam, ingin mendapatkan banyak hal dengan sedikit usaha. Banyaknya korban investasi bodong, adalah bukti nyata. Kita sering memilih jalan pintas, termasuk dalam belajar agama. Sampai akhirnya muncul istilah ‘ustadz google’.

Disadari atau tidak, kadang kita mencukupkan diri menjadi amatiran. Terutama dalam beragama. Ibadah bolong-bolong, ilmu pas-pasan, tetapi berani kritik sana-sini. Menganggap ajaran agama sudah afkir, expired, lalu dengan pede-nya membuat standar dan aturan sendiri. Padahal beragama butuh profesionalitas, dengan tradisi ilmu yang telah terbentuk belasan abad lamanya.

Betapa sering kita menjumpai orang-orang bermental ‘pokoknya’. Orang-orang yang tidak terlatih untuk berbeda pendapat atau mengakui kesalahan. Orang-orang yang terus berteriak bahwa cuaca mendung, hanya karena mereka memakai kacamata hitam. Coba mereka mau membuka kacamatanya, tentu akan tahu betapa cerah dan berwarna-warninya dunia.

Dan terakhir, banyak dari kita yang tidak tahu malu, ‘rai gedhek’ dalam bahasa jawa. Sudah tahu salah dan kalah, tetapi tidak mau mengakuinya, malah mencari-cari kambing hitam. Wallohu a’lam. [kn]
BERIKUTNYA
SEBELUMNYA
Ikuti kami di Google Berita